Ke Desa Purbayani di Garut Dihuni Ratusan Anggota NII
Nama Negara Islam Indonesia (NII) kembali muncul ke permukaan. Itu terjadi setelah ada sejumlah mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi yang mengaku direkrut bahkan dicuci otak oleh aktivis organisasi itu. Di Garut, ada sebuah desa yang dihuni para pengikut NII. Adakah kaitannya?
M HILMI SETIAWAN, Garut
DESA itu bernama Purbayani, terletak di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut. Jarak desa tersebut dari pusat kota kabupaten sekitar 107 kilometer. Untuk sampai di desa itu, kita harus melewati jalan pegunungan yang meliuk-liuk yang lebarnya sekitar empat meter. Di beberapa titik jalan, tikungan cukup tajam dan menukik curam. Titik-titik lainnya sangat menanjak.
Ketika nama NII mencuat ke permukaan, Desa Purbayani sering dikait-kaitkan. “Di sini tinggal 30 KK (kepala keluarga) anggota komunitas NII,” kata Kepala Desa Purbayani Heryanto kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).
Dengan jumlah anggota yang relatif besar itu, Purbayani disebut sebagai basis NII untuk wilayah Garut Selatan. Tokoh NII yang membawahkan wilayah Garut Selatan tersebut adalah H Iri. Yang bertindak sebagai wakil adalah Memed dan pelaksana harian adalah Wowo Wahyudin.
Ketika Jawa Pos berkunjung ke desa itu, tempat tinggal anggota komunitas NII berjarak sekitar lima kilometer di sisi utara kantor balai Desa Purbayani. Sekilas secara fisik rumah-rumah tersebut tidak berbeda jauh dari rumah warga lainnya. Bahkan rumah yang dihuni Iri, orang yang ditokohkan di kalangan komunitas NII, tampak sangat sederhana.
Meski disebut komunitas, pengikut NII di desa tersebut tidak tinggal dalam satu lokasi. Jika ada yang berkumpul, bisa dipastikan mereka masih sekeluarga.
Saat berkunjung ke rumah Iri, suasana terlihat sepi. Tidak tampak aktivitas apa pun. Hanya terdengar lirih sebuah alunan musik dengan lirik bahasa Sunda. “Mari masuk,” tutur Iri dalam bahasa Sunda.Pria kelahiran 1922 itu menyatakan menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Meski begitu, pria yang masih tekun menyambangi sawahnya tersebut bisa berbahasa Indonesia, walau sedikit.
Sosok Iri tidak berbeda dari orang-orang yang sudah renta lainnya. Rambutnya sudah memutih total. Dengan sebatang rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah, dia mulai bercerita tentang komunitas NII di Desa Purbayani.
Merasa kurang mantap, dia lalu memanggil Tasdik Thabrani, cucunya yang bisa berbahasa Indonesia, untuk mengobrol bersama sekaligus menjadi penerjemah. “Supaya nyambung dan tidak salah paham,” ujar bapak lima anak itu.
Iri menuturkan, pengikut NII di desanya ada sejak deklarasi NII pada 7 Agustus 1949. Tapi, saat itu jumlahnya masih belum begitu besar. Selanjutnya, dalam perkembangannya, sekitar 1980, jumlah pengikut NII di Desa Purbayani terus meningkat.
Saat itu persebaran pengikut NII masih sebatas pada masing-masing keluarga. Sesekali juga sempat mengajak tetangga kanan-kiri untuk bergabung menjadi pengikut NII. Iri menceritakan, saat itu masih belum ada pergolakan seperti saat ini terhadap organisasi NII. Jadi, dia dan beberapa rekan lainnya merasa lebih leluasa.
Sekarang jumlah pengikut NII di Desa Purbayani tercatat 30 KK dengan jumlah jiwa 120-an orang. Iri menegaskan, selama ini belum pernah terjadi pertentangan yang sangat keras antara anggota komuntias NII dan warga sekitar. “Kami rukun, tidak saling sikut,” tegasnya. Iri sangat tidak ingin dimusuhi atau mencari musuh.
Dalam perjalanannya, memang sempat tercatat ketegangan antara komunitas NII dan warga serta aparat pemerintahan desa. Tapi, tidak sampai terjadi bentrokan fisik. Pertentangan yang sempat terekam, antara lain, ketika mereka menolak untuk mencontreng dalam Pemilu Presiden 2009.
Penolakan tersebut tertuang dalam secarik surat pernyataan sikap. Dalam surat yang terdiri atas tiga poin pernyataan itu, ditegaskan bahwa mereka tinggal di Negara Islam Indonesia. Karena itu, mereka tidak mau ikut dalam pilpres. Mereka juga menyebut imam NII, yaitu Drs Sensen Komara Bakar Misbah. Sang imam bahkan menyerukan akan berperang jika tetap dipaksa untuk mencontreng dalam pilpres.
Sensen adalah ahli waris takhta imam NII dari ayahnya yang bernama Bakar Misbah. Sebelum Bakar Misbah, imam NII dijabat Jaja Sujadi. Jaja menerima gelar imam sepeninggal Sekarmadji Maridjan (S.M.) Kartosuwirjo, sang proklamator NII.
Menanggapi pengalaman getir tersebut, Iri menjelaskan, sebagai penganut, dia tidak bisa mengingkari setiap instruksi imam. Dia menuturkan, saat itu sang imam memang berpesan bahwa seluruh anggota NII dilarang ikut pilpres.
Bagaimana dengan Pilpres 2014 nanti? Iri belum bisa menentukan sikap. “Kami siap berpartisipasi jika ada instruksi dari imam,” ujarnya. Jika Sensen memperbolehkan pengikut NII untuk mencoblos atau mencontreng, Iri siap mengoordinasi seluruh anggota komuntias NII untuk berbondong-bondong ke TPS (tempat pemungutan suara).
Hubungan komunitas NII dengan warga setempat sempat kembali memanas ketika seluruh anggota komunitas NII itu pernah mengubah arah kiblat salat dari barat ke timur. Menurut Iri, perubahan arah kiblat tersebut dilakukan sekitar dua tahun. “Sekitar dua bulan lalu kembali lagi ke barat,” terangnya.
Menurut versi pengikut NII, perubahan arah kiblat tersebut merupakan instruksi Sensen. Perubahan arah itu disebut sebagai sunah Nabi Muhammad. Iri mengungkapkan, nabi pernah mengubah arah kiblat dari utara ke selatan dan kembali lagi ke utara. “Juga sama-sama dua tahun,” jelasnya.
Perubahan arah kiblat itu membuat warga sekitar merasa cemas. Kepala Desa Heryanto menyatakan, kala itu warga sempat resah. Tapi, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena perilaku salat yang berbeda tersebut dilakukan hanya dalam komunitas NII. “Tidak disyiarkan. Jadi, kami tidak bisa menindak,” tutur Heryanto.
Iri menuturkan, aktivitas komunitasnya tidak berbeda jauh dari keseharian warga lain, yaitu berkebun, bertani, dan beternak ikan mas. Selain itu, kata dia, setiap ada instruksi kerja bakti dari desa, komunitasnya tidak pernah membelot. “Kerja bakti membersihkan jalan, kami juga ikut,” tegasnya.
Dia menuturkan, aktivitas NII sejatinya adalah penyelamatan umat. Tidak benar jika NII sering disebut bertindak anarkis atau merekrut orang-orang lalu menguras harta bendanya. Iri menegaskan, haram hukumnya bermusuhan dengan sesama makhluk ciptaan Allah.
Gerakan NII yang dulu identik dengan pemberontakan dan peperangan, sudah tidak bisa diterapkan untuk saat ini. Peperangan yang dilakukan tentara Kartosuwirjo dulu adalah upaya untuk menyelamatkan negara. “Sekarang bangsa ini sudah selamat. Jadi, tidak perlu berperang,” katanya.
Selain bekerja, anggota komunitas NII tidak melupakan rutinitas keagamaan. Sampai saat ini, anggota komunitas NII di Desa Purbayani masih melestarikan pengajian setiap Jumat malam.
Materi pengajian tersebut sebelumnya didapat dari pengajian di pusat NII di Universitas Babakan Cipari (UBC), Desa Cipare, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut, yang diadakan setiap Kamis malam. Dalam pengajian di pusat NII itu, penceramahnya adalah Sensen.
Saat ini penyampai materi pengajian dari NII pusat ke komunitas NII di Desa Purbayani adalah Tasdik yang tidak lain merupakan cucu Iri. Pemuda 23 tahun tersebut menggantikan peran Wowo Wahyudin yang divonis penjara tiga tahun oleh PN Garut karena terbukti bersalah dalam kasus penistaan agama tahun lalu.
Sebagai penceramah muda, Tasdik mengaku sempat merasa tegang ketika harus memberikan siraman rohani kepada seluruh anggota komunitas NII. Namun, setelah dua bulanan menjalani peran sebagai penyampai pengajian, dia kini sudah lancar berceramah.
Lokasi yang dipilih untuk pengajian tersebut adalah kediaman Iri. Rumah seukuran hunian tipe 36 itu seluruhnya terbuat dari kayu. “Alhamdulillah cukup,” kata Tasdik. Dia mengungkapkan, anggota komunitas lebih suka menyebut mimbar pengajian itu sebagai ajang silaturahmi.
Menyikapi kasus perekrutan yang diduga dilakukan anggota NII di beberapa perguruan tinggi, Tasdik menegaskan bahwa itu tidak benar. Sebab, selama mengikuti ceramah imam Sensen, dia belum pernah mendengar instruksi untuk merekrut. Apalagi perekrutan dengan didasari motivasi menguras harta benda. “Hubungan kami dengan imam adalah sami’na wa atha’na (mendengar dan mengikuti, Red),” tegas Tasdik. (c5/kum)