Fotografi
Akhir-akhir ini kita sering melihat fotografer dadakan di Kota Medan. Mulai dari pria dan wanita. Rata-rata usia mereka masih remaja. Kamera jenis SLR pun tak lepas dari gendongan bahu mereka.
Dengan gaya sebagai fotografer pemula, mereka mengabadikan moment yang dianggap bernilai seni tinggi. Kebanyakan dari mereka mengambil moment pada malam hari di kawasan Jalan Jendral Ahmad Yani (depan merdeka walk) yang banyak berdiri bangunan-bangunan tua.
Ini tak terlepas dari trend seni fotografi yang mulai membooming di Kota Medan saat ini. Ini juga dibuktikan menjamurnya berbagai komunitas pecinta foto, seperti Sendal Jepit, Penggila Foto dan PFI (Pewarta Foto Indonesia).
Untuk Kota Medan sendiri, kegiatan seni fotografi sudah mulai digemari sejak tahun 2005 yang lalu dan baru booming pada tahun 2008. Di tahun inilah banyak muncul beberapa komunitas fotografi, walaupun hanya beranggota sedikit. “Tahun 2008 belum banyak yang minat, tetapi saat ini sudah banyak sekali yang ikut ngumpul,” ujar Dudi, Pendiri Komunitas Foto Sendal Jepit.
Menurut Dudi, awalnya mereka menyukai kegiatan fotografi karena ikut-ikutan teman. Tapi, setelah didalami, maka secara naluriah kegiatan ini akan menjadi hobi yang menyenangkan bagi mereka.
Untuk objek fotografi, kata Dudi, biasanya dapat diketahui dari hasil foto yang diambil, baik manusia, alam ataupun benda mati. “Apabila seorang fotografer telah menemukan objek favoritnya untuk foto, maka hal ini akan didalami terus hingga sampai sang fotografer menggantungkan kamera,” bilangnya.
Saddam, salah satu anggota Sendal Jepit justru tidak memiliki kamera, tapi sangat menyukai seni fotografi. “Hingga saat ini saat belum memiliki kamera. Tapi untuk memuaskan rasa haus akan fotografi, saya biasanya menyewa kamera milik teman saya,” ujarnya.
Hilmi, salah satu pecinta fotografi ini mengaku, seni fotografi ditekuninya untuk kepuasaan batin. “Kalau aku untuk kepuasan batin, tetapi kalau alasan finansial aku rasa tidak semua sependapat begitu,” ujarnya.
Menurut Hilmi, untuk mendapatkan hasil foto yang baik tergantung media kamera yang dipakai, semakin mahal kameranya, maka akan semakin bagus hasilnya. Meskipun, teknik juga merupakan alasan mendapatkan hasil foto yang bagus.
“Ini merupakan rumusan yang paling sering digunakan. Dan inilah yang menjadi alasan kenapa fotografer selalu memilih kamera dengan teknologi pendukungnya,” kata dia.
Hilmi tak menampik karena seni fotografi bisa menghasilkan uang. Caranya, dengan rajin mengikuti perlombaan foto yang digelar perusahaan nasional maupun lokal. “Lumayan lho, hadiahnya jutaan. Jadi kalau dapat hadiah, uangnya bisa dimanfaatkan untuk beli lensa kamera yang lebih canggih lagi,” tuturnya.
Kalau Reza, anggota Event Organizer di Kota Medan ini mengaku, harga kamera yang mahal tidak menjadi masalah bagi para pecinta seni fotografi. Untuk harga body kamera SLR saja pada umumnya dapat mencapai Rp3 juta. Lain lagi dengan lensa dan aksesoris pendukung kamera.
“Jadi kalau dirata-ratakan untuk 1 kamera semi profesional dapat mencapai Rp6 jutaan. Namanya juga hobi, jadi harga kamera nggak masalah,” ujarnya. (mag-9)
Dikenal Sejak Tahun 1826
Fotografi berasal dari kata Photos yang berarti cahaya, dan Graphos yang berarti menulis atau melukis. Dengan kata lain pengertian dari fotografi adalah menulis atau melukis dengan menggunakan media.
Dari pengertian inilah kegiatan fotografi menjadi sebuah kegiatan seni, dan dimasukkan dalam bidang seni lukis. Hanya saja perbedaannya terletak pada media yang digunakan.
Bila seni lukis menggunakan kanvas, cat dan lainnya sebagai media, sedangkan dalam fotografi menjadikan kamera sebagai medianya. Seperti pada umumnya seni, bila ditekuni secara mendalam akan menghasilkan karya seni yang mahal.
Fotografi mulai dikenal sejak tahun 1826 oleh Louis jacquis, dimana dia membutuhkan waktu selama 8 jam untuk menghasilkan foto.
Setelah itu dikenal kamera Obcura yang digunakan untuk menggambar kemudian memotret. Untuk Indonesia sendiri, kamera mulai dikenalkan oleh Bangsa Belanda pada tahun 1841, dimana ketika pada tahun itu, pegawai kesehatan belanda, Juriaan Munich datang untuk mengabadikan alam Indonesia.
Tetapi, perkembangan fotografi yang “asli Indonesia” terjadi pada tahun 1945. Saat itu Frans dan Alex Menur mengabadikan moment penting Indonesia, salah satunya ketika detik-detik pembacaan proklamasi. Sedangkan Menur bersaudara tersebut bekerja di kantor berita jepang.
Untuk Indonesia sendiri, fotografi berkembang sesuai dengan perkembangan politik, semakin panas politik, maka semakin panas juga perkembangan fotografi. Di Indonesia sendiri untuk saat ini belum dapat menggantungkan hidup dalam fotografi, berbeda untuk negara di Amerika dan Eropa.
Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang beluam dapat menghargai seni sebagaimana mestinya. “Ya, masyarakat kita selalu melihat siapa fotografernya, bukan melihat bagaimana hasil fotonya,” ujar Dudi, Pendiri Komunitas Foto Sendal Jepit. (mag-9)