28.9 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Sebuah Catatan

Aku akan naik shinkansen pagi ini menuju Bandara Internasional Narita, Tokyo, menjemput Naoto yang mendarat dari Timur Tengah.

Ia  bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana, dan aku sebagai teman terdekatnya, berkeinginan bertemu meski pembicaraan kami hanya melalui telepon saja selama dua tahun ini.
Di ruang kedatangan itu, aku melambai-lambaikan tangan pada Naoto yang memakai syal merah muda dan sweater berwarna coklat. Ia buru-buru menarik tasnya dan memelukku tiba-tiba.
“O genki desuka?”

“Baik,” aku sedikit takjub dengan kesempatan ini.  “Waseda University libur seminggu ini,  jadi aku bisa menjemputmu.”

“Aku harap gelar mastermu cepat selesai. Kau bisa mengajar di sekolah. Hmm…  Dingin sekali, sudah lama aku tidak pulang.” Setengah tertawa, Naoto menaikkan penutup kepalanya. Ia tersenyum sumringah saat kuajak naik kereta api menuju Shibuya. Naoto merindukannya, bahkan ia sudah lupa cara menaiki kereta. Ia duduk juga di sampingku dan menceritakan bagaimana perjuangannya untuk pulang dan menghindari pertikaian yang terjadi di sana. Ia ingin bertemu Edo, anak lelaki satu-satunya.

“Aku ingin ke Odaiba bersama Edo, sudah lama sekali aku tidak ke sana.”
“Bersamaku? Kita bisa lihat barang baru di sana. Selalu saja ramai.”

Naoto tertawa lagi dan memukul lenganku tiba-tiba, ia selalu sama saat empat tahun lalu aku menemukan dirinya tengah tertawa melihat pertunjukan badut di daerah Shibuya. Kereta bergerak tanpa terasa, dan saat tiba di Stasiun Shibuya, Naoto sempat mengabadikan foto kami berdua di depan patung Hachiko, patung perlambang kesetiaan. Kemudian ia menarik lenganku ke gedung Tokyo Department Store, memilih sesuatu untuk dibawakan pada anaknya.
“Di sana sedang kacau, aku tak sempat membeli apapun.”

Aku menunggu saja dan setelah selesai, kami pulang berjalan kaki menuju rumahnya yang berjarak lima petak dari rumah Bibi Gin yang aku tempati. Salju tampak turun pelan-pelan dan kami akhirnya sampai  di depan rumah.
“Mama!!” Edo berteriak girang dan memeluk mamanya erat. “Aku rindu,” Edo membawa Naoto masuk dan menemui otoosan yang bernama Tuan Nagami. Akupun menyudut ke jendela, membiarkan Naoto melepas rindu pada anak dan ayah angkatnya. Dari jendela itu, aku mengamati salju yang turun ke badan jalan. Musim dingin datang lebih cepat dari perkiraan, untung saja aku bisa cuti kuliah seminggu ini dan mengurus toko kelontong bersama bibi Gin. Dari jendela itu pula, aku menangkap ekspresi wajah Naoto yang terpantul di kaca jendela, kulitnya kini tampak kuning kecoklatan. Aku rasa ada yang bergetar di dadaku saat ia menangkap pandanganku terhadapnya.
“Bara, kemarilah!” Naoto melepas penutup kepala hingga rambutnya yang halus kehitaman itu bercahaya. Aku terkesiap dan duduk mendekat. “Aku dan Edo akan ke Jakarta bersama.”
“Apa?!! Be… narkah?” dengan keterkejutanku, aku tidak bisa menahan gelisah.

Edo merangkulku dan meraih tanganku dengan manja. “Paman Bara ikut kami saja. Mama libur panjang.” Anak berumur enam tahun itu tampak yakin dengan apa yang ia katakan, sementara ayah angkat Naoto tak bisa ikut dan memilih tinggal bersama saudaranya. Aku jadi bingung sendiri.

“Kupikir kita bisa menghabiskan waktu bersama di sini. Bibi Gin lebih membutuhkanku untuk menjaga tokonya, sayang sekali.” Rasa kecewaku kupendam dalam-dalam. Seharusnya liburan ini aku bisa bersama Naoto dan Edo, namun setidaknya Naoto tak akan kembali ke Timur Tengah dalam jangka panjang. “Sebaiknya aku pulang.”
Naoto bangkit dan mengantarku  sampai ke pintu depan.

“Dua hari esok kau bisa mengantarku ke Odaiba? Mungkin sesudah itu aku baru akan pergi.” Naoto mengatakannya sambil tersenyum. Aku terkejut dan mengangguk perlahan dengan senyum yang  tak kalah tenang.
***
Naoto berseri-seri saat mukanya yang kuning kecoklatan itu melongok keluar pintu. Salju tidak terlalu tebal dan matahari kelihatan dengan lembut. Edo menepuk lenganku, hendak naik ke pundakku seperti biasa.
“Kita naik taksi saja ke Odaiba,” ujarku dengan anggukan persetujuan mereka. Naoto pun merangkul lenganku tiba-tiba. “Senangnya kalau bisa seperti ini terus. Apa kau tak berniat mencari kekasih, Bara? Kau sudah berkorban banyak untuk Edo.”

Mendengarnya bicara seperti itu membuatku diam saja. Rasa sayangku pada Edo tak bisa kusandarkan dengan rasa kagumku pada Naoto. Aku tersenyum sekilas dan berhenti di sebuah kedai dorayaki, menawarkan kue itu pada Naoto, tapi ia hanya menggeleng saja.

“Kau kelihatan cantik.” Entah apa yang membuatku berani mengucapkan kata itu. Naoto tersipu malu dan balik memeluk kepala Edo. Edo merasa jemari mamanya panas seketika.
Kemudian kami main game sebentar lalu Edo menarikku ke toko buku dan memintaku membelikan ia buku baru bergambar. Aku benar-benar terharu saat ia memelukku dan mengatakan kalau aku membuatnya nyaman.
Esoknya pun Naoto datang bersama Edo ke rumah Bibi Gin.  Bibi senang hati dan membuat mie ramen untuk mereka. Uniknya, Edo ingin aku yang menyuapi ia agar hal itu bisa ia kenang dalam hidupnya.
“Hajimemashou. Makanlah wanita yang cantik,” puji Bibi Gin.
“Hai, so shimashou. Ini pasti enak.”

Bibi Gin bercerita banyak dengan Naoto, namun sayang, esok Naoto dan Edo akan pergi jauh, kota di mana nenek Naoto berasal, juga tempat di mana ayah biologis Edo berada. Kota yang tak pernah kujamah, Jakarta.
“Gomen nasai, pria yang baik hati. Aku berharap bisa secepatnya kembali.”
“Ya, Paman. Besok Paman mau mengantar kami?” Edo memelukku erat. Aku tak menggeleng dan berupaya tersenyum juga. Maka, dua hari ini benar-benar membuatku seperti terpesona dengan kebersamaan kami yang kupikir bisa kuwujudkan dalam kenyataan sesungguhnya.

Setelah berpikir keras malam itu, akupun tak bisa tidur tenang. Rasa kehilangan mulai membayang di hati. Apakah Edo bakal mengingatnya lagi, apakah perlindunganku padanya selama tiga tahun ini terkikis begitu saja? Akh… aku takut membayangkan kenyataan yang tengah menghampiriku.
***
Tuan Nagami memintaku mengantarkan Naoto hingga ke bandara, setelah sebelumnya ia kuantarkan ke rumah saudaranya di bagian utara, ia yang tampak menua tak sanggup berdiri lama dan Edo sedikit terisak-isak melihat kakeknya dan aku. Aku menahan gelisah saat jadwal penerbangan sebentar lagi tiba.
“Jangan lupakan Paman.” Aku kembali memeluk anak lelaki itu.
“Kami pasti kembali, kau baik sekali pada Edo.”
“Paman…”

Perasaan seperti inilah yang membuatku tak nyaman, aku tak  akan mengantar bubur ke hadapan Edo, atau mendengar dengkurnya yang selalu riang, bergulat hingga siang dan mengantung boneka di sudut rumah. Tapi Naoto meyakinkanku sekiranya bisa menggunakan telepon atau internet untuk kami memberi informasi. Tentunya hal ini lebih menyakitkan bagiku daripada harus berhadapan dengan dosen di Waseda.
Akhirnya dengan perasaaan sedih, aku kembali naik kereta ke Shibuya, dan mencoba menepis pikiranku terhadap keduanya. Aku pernah dengar tentang Jakarta,  juga tentang ayah Edo yang kini menetap di sana. Jangan-jangan mereka menemui orang itu, dan membodohiku di sini. Ini benar-benar menguasai hariku.
Hingga esok pagi, aku kembali berdiri depan rumah Edo, menatap lama-lama jalan yang menurun ke rumah Bibi Gin, menatap halaman depan yang aku dan Edo pakai untuk berolahraga pagi, juga mengakali sesuatu agar tukang bubur mau memberikan gratis pada kami berdua. Aku tertawa, kenangan itu begitu indah.
Keesokan hari aku tak mendapat dering telepon.
Tiga hari kemudian juga nihil.

Aku rindu mie ramen, rindu memeluk wangi anak lelaki itu. Email-ku sudah tak terhitung lagi. Tak ada balasan. Hening. Dengan ragu-ragu aku berangkat ke rumah saudara Naoto di utara, meminta nomor telepon di Jakarta. Tapi Tuan Nagami tak memberiku nomor telepon, hanya alamat saja. Dan aku bingung bagaimana mencari kabarnya.
Sudah sepuluh hari, tetap sepi. Aku sudah tak tahan dengan kesepian ini. Kuliahku sudah berjalan seperti biasa, namun aku ragu karena pikiranku ini terasa buntu. Aku menemui Riska, kenalanku di Universitas Waseda, seorang wanita cantik yang suka dengan fotografi dan dunia tulisan. Ia berasal dari Jakarta dan tentu tahu bagaimana keadaan di sana. Ia kaget ketika kutemui di ruangannya, sungguh tak percaya karena dulu ia pernah menolak cintaku. Dulu sekali.

Tapi itu tak membantu, aku tetap tak bisa menghubungi Naoto dan Edo. Rumah Naoto kini sudah disegel karena katanya akan dilelang oleh kontraktor. Banyak hal yang mereka sembunyikan dariku, dari orang lain sepertiku. Aku lesu saat mataku menangkap siluet rumah itu dari atas tanjakan, semuanya tampak remang. Penantianku ini terasa sia-sia. Tiga tahun yang kulalui bersama Edo membuatku benar-benar berada dalam pusaran perasaan iba.  Kini ia dan ibunya meninggalkanku, meninggalkan diriku yang bukan siapa-siapa.

Bulan berikutnya, Riska datang tiba-tiba dan mengajakku pulang bersamanya ke Jakarta, seperti mendapatkan napas yang baru, aku kembali bersemangat dan memohon cuti dari kuliahku. Rasa penasaranku akan sirna  dan aku benar-benar mengharapkan mereka berdua kembali. Riska melarangku memakai tabungan untuk biaya transportasi ke Jakarta, ia sendiri yang akan membayarnya. Semua karena doa, ucapnya singkat.
“Kau begitu mencintai mereka?” tanya Riska
“Mungkin.”
“Jika ia kembali pada suaminya di sana bagaimana?”
“Setidaknya aku bisa tahu keadaan yang sebenarnya.”
Riska mengeluarkan buku catatan dari  tasnya dan terus saja mencatat apa yang aku katakan, apa yang aku rasakan.
***
Aku terus saja mencatat. Bara benar-benar ada di sampingku memintaku membawanya ke  Jakarta, di mana ada Naoto dan Edo di sana. Aku kalut, tiba-tiba saja aku cemburu padda Naoto dan Edo, pada perhatian dan ketulusan Bara yang mereka dapatkan. Aku masih berada dalam kereta api menuju ibu kota dan sejujurnya lembaran-lembaran kertas ini membuatku gila.

Aku memang hendak pulang ke Jakarta dan Bara memintaku agar mempertemukan mereka. Kertas-kertas yang ada di pangkuanku terasa menertawakan aku. Aku berusaha merubah semuanya dan menuliskan namaku di akhir cerita. Tapi Bara hanya ingin bertemu Naoto dan Edo, hingga buku catatan itu kubanting ke dalam tas.

Entah mengapa aku jadi tak berdaya. Sepanjang perjalanan yang rasanya bisa kuubah, cinta Bara pada mereka tak bisa sirna. Baru kali ini aku menulis seuatu yang bertentangan dengan nuraniku, menulis seuatu yang tak pernah jadi nyata. Bara menguasai pikiranku pelan-pelan dan  aku panik, membuka catatan itu kembali dan pena yang ada di tanganku kupaksa agar ia bergerak dan menuliskan Bara tak akan pernah menemukan Naoto dan Edo. Jakarta begitu panas baginya dan di pangkuanku ia pun menyerah.

Lamat-lamat aku benar-benar kehilangan jati diriku, kemampuan yang diagungkan orang lain dalam menulis sebuah kisah. Nyatanya aku mengalami hal ini juga. Aku kehilangan alur cerita, kehilangan Bara yang hadir sejak beberapa minggu lalu. Aku tergugu menyaksikan kertas dalam catatan  jatuh menyudahi  petualanganku, meski aku menyadari, namaku tak pernah tertulis di cerita itu.***

Cikie Wahab, belajar menulis di Sekolah Menulis Paragraf, Pekanbaru. Cerpen dan puisinya sudah dimuat di banyak media, baik Riau, Sumatera Barat, maupun Jakarta.

Aku akan naik shinkansen pagi ini menuju Bandara Internasional Narita, Tokyo, menjemput Naoto yang mendarat dari Timur Tengah.

Ia  bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana, dan aku sebagai teman terdekatnya, berkeinginan bertemu meski pembicaraan kami hanya melalui telepon saja selama dua tahun ini.
Di ruang kedatangan itu, aku melambai-lambaikan tangan pada Naoto yang memakai syal merah muda dan sweater berwarna coklat. Ia buru-buru menarik tasnya dan memelukku tiba-tiba.
“O genki desuka?”

“Baik,” aku sedikit takjub dengan kesempatan ini.  “Waseda University libur seminggu ini,  jadi aku bisa menjemputmu.”

“Aku harap gelar mastermu cepat selesai. Kau bisa mengajar di sekolah. Hmm…  Dingin sekali, sudah lama aku tidak pulang.” Setengah tertawa, Naoto menaikkan penutup kepalanya. Ia tersenyum sumringah saat kuajak naik kereta api menuju Shibuya. Naoto merindukannya, bahkan ia sudah lupa cara menaiki kereta. Ia duduk juga di sampingku dan menceritakan bagaimana perjuangannya untuk pulang dan menghindari pertikaian yang terjadi di sana. Ia ingin bertemu Edo, anak lelaki satu-satunya.

“Aku ingin ke Odaiba bersama Edo, sudah lama sekali aku tidak ke sana.”
“Bersamaku? Kita bisa lihat barang baru di sana. Selalu saja ramai.”

Naoto tertawa lagi dan memukul lenganku tiba-tiba, ia selalu sama saat empat tahun lalu aku menemukan dirinya tengah tertawa melihat pertunjukan badut di daerah Shibuya. Kereta bergerak tanpa terasa, dan saat tiba di Stasiun Shibuya, Naoto sempat mengabadikan foto kami berdua di depan patung Hachiko, patung perlambang kesetiaan. Kemudian ia menarik lenganku ke gedung Tokyo Department Store, memilih sesuatu untuk dibawakan pada anaknya.
“Di sana sedang kacau, aku tak sempat membeli apapun.”

Aku menunggu saja dan setelah selesai, kami pulang berjalan kaki menuju rumahnya yang berjarak lima petak dari rumah Bibi Gin yang aku tempati. Salju tampak turun pelan-pelan dan kami akhirnya sampai  di depan rumah.
“Mama!!” Edo berteriak girang dan memeluk mamanya erat. “Aku rindu,” Edo membawa Naoto masuk dan menemui otoosan yang bernama Tuan Nagami. Akupun menyudut ke jendela, membiarkan Naoto melepas rindu pada anak dan ayah angkatnya. Dari jendela itu, aku mengamati salju yang turun ke badan jalan. Musim dingin datang lebih cepat dari perkiraan, untung saja aku bisa cuti kuliah seminggu ini dan mengurus toko kelontong bersama bibi Gin. Dari jendela itu pula, aku menangkap ekspresi wajah Naoto yang terpantul di kaca jendela, kulitnya kini tampak kuning kecoklatan. Aku rasa ada yang bergetar di dadaku saat ia menangkap pandanganku terhadapnya.
“Bara, kemarilah!” Naoto melepas penutup kepala hingga rambutnya yang halus kehitaman itu bercahaya. Aku terkesiap dan duduk mendekat. “Aku dan Edo akan ke Jakarta bersama.”
“Apa?!! Be… narkah?” dengan keterkejutanku, aku tidak bisa menahan gelisah.

Edo merangkulku dan meraih tanganku dengan manja. “Paman Bara ikut kami saja. Mama libur panjang.” Anak berumur enam tahun itu tampak yakin dengan apa yang ia katakan, sementara ayah angkat Naoto tak bisa ikut dan memilih tinggal bersama saudaranya. Aku jadi bingung sendiri.

“Kupikir kita bisa menghabiskan waktu bersama di sini. Bibi Gin lebih membutuhkanku untuk menjaga tokonya, sayang sekali.” Rasa kecewaku kupendam dalam-dalam. Seharusnya liburan ini aku bisa bersama Naoto dan Edo, namun setidaknya Naoto tak akan kembali ke Timur Tengah dalam jangka panjang. “Sebaiknya aku pulang.”
Naoto bangkit dan mengantarku  sampai ke pintu depan.

“Dua hari esok kau bisa mengantarku ke Odaiba? Mungkin sesudah itu aku baru akan pergi.” Naoto mengatakannya sambil tersenyum. Aku terkejut dan mengangguk perlahan dengan senyum yang  tak kalah tenang.
***
Naoto berseri-seri saat mukanya yang kuning kecoklatan itu melongok keluar pintu. Salju tidak terlalu tebal dan matahari kelihatan dengan lembut. Edo menepuk lenganku, hendak naik ke pundakku seperti biasa.
“Kita naik taksi saja ke Odaiba,” ujarku dengan anggukan persetujuan mereka. Naoto pun merangkul lenganku tiba-tiba. “Senangnya kalau bisa seperti ini terus. Apa kau tak berniat mencari kekasih, Bara? Kau sudah berkorban banyak untuk Edo.”

Mendengarnya bicara seperti itu membuatku diam saja. Rasa sayangku pada Edo tak bisa kusandarkan dengan rasa kagumku pada Naoto. Aku tersenyum sekilas dan berhenti di sebuah kedai dorayaki, menawarkan kue itu pada Naoto, tapi ia hanya menggeleng saja.

“Kau kelihatan cantik.” Entah apa yang membuatku berani mengucapkan kata itu. Naoto tersipu malu dan balik memeluk kepala Edo. Edo merasa jemari mamanya panas seketika.
Kemudian kami main game sebentar lalu Edo menarikku ke toko buku dan memintaku membelikan ia buku baru bergambar. Aku benar-benar terharu saat ia memelukku dan mengatakan kalau aku membuatnya nyaman.
Esoknya pun Naoto datang bersama Edo ke rumah Bibi Gin.  Bibi senang hati dan membuat mie ramen untuk mereka. Uniknya, Edo ingin aku yang menyuapi ia agar hal itu bisa ia kenang dalam hidupnya.
“Hajimemashou. Makanlah wanita yang cantik,” puji Bibi Gin.
“Hai, so shimashou. Ini pasti enak.”

Bibi Gin bercerita banyak dengan Naoto, namun sayang, esok Naoto dan Edo akan pergi jauh, kota di mana nenek Naoto berasal, juga tempat di mana ayah biologis Edo berada. Kota yang tak pernah kujamah, Jakarta.
“Gomen nasai, pria yang baik hati. Aku berharap bisa secepatnya kembali.”
“Ya, Paman. Besok Paman mau mengantar kami?” Edo memelukku erat. Aku tak menggeleng dan berupaya tersenyum juga. Maka, dua hari ini benar-benar membuatku seperti terpesona dengan kebersamaan kami yang kupikir bisa kuwujudkan dalam kenyataan sesungguhnya.

Setelah berpikir keras malam itu, akupun tak bisa tidur tenang. Rasa kehilangan mulai membayang di hati. Apakah Edo bakal mengingatnya lagi, apakah perlindunganku padanya selama tiga tahun ini terkikis begitu saja? Akh… aku takut membayangkan kenyataan yang tengah menghampiriku.
***
Tuan Nagami memintaku mengantarkan Naoto hingga ke bandara, setelah sebelumnya ia kuantarkan ke rumah saudaranya di bagian utara, ia yang tampak menua tak sanggup berdiri lama dan Edo sedikit terisak-isak melihat kakeknya dan aku. Aku menahan gelisah saat jadwal penerbangan sebentar lagi tiba.
“Jangan lupakan Paman.” Aku kembali memeluk anak lelaki itu.
“Kami pasti kembali, kau baik sekali pada Edo.”
“Paman…”

Perasaan seperti inilah yang membuatku tak nyaman, aku tak  akan mengantar bubur ke hadapan Edo, atau mendengar dengkurnya yang selalu riang, bergulat hingga siang dan mengantung boneka di sudut rumah. Tapi Naoto meyakinkanku sekiranya bisa menggunakan telepon atau internet untuk kami memberi informasi. Tentunya hal ini lebih menyakitkan bagiku daripada harus berhadapan dengan dosen di Waseda.
Akhirnya dengan perasaaan sedih, aku kembali naik kereta ke Shibuya, dan mencoba menepis pikiranku terhadap keduanya. Aku pernah dengar tentang Jakarta,  juga tentang ayah Edo yang kini menetap di sana. Jangan-jangan mereka menemui orang itu, dan membodohiku di sini. Ini benar-benar menguasai hariku.
Hingga esok pagi, aku kembali berdiri depan rumah Edo, menatap lama-lama jalan yang menurun ke rumah Bibi Gin, menatap halaman depan yang aku dan Edo pakai untuk berolahraga pagi, juga mengakali sesuatu agar tukang bubur mau memberikan gratis pada kami berdua. Aku tertawa, kenangan itu begitu indah.
Keesokan hari aku tak mendapat dering telepon.
Tiga hari kemudian juga nihil.

Aku rindu mie ramen, rindu memeluk wangi anak lelaki itu. Email-ku sudah tak terhitung lagi. Tak ada balasan. Hening. Dengan ragu-ragu aku berangkat ke rumah saudara Naoto di utara, meminta nomor telepon di Jakarta. Tapi Tuan Nagami tak memberiku nomor telepon, hanya alamat saja. Dan aku bingung bagaimana mencari kabarnya.
Sudah sepuluh hari, tetap sepi. Aku sudah tak tahan dengan kesepian ini. Kuliahku sudah berjalan seperti biasa, namun aku ragu karena pikiranku ini terasa buntu. Aku menemui Riska, kenalanku di Universitas Waseda, seorang wanita cantik yang suka dengan fotografi dan dunia tulisan. Ia berasal dari Jakarta dan tentu tahu bagaimana keadaan di sana. Ia kaget ketika kutemui di ruangannya, sungguh tak percaya karena dulu ia pernah menolak cintaku. Dulu sekali.

Tapi itu tak membantu, aku tetap tak bisa menghubungi Naoto dan Edo. Rumah Naoto kini sudah disegel karena katanya akan dilelang oleh kontraktor. Banyak hal yang mereka sembunyikan dariku, dari orang lain sepertiku. Aku lesu saat mataku menangkap siluet rumah itu dari atas tanjakan, semuanya tampak remang. Penantianku ini terasa sia-sia. Tiga tahun yang kulalui bersama Edo membuatku benar-benar berada dalam pusaran perasaan iba.  Kini ia dan ibunya meninggalkanku, meninggalkan diriku yang bukan siapa-siapa.

Bulan berikutnya, Riska datang tiba-tiba dan mengajakku pulang bersamanya ke Jakarta, seperti mendapatkan napas yang baru, aku kembali bersemangat dan memohon cuti dari kuliahku. Rasa penasaranku akan sirna  dan aku benar-benar mengharapkan mereka berdua kembali. Riska melarangku memakai tabungan untuk biaya transportasi ke Jakarta, ia sendiri yang akan membayarnya. Semua karena doa, ucapnya singkat.
“Kau begitu mencintai mereka?” tanya Riska
“Mungkin.”
“Jika ia kembali pada suaminya di sana bagaimana?”
“Setidaknya aku bisa tahu keadaan yang sebenarnya.”
Riska mengeluarkan buku catatan dari  tasnya dan terus saja mencatat apa yang aku katakan, apa yang aku rasakan.
***
Aku terus saja mencatat. Bara benar-benar ada di sampingku memintaku membawanya ke  Jakarta, di mana ada Naoto dan Edo di sana. Aku kalut, tiba-tiba saja aku cemburu padda Naoto dan Edo, pada perhatian dan ketulusan Bara yang mereka dapatkan. Aku masih berada dalam kereta api menuju ibu kota dan sejujurnya lembaran-lembaran kertas ini membuatku gila.

Aku memang hendak pulang ke Jakarta dan Bara memintaku agar mempertemukan mereka. Kertas-kertas yang ada di pangkuanku terasa menertawakan aku. Aku berusaha merubah semuanya dan menuliskan namaku di akhir cerita. Tapi Bara hanya ingin bertemu Naoto dan Edo, hingga buku catatan itu kubanting ke dalam tas.

Entah mengapa aku jadi tak berdaya. Sepanjang perjalanan yang rasanya bisa kuubah, cinta Bara pada mereka tak bisa sirna. Baru kali ini aku menulis seuatu yang bertentangan dengan nuraniku, menulis seuatu yang tak pernah jadi nyata. Bara menguasai pikiranku pelan-pelan dan  aku panik, membuka catatan itu kembali dan pena yang ada di tanganku kupaksa agar ia bergerak dan menuliskan Bara tak akan pernah menemukan Naoto dan Edo. Jakarta begitu panas baginya dan di pangkuanku ia pun menyerah.

Lamat-lamat aku benar-benar kehilangan jati diriku, kemampuan yang diagungkan orang lain dalam menulis sebuah kisah. Nyatanya aku mengalami hal ini juga. Aku kehilangan alur cerita, kehilangan Bara yang hadir sejak beberapa minggu lalu. Aku tergugu menyaksikan kertas dalam catatan  jatuh menyudahi  petualanganku, meski aku menyadari, namaku tak pernah tertulis di cerita itu.***

Cikie Wahab, belajar menulis di Sekolah Menulis Paragraf, Pekanbaru. Cerpen dan puisinya sudah dimuat di banyak media, baik Riau, Sumatera Barat, maupun Jakarta.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/