25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Dia Datang, Dia yang Dikenang

Ramadhan Batubara

Ruang redaksi Majalah Pandji Pustaka, suatu hari pada 1943, kedatangan seorang muda kurus pucat dan tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah tersebut.

Saat itu, sepertinya tak akan ada yang menduga kalau lelaki muda tersebut di kemudian hari menjadi sosok yang sangat berpengaruh. Apalagi, sajak yang dia bawa yang berjudul ‘Susunan Dunia Baru’ tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu membarat.

Hm, cerita di atas disampaikan oleh HB Jassin, cerita yang sudah populer di kalangan pecinta sastra. Tentu ini tentang Chairil Anwar; bapak revolusi puisi Indonesia. Dari kutipan cerita di atas, ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Yakni, perhatikan usaha yang dilakukan oleh Chairil agar sajaknya bisa dibaca orang. Ya, dia datangi kantor majalah itu tanpa malu-malu. Ada sebuah kepercayaan diri yang kental dalam sosok ini. Seakan dia tak pernah merasa takut. Padahal dia tahu, di zaman itu, sajak semacam karyanya bukanlah pilihan media atau juga khalayak. Sajak yang berharga adalah sajak yang berima, berbait, mengandung sampiran dan isi, dan sebagainya. Intinya adalah sajak lama seperti dalam sejarah Sastra Indonesia. Tentu, sajaknya tak layak muat (bagaimana dengan sikap penyair dan calon penyair di zaman sekarang?).

Pertanyaan yang muncul dari kejadian tersebut adalah mental kuat yang dimiliki Chairil sejatinya berasal darimana? Apakah karena dia masih keluarga Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia? Hm, tampaknya terlalu picik melihat dari sisi itu walau sebenarnya bisa saja benar. Nah, setelah berusaha mencari tahu, dari beberapa literatur terungkaplah kenapa Chairil bisa memiliki mental semacam itu.

Begini, teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang kalah. “Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam.”

Ya, Chairil dilahirkan di sini di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ayahnya, Toeloes, berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi bupati Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Koto Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir. Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah. Hanya dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala keinginan Chairil pasti dipenuhi termasuk mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela.

Bahkan kalau perlu ikut berkelahi. Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.

Tampaknya latar belakang kehidupan Chairil tersebut bisa dijadikan pembentukan mentalnya. Nah, setelah sajak ‘Susunan Dunia Baru’ dianggap tak layak, apakah dia putus asa atau malah membabi buta marah pada redaksi Pandji Pustaka? Jawabnya tidak  (bagaimana dengan sikap penyair dan calon penyair di zaman sekarang?). Dia malah sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi. Gaya bersajak dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan membarat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Setelah itu, siapa yang tak kenal Chairil Anwar?

Sayangnya, vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisik yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Begitulah Chairil, terlalu banyak yang bisa diceritakan tentang sosok ini, namun saya hanya ingin mengambil semangatnya saja. Setidaknya bagi saya, meskipun bukan berproses menjadi penyair ketika di Medan, dia adalah putera kelahiran Medan. Sayangnya, kenapa peringatan Hari Chairil Anwar yang jatuh pada 28 April tak hingar-bingar di tempat dia lahir? Ah, masih terekam di otak saya ketika masih di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Setiap April, kampus dan lembaga kebudayaan lainnya seakan berebut untuk memanfaatkan momen itu. Fiuh.

Ah sudahlah, saya hentikan saja lantun ini. Saya ingin mencerna dengan benar beberapa kalimat yang ditulis Chairil di tahun kematiannya, 1949. Sajak yang berjudul ‘Yang Terampas dan Yang Putus’: Kelam dan angin lalu mempesiang diriku//Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin//Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu//Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin//Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang//Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang//Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku. (*)
28 April 2011

Ramadhan Batubara

Ruang redaksi Majalah Pandji Pustaka, suatu hari pada 1943, kedatangan seorang muda kurus pucat dan tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah tersebut.

Saat itu, sepertinya tak akan ada yang menduga kalau lelaki muda tersebut di kemudian hari menjadi sosok yang sangat berpengaruh. Apalagi, sajak yang dia bawa yang berjudul ‘Susunan Dunia Baru’ tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu membarat.

Hm, cerita di atas disampaikan oleh HB Jassin, cerita yang sudah populer di kalangan pecinta sastra. Tentu ini tentang Chairil Anwar; bapak revolusi puisi Indonesia. Dari kutipan cerita di atas, ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Yakni, perhatikan usaha yang dilakukan oleh Chairil agar sajaknya bisa dibaca orang. Ya, dia datangi kantor majalah itu tanpa malu-malu. Ada sebuah kepercayaan diri yang kental dalam sosok ini. Seakan dia tak pernah merasa takut. Padahal dia tahu, di zaman itu, sajak semacam karyanya bukanlah pilihan media atau juga khalayak. Sajak yang berharga adalah sajak yang berima, berbait, mengandung sampiran dan isi, dan sebagainya. Intinya adalah sajak lama seperti dalam sejarah Sastra Indonesia. Tentu, sajaknya tak layak muat (bagaimana dengan sikap penyair dan calon penyair di zaman sekarang?).

Pertanyaan yang muncul dari kejadian tersebut adalah mental kuat yang dimiliki Chairil sejatinya berasal darimana? Apakah karena dia masih keluarga Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia? Hm, tampaknya terlalu picik melihat dari sisi itu walau sebenarnya bisa saja benar. Nah, setelah berusaha mencari tahu, dari beberapa literatur terungkaplah kenapa Chairil bisa memiliki mental semacam itu.

Begini, teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang kalah. “Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam.”

Ya, Chairil dilahirkan di sini di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ayahnya, Toeloes, berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi bupati Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Koto Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir. Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah. Hanya dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala keinginan Chairil pasti dipenuhi termasuk mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela.

Bahkan kalau perlu ikut berkelahi. Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.

Tampaknya latar belakang kehidupan Chairil tersebut bisa dijadikan pembentukan mentalnya. Nah, setelah sajak ‘Susunan Dunia Baru’ dianggap tak layak, apakah dia putus asa atau malah membabi buta marah pada redaksi Pandji Pustaka? Jawabnya tidak  (bagaimana dengan sikap penyair dan calon penyair di zaman sekarang?). Dia malah sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi. Gaya bersajak dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan membarat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Setelah itu, siapa yang tak kenal Chairil Anwar?

Sayangnya, vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisik yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Begitulah Chairil, terlalu banyak yang bisa diceritakan tentang sosok ini, namun saya hanya ingin mengambil semangatnya saja. Setidaknya bagi saya, meskipun bukan berproses menjadi penyair ketika di Medan, dia adalah putera kelahiran Medan. Sayangnya, kenapa peringatan Hari Chairil Anwar yang jatuh pada 28 April tak hingar-bingar di tempat dia lahir? Ah, masih terekam di otak saya ketika masih di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Setiap April, kampus dan lembaga kebudayaan lainnya seakan berebut untuk memanfaatkan momen itu. Fiuh.

Ah sudahlah, saya hentikan saja lantun ini. Saya ingin mencerna dengan benar beberapa kalimat yang ditulis Chairil di tahun kematiannya, 1949. Sajak yang berjudul ‘Yang Terampas dan Yang Putus’: Kelam dan angin lalu mempesiang diriku//Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin//Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu//Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin//Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang//Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang//Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku. (*)
28 April 2011

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/