28 C
Medan
Friday, September 27, 2024

ABG Tapteng Makan Pasir dan Kerikil

TAPTENG- Aneh tapi nyata. Seorang anak baru gede (ABG) di Tapanuli Tengah (Tapteng) doyan makan pasir dan kerikil. Kesukaannya makan pasir bukan baru-baru ini, namun telah menjadi kebiasaan sejak berusia 5 tahun. Sedangkan kerikil, baru dia lahap tiga tahun ke belakang.
Adalah Roma Uli br Tobing (16), ABG yang dimaksud. Tentu saja hal itu membuat orangtuanya Jammer Lumbantobing-Dermina br Simamora, warga Desa Naga Timbul, Kecamatan Sitahuis, Tapteng, cemas. “Dia (Roma Uli) tidak hanya hobi makan pasir. Sejak 3 tahun belakangan ini dia juga sudah mau memakan batu krikil yang kecil-kecil, seukuran sebesar kelereng. Saya sendiri pernah memergokinya sedang memakan kerikil puluhan biji. Bahkan sering disembunyikan di dalam kantong bajunya, lalu dimakaninya saat mau tidur. Kami tidak tahan lagi melihatnya,” keluh Jammer Lumbantobing, Rabu (10/7).
Seperti diberitakan sebelumnya oleh Metro Tapanuli (grup Sumut Pos), kebiasaan memakan pasir Roma Uli munculn
saat ia berusia 5 tahun. Perilaku aneh itu dipicu serangan disentri yang menyerangnya pada usia 2,5 tahun. Kondisi itu membuat tubuh gadis yang seharusnya sudah beranjak dewasa itu malah semakin kerdil. Berat badannya hanya sekitar 25 kg, dan tingginya sekitar 105 cm.
Jammer mengakui, kebiasaan makan pasir membuat pertumbuhan badan Roma Uli terhambat. Ironisnya lagi, anak ketiga dari 8 bersaudara itu  pun harus putus sekolah sejak kelas 3 SD pada 2005  lalu.
Sementara upaya pengobatan sudah dilakukan sekuat tenaga keluarga tidak mampu itu. Baik secara medis ke puskesmas setempat, maupun pengobatan alternatif dengan bantuan paranormal. Bahkan, harapan akan kesembuhan juga dilakukan melalui penggantian namanya dari Heni Sartika menjadi Roma Uli oleh pihak kerabat keluarganya. Saat itu usia Roma Uli masih 9 tahun.
Satu hal lagi, keadaan ekonomi keluarga Jammer yang tidak mampu membuat penderitaan Roma Uli kian berkepanjangan. Jammer dan istrinya memang hanya buruh sadap getah karet milik orang lain. Untuk membantu ekonomi keluarga, istri Jammer juga harus sambil bertani kecil-kecilan. Rumah mereka pun sangat sederhana sekali. Keluarga Jammer tinggal di rumah berukuran 4 x 6 meter yang berdinding papan.
Satu hal lagi yang menjadi kekhawatiran keluarga tidak mampu itu. Dua adik laki-laki Roma Uli, Sabrion Tobing (8) kelas 1 SD dan Dei Syarfi Tobing (3,5) sempat tertular kebiasaan memakan pasir tersebut. Untung saja, mereka bisa mengontrolnya sehingga kedua adiknya itu berhenti makan pasir sejak dua tahun lalu.
“Beginilah kehidupan kami. Kami hanya bisa berdoa semoga ada dermawan yang menolong kami, khususnya untuk pengobatan anak kami ini,” kata Jammer.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Aek Raisan dr Maruli Silalahi yang merawat Roma Uli sejak setahun ini menjelaskan, penyakit yang diderita  Roma Uli disebut Syndroma Pica atau kelainan psikologi yang gemar memakan tanah, pasir, batu dan serpihan kaca. Di mana efek dari kebiasaan tersebut menyebabkan diare/disentri, defisiensi zat besi, penyakit cacingan, anemia dan gangguan pertumbuhan badan.
Dr Maruli Silalahi juga mengukapkan, prilaku aneh Roma Uli tersebut jelas membuat sistem pencernaannya terganggu. Makanan yang dikonsumsi berupa pasir dan kerikil akan menimbulkan radang usus, dan disentri berkepanjangan dan berulang-ulang. “Dampak terburuknya terjadinya infeksi usus, gizi buruk, cacingan, gangguan pertumbuhan tubuh hingga kematian,” ujar dr Maruli, Rabu (10/7).
Sepanjang masih dapat ditangani pihaknya, dr Maruli mengatakan akan memberi perhatian khusus kepada Roma Uli. Seperti kunjungan rutin dan memberi masukan kepada orangtuanya agar lebih ketat mengawasi prilaku aneh Roma Uli itu. Tapi jika sampai kondisi Rima Uli kian memburuk, pihaknya akan segera merujuknya ke RSUD Pandan untuk mendapat perawatan yang lebih intensif.
“Sejauh ini masih dapat kami tangani. Karena selama ini pun dia (Roma Uli) belum pernah diopname. Tapi kalau nanti kami tidak sanggup karena kondisinya makin buruk, kami akan merujuknya ke rumah sakit. Kami upayakan agar ditanggung melalui program pengobatan gratis Pemkab Tapteng atau Jamkesda,” pungkasnya. (Juris Tanjung)

TAPTENG- Aneh tapi nyata. Seorang anak baru gede (ABG) di Tapanuli Tengah (Tapteng) doyan makan pasir dan kerikil. Kesukaannya makan pasir bukan baru-baru ini, namun telah menjadi kebiasaan sejak berusia 5 tahun. Sedangkan kerikil, baru dia lahap tiga tahun ke belakang.
Adalah Roma Uli br Tobing (16), ABG yang dimaksud. Tentu saja hal itu membuat orangtuanya Jammer Lumbantobing-Dermina br Simamora, warga Desa Naga Timbul, Kecamatan Sitahuis, Tapteng, cemas. “Dia (Roma Uli) tidak hanya hobi makan pasir. Sejak 3 tahun belakangan ini dia juga sudah mau memakan batu krikil yang kecil-kecil, seukuran sebesar kelereng. Saya sendiri pernah memergokinya sedang memakan kerikil puluhan biji. Bahkan sering disembunyikan di dalam kantong bajunya, lalu dimakaninya saat mau tidur. Kami tidak tahan lagi melihatnya,” keluh Jammer Lumbantobing, Rabu (10/7).
Seperti diberitakan sebelumnya oleh Metro Tapanuli (grup Sumut Pos), kebiasaan memakan pasir Roma Uli munculn
saat ia berusia 5 tahun. Perilaku aneh itu dipicu serangan disentri yang menyerangnya pada usia 2,5 tahun. Kondisi itu membuat tubuh gadis yang seharusnya sudah beranjak dewasa itu malah semakin kerdil. Berat badannya hanya sekitar 25 kg, dan tingginya sekitar 105 cm.
Jammer mengakui, kebiasaan makan pasir membuat pertumbuhan badan Roma Uli terhambat. Ironisnya lagi, anak ketiga dari 8 bersaudara itu  pun harus putus sekolah sejak kelas 3 SD pada 2005  lalu.
Sementara upaya pengobatan sudah dilakukan sekuat tenaga keluarga tidak mampu itu. Baik secara medis ke puskesmas setempat, maupun pengobatan alternatif dengan bantuan paranormal. Bahkan, harapan akan kesembuhan juga dilakukan melalui penggantian namanya dari Heni Sartika menjadi Roma Uli oleh pihak kerabat keluarganya. Saat itu usia Roma Uli masih 9 tahun.
Satu hal lagi, keadaan ekonomi keluarga Jammer yang tidak mampu membuat penderitaan Roma Uli kian berkepanjangan. Jammer dan istrinya memang hanya buruh sadap getah karet milik orang lain. Untuk membantu ekonomi keluarga, istri Jammer juga harus sambil bertani kecil-kecilan. Rumah mereka pun sangat sederhana sekali. Keluarga Jammer tinggal di rumah berukuran 4 x 6 meter yang berdinding papan.
Satu hal lagi yang menjadi kekhawatiran keluarga tidak mampu itu. Dua adik laki-laki Roma Uli, Sabrion Tobing (8) kelas 1 SD dan Dei Syarfi Tobing (3,5) sempat tertular kebiasaan memakan pasir tersebut. Untung saja, mereka bisa mengontrolnya sehingga kedua adiknya itu berhenti makan pasir sejak dua tahun lalu.
“Beginilah kehidupan kami. Kami hanya bisa berdoa semoga ada dermawan yang menolong kami, khususnya untuk pengobatan anak kami ini,” kata Jammer.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Aek Raisan dr Maruli Silalahi yang merawat Roma Uli sejak setahun ini menjelaskan, penyakit yang diderita  Roma Uli disebut Syndroma Pica atau kelainan psikologi yang gemar memakan tanah, pasir, batu dan serpihan kaca. Di mana efek dari kebiasaan tersebut menyebabkan diare/disentri, defisiensi zat besi, penyakit cacingan, anemia dan gangguan pertumbuhan badan.
Dr Maruli Silalahi juga mengukapkan, prilaku aneh Roma Uli tersebut jelas membuat sistem pencernaannya terganggu. Makanan yang dikonsumsi berupa pasir dan kerikil akan menimbulkan radang usus, dan disentri berkepanjangan dan berulang-ulang. “Dampak terburuknya terjadinya infeksi usus, gizi buruk, cacingan, gangguan pertumbuhan tubuh hingga kematian,” ujar dr Maruli, Rabu (10/7).
Sepanjang masih dapat ditangani pihaknya, dr Maruli mengatakan akan memberi perhatian khusus kepada Roma Uli. Seperti kunjungan rutin dan memberi masukan kepada orangtuanya agar lebih ketat mengawasi prilaku aneh Roma Uli itu. Tapi jika sampai kondisi Rima Uli kian memburuk, pihaknya akan segera merujuknya ke RSUD Pandan untuk mendapat perawatan yang lebih intensif.
“Sejauh ini masih dapat kami tangani. Karena selama ini pun dia (Roma Uli) belum pernah diopname. Tapi kalau nanti kami tidak sanggup karena kondisinya makin buruk, kami akan merujuknya ke rumah sakit. Kami upayakan agar ditanggung melalui program pengobatan gratis Pemkab Tapteng atau Jamkesda,” pungkasnya. (Juris Tanjung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/