Hujan masih terus turun hingga hari ini. Padahal, ini sudah Juli. Padahal, ini sudah tanggal 22. Sudah hampir Agustus. Ada yang senang dengan anomali cuaca ini. Misalnya, petani padi. Mereka bisa panen tiga kali setahun.
Bisa jadi tahun ini produksi beras kita benar-benar melimpah sehingga tidak perlu lagi impor. Asal tidak ada hama yang tiba-tiba mewabah di sawah-sawah kita.
Hama memang sulit diduga. Minggu lalu seorang petani di Kulon Progo, yang saya pernah bermalam di rumahnya, mengirim SMS: ada serangan hama tikus di Jogja. Hari itu juga saya minta Brigade Pemberantasan Hama BUMN di bawah kendali PT Pupuk Indonesia bergerak. Ternyata benar. Serangan hama tikus itu menyerbu Godean, Jogja, kampung asal almarhum Pak Harto itu.
Saat ini mereka terus bekerja bersama para petani untuk melawan tikus-tikus di sawah. Saya juga akan ke sana untuk melihat hasil kerja brigade antihama itu.
Orang yang lagi berpuasa juga senang dengan dinginnya cuaca. Tidak mudah haus. PLN juga senang dengan kondisi ini karena pemakaian listrik turun. Listrik tidak banyak “menguap” oleh cuaca panas, dan tidak terlalu banyak digunakan untuk AC. Beda pemakaian listrik di musim hujan dan musim panas bisa mencapai 300 MW. Itu hanya untuk Jawa.
Tentu gara-gara hujan yang tidak berhenti-berhenti ini banyak juga yang sedih: petani garam, petani tebu, dan petani tembakau. Petani garam di Madura sangat terpukul. Minggu kemarin saya berkunjung ke pusat perladangan garam di Sampang. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan ladang tanpa garam. Padahal, seharusnya, bila cuaca normal, kawasan ini akan menjadi hamparan kristal yang berkilau-kilau seperti tanpa batas.
“Tahun ini sudah pasti produksi garam merosot sampai 40 persen,” ujar Slamet Untung Iradenta, komisaris utama PT Garam (Persero), yang mendampingi saya ke Pamekasan dan Sampang.
Di Pamekasan, setelah bertemu para ulama di Pondok Pesantren Al Hamidy, Banyuanyar, di bawah pimpinan KH Mohammad Rofi”i, saya bertemu 500 petani garam dari Sumenep dan Pamekasan. Saya berdialog dan bercanda bersama mereka dengan serunya di Pendapa Kabupaten Pamekasan. Sampai-sampai saya dipaksa untuk mau digendong seorang petani yang badannya kekar di pendapa itu.
Dari Pamekasan saya menuju Sampang untuk salat Tarawih di Masjid Jami”. Rasanya, inilah satu-satunya Masjid Jami” yang memiliki pesantren Tahfidzul Qur”an, pesantren khusus untuk menghafal Alquran. Lalu saya berdialog dengan para ulama di Pesantren Al Ihsan, Jrangoan, di bawah pimpinan KH Machrus sampai jauh malam dan bermalam di pesantren itu. Minggu pagi saya berdialog dengan 500 petani garam di pusat penggaraman Pangarengan.
BUMN memang berniat membantu meningkatkan produksi garam rakyat di Madura. Tahap pertama dilakukan tahun ini untuk 1.000 petani garam yang paling miskin. Caranya: memberikan pinjaman tanpa bunga untuk modernisasi ladang garam. Yakni, biaya untuk membeli geomembran.
Dengan pemasangan geomembran itu produksi garam bisa meningkat. Proses produksi juga bisa lebih cepat dan seluruh garam yang dihasilkan berkualitas nomor satu. Tidak ada lagi garam bercampur tanah karena letaknya paling bawah. Geomembran itulah yang dihampar di dasar ladang garam.
“Bapak pernah tahu geomembran?” tanya saya kepada petani yang saya minta maju ke panggung.
“Tak oneng,” jawab Pak Tholib, petani garam itu.
“Pernah melihat geomembran?” tanya saya lagi.
“Tak oneng,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
“Pernah mendengar kata geomembran?” tanya saya.
“Tak oneng,” jawab Pak Tholib.
Saya agak heran dengan jawaban yang serba tidak itu. Padahal, di kawasan itu PT Garam sudah lebih setahun memasang geomembran seluas 300 hektare. Hasilnya pun luar biasa. Ladang garam yang dulu-dulu hanya bisa menghasilkan 70 ton per hektare, setelah dipasangi geomembran bisa menghasilkan 130 ton per hektare.
PT Garam juga tidak direpotkan lagi oleh garam kualitas 1, kualitas 2, dan kualitas 3 yang harganya sangat jatuh itu. Semua garam produksi PT Garam adalah garam kualitas premium.
Setelah membuktikan keberhasilan itu saya minta PT Garam mengajak petani garam untuk melihat dan menyaksikan praktik modernisasi ladang garam itu. Saya juga minta PT Garam menghimpun 1.000 petani garam termiskin untuk diajak memasang geomembran.
Tentu para petani yang hadir di acara dialog tersebut tertawa riuh ketika Pak Tholib menjawab serba “tak oneng”.
Lalu seorang ibu memberanikan diri untuk menjelaskan kepada saya. “Di sini geomembran itu disebut karpet, Pak Menteri,” katanya.
Semua yang hadir pun kembali tertawa riuh. Ternyata Pak Tholib sudah “oneng” geomembran. Bahkan, Pak Tholib dan semua yang hadir di situ sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa geomembran, eh, karpet itu akan membuat produksi meningkat, biaya produksi turun, dan menghasilkan garam dengan kualitas yang lebih baik.
Total pinjaman tanpa bunga yang dipergunakan untuk membeli karpet bagi 1.000 petani garam termiskin di Madura itu mencapai Rp 32 miliar. Dananya dari berbagai perusahaan BUMN yang kuat. Mereka akan mengembalikannya selama lima tahun.
Secara bisnis, petani sebenarnya sudah bisa melunasinya selama dua tahun. Selisih jumlah produksinya begitu besar sehingga hitungannya sangat jelas. Namun, pengembalian selama lima tahun akan lebih meringankan mereka. PT Garam akan mengoordinasikan pengembalian itu dan kelak dipergunakan untuk melakukan membranisasi, eh, karpetisasi, di tambak-tambak garam milik petani lainnya.
Di akhir dialog, tiba-tiba seorang anak muda (rupanya penggemar Liverpool) berlari menuju panggung minta bicara. Setelah mengajak tost sebagai sesama penggemar Liverpool, dia bicara mewakili bapaknya. “Pak, setelah produksi garam nanti meningkat, harganya pasti jatuh,” katanya. “Untuk apa diadakan peningkatan produksi kalau harganya jatuh. Sama saja. Produksi rendah harga baik. Produksi bertambah harga turun,” katanya.
Persoalan ini juga yang disampaikan para petani garam saat berdialog di Pamekasan sehari sebelumnya. Harga garam, di saat panen, hanya Rp 500 per kilogram. “Parkir sepeda motor saja sudah Rp 1.000. Masak hasil petani garam yang demikian susah lebih murah daripada parkir motor,” kata seorang petani dari Sumenep.
“Memang, garam adalah komoditas yang harganya paling jelek di antara komoditas lain,” ujar Slamet Untung Iradenta yang pernah menjabat Dirut PT Garam.
Sudah lama Slamet mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga stabilisasi harga garam. Dana yang diperlukan hanya Rp 500 miliar. Yang tertolong jutaan orang. Dana itu pun tidak akan hilang karena terus berputar. (*)