32 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Dirjen Lapas Curhat ke Komisi III DPR

DIREKTORAT Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM sempat menyampaikan keluhanya ke Komisi III DPR, terkait dengan diakomodirnya narapidana kasus terorisme dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Kami bukan ahlinya mengurus teroris, tapi ditempatkan dalam lapas. Kami harus melakukan deradikalisasi. Istilah itu saja baru kedengaran kemarin-kemarin,” kata Dirjen Lapas, Bambang Krisbanu, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/8).
Bambang berterus terang, pihaknya sangat kesulitan dalam melakukan deradikalisasi teroris selama dalam Lapas. “Dan itu bukan hal yang mudah. Ustadz kondang saja enggak bisa mengubah,” sambungnya.

Selain itu, Bambang juga mengeluh terkait dengan narapidana kasus narkoba. Sebab pihak Lapastidak memiliki kemampuan atau fasilitas khusus untuk menangani narapidana narkoba, terutama yang masih mengidap ketergantungan.
“Kami enggak punya dokter, enggak punya klinik, fasilitas enggak punya,” keluhnya.

Belum lagi saat petugas Lapas menghadapi narapidana kasus korupsi, yang kebanyakan adalah para bekas pejabat negara. Latar status sosial yang berbeda sering kali membuat petugas kebingungan saat berhadapan dengan narapidana kasus korupsi.
“Kalau bicara dengan mantan bupati, seolah-olah dia bicara dengan bupati. Kalau bicara dengan mantan gubernur seolah-olah dia bicara gubernur. Dan, itu tentunya berpengaruh kepada psikologis petugas,” kesalnya.

Bambang juga mengaku PP 99/2012 membuat resah kondisi di Lapas. Soalnya, PP soal pengetatan remisi tersebut membuat para penghuni Lapas kesulitan mendapatkan potongan masa tahanan.

“Aspirasi kebanyakan mereka (para narapidana) menyampaikan hal yang sama, prosesnya jadi lebih lama (untuk mendapat remisi). Jika ingin menjadi justice collaborator syaratnya lebih lama, itu yang menjadikan resah,” katanya.

Setali tiga uang dengan para penghuni hotel prodeo, para Kalapas juga mengeluhkan PP tersebut. Pada rapat dengar pendapat yang dihadiri 60 Kalapas seluruh Indonesia itu, mereka mengeluhkan dampak PP 99 terhadap kondisi Lapas yang kelebihan penghuni.

“Misalnya pada hari 17 Agustus kemarin, SK remisi belum juga terbit. Ini karena prosesnya jadi panjang, harus minta rekomendasi ke BNN, Kejaksaan Agung, begitu,” keluhnya.

Bambang menyampaikan wacana untuk memisahkan terpidana kasus terorisme dengan terpidana lainnya. Bambang menjelaskan, Lapas khusus terpidana terorisme rencananya akan dibangun di sekitar Sentul, Bogor, Jawa Barat, sesuai dengan rencana yang dimiliki oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

Seluruh tahanan kasus terorisme yang jumlahnya mencapai 400 orang akan segera dipindahkan setelah Lapas khusus teroris itu selesai dibangun. Wacana itu telah disampaikan kepada Komisi III DPR dan BNPT. “Ya, kami berwacana seperti itu. Mudah-mudahan terwujud,” katanya.

Saat ini, kata Bambang, Menteri Hukum dan HAM bersama BNPT dan Densus 88 telah melakukan pembahasan dan beberapa kali telah meninjau lokasi di mana Lapasitu akan dibangun. Ia menganggap wajar bila realisasinya memerlukan waktu panjang karena ini merupakan masalah yang serius.

Mengenai tata kelolanya, Bambang menyatakan siap bila pihaknya mengambil alih seluruh masalah administratifnya. Sedangkan masalah keamanan dan pembinaan narapidana, ia berharap ada ahli yang diterjunkan khusus untuk mengurus hal tersebut.

“Ini wacana saya yang mudah-mudahan ke depan bisa terakomodir. Ini pekerjaan yang tak semudah membalikkan telapak tangan,” ujarnya.

Lalu, bagaimana dengan Sumut? Menurut Bambang sekitar 48 persen penghuni setiap Lapas di Sumut merupakan napi tersangkut kasus narkoba. Kementerian pun berencana membuka layanan untuk napi pengguna narkoba.

“Akan dibuka layanan untuk kasus narkoba. Dulu kita juga sudah kerja sama dengan rumah sakit induk. Kalau di Medan ini, RSUD Adam Malik. Karena 48 persen pengguna, pengedar dan produsen narkoba. Mungkin separohnya adalah pemakai. Tapi banyak juga pemakai dan pengedar,” terangnya.

Saat ditanyakan apakah pihaknya ada rencana untuk mendirikan Lapas untuk menampung khusus narapidana narkoba? Bambang menyatakan, rencana itu membutuhkan dana lebih besar. “Masih dalam pertimbangan, karena itukan menyangkut biaya. Kalau sudah menyangkut biaya, pembahasannya lebih panjang dan lebih lama lagi, serta melibatkan macam-macam kementerian,” urainya.

Mengenai pengamanan di sejumlah Lapas Sumut yang over kapasitas, Bambang mengaku pihaknya masih berkoordinasi dengan kepolisian. “Setelah napi dipindahkan baik dari Lapas Tanjunggusta maupun dari Lapas Labuhanruku, kondisi di sana baik-baik saja. Walaupun seluruh Lapas di Sumut itu sudah over kapasitas, tapi secara umum napi dapat dikendalikan. Kami tengah koordinasi supaya ada penambahan personel kepolisian di Lapas yang rentan konflik,” paparnya. (bbs/jpnn/far)

DIREKTORAT Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM sempat menyampaikan keluhanya ke Komisi III DPR, terkait dengan diakomodirnya narapidana kasus terorisme dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Kami bukan ahlinya mengurus teroris, tapi ditempatkan dalam lapas. Kami harus melakukan deradikalisasi. Istilah itu saja baru kedengaran kemarin-kemarin,” kata Dirjen Lapas, Bambang Krisbanu, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/8).
Bambang berterus terang, pihaknya sangat kesulitan dalam melakukan deradikalisasi teroris selama dalam Lapas. “Dan itu bukan hal yang mudah. Ustadz kondang saja enggak bisa mengubah,” sambungnya.

Selain itu, Bambang juga mengeluh terkait dengan narapidana kasus narkoba. Sebab pihak Lapastidak memiliki kemampuan atau fasilitas khusus untuk menangani narapidana narkoba, terutama yang masih mengidap ketergantungan.
“Kami enggak punya dokter, enggak punya klinik, fasilitas enggak punya,” keluhnya.

Belum lagi saat petugas Lapas menghadapi narapidana kasus korupsi, yang kebanyakan adalah para bekas pejabat negara. Latar status sosial yang berbeda sering kali membuat petugas kebingungan saat berhadapan dengan narapidana kasus korupsi.
“Kalau bicara dengan mantan bupati, seolah-olah dia bicara dengan bupati. Kalau bicara dengan mantan gubernur seolah-olah dia bicara gubernur. Dan, itu tentunya berpengaruh kepada psikologis petugas,” kesalnya.

Bambang juga mengaku PP 99/2012 membuat resah kondisi di Lapas. Soalnya, PP soal pengetatan remisi tersebut membuat para penghuni Lapas kesulitan mendapatkan potongan masa tahanan.

“Aspirasi kebanyakan mereka (para narapidana) menyampaikan hal yang sama, prosesnya jadi lebih lama (untuk mendapat remisi). Jika ingin menjadi justice collaborator syaratnya lebih lama, itu yang menjadikan resah,” katanya.

Setali tiga uang dengan para penghuni hotel prodeo, para Kalapas juga mengeluhkan PP tersebut. Pada rapat dengar pendapat yang dihadiri 60 Kalapas seluruh Indonesia itu, mereka mengeluhkan dampak PP 99 terhadap kondisi Lapas yang kelebihan penghuni.

“Misalnya pada hari 17 Agustus kemarin, SK remisi belum juga terbit. Ini karena prosesnya jadi panjang, harus minta rekomendasi ke BNN, Kejaksaan Agung, begitu,” keluhnya.

Bambang menyampaikan wacana untuk memisahkan terpidana kasus terorisme dengan terpidana lainnya. Bambang menjelaskan, Lapas khusus terpidana terorisme rencananya akan dibangun di sekitar Sentul, Bogor, Jawa Barat, sesuai dengan rencana yang dimiliki oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

Seluruh tahanan kasus terorisme yang jumlahnya mencapai 400 orang akan segera dipindahkan setelah Lapas khusus teroris itu selesai dibangun. Wacana itu telah disampaikan kepada Komisi III DPR dan BNPT. “Ya, kami berwacana seperti itu. Mudah-mudahan terwujud,” katanya.

Saat ini, kata Bambang, Menteri Hukum dan HAM bersama BNPT dan Densus 88 telah melakukan pembahasan dan beberapa kali telah meninjau lokasi di mana Lapasitu akan dibangun. Ia menganggap wajar bila realisasinya memerlukan waktu panjang karena ini merupakan masalah yang serius.

Mengenai tata kelolanya, Bambang menyatakan siap bila pihaknya mengambil alih seluruh masalah administratifnya. Sedangkan masalah keamanan dan pembinaan narapidana, ia berharap ada ahli yang diterjunkan khusus untuk mengurus hal tersebut.

“Ini wacana saya yang mudah-mudahan ke depan bisa terakomodir. Ini pekerjaan yang tak semudah membalikkan telapak tangan,” ujarnya.

Lalu, bagaimana dengan Sumut? Menurut Bambang sekitar 48 persen penghuni setiap Lapas di Sumut merupakan napi tersangkut kasus narkoba. Kementerian pun berencana membuka layanan untuk napi pengguna narkoba.

“Akan dibuka layanan untuk kasus narkoba. Dulu kita juga sudah kerja sama dengan rumah sakit induk. Kalau di Medan ini, RSUD Adam Malik. Karena 48 persen pengguna, pengedar dan produsen narkoba. Mungkin separohnya adalah pemakai. Tapi banyak juga pemakai dan pengedar,” terangnya.

Saat ditanyakan apakah pihaknya ada rencana untuk mendirikan Lapas untuk menampung khusus narapidana narkoba? Bambang menyatakan, rencana itu membutuhkan dana lebih besar. “Masih dalam pertimbangan, karena itukan menyangkut biaya. Kalau sudah menyangkut biaya, pembahasannya lebih panjang dan lebih lama lagi, serta melibatkan macam-macam kementerian,” urainya.

Mengenai pengamanan di sejumlah Lapas Sumut yang over kapasitas, Bambang mengaku pihaknya masih berkoordinasi dengan kepolisian. “Setelah napi dipindahkan baik dari Lapas Tanjunggusta maupun dari Lapas Labuhanruku, kondisi di sana baik-baik saja. Walaupun seluruh Lapas di Sumut itu sudah over kapasitas, tapi secara umum napi dapat dikendalikan. Kami tengah koordinasi supaya ada penambahan personel kepolisian di Lapas yang rentan konflik,” paparnya. (bbs/jpnn/far)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/