Jakarta – Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Miss World untuk pertama kalinya sekaligus menjadi negara Asia Tenggara pertama yang menyelenggarakan kontes ini sepanjang sejarah.
Miss World 2013 adalah kontes kecantikan internasional keempat yang diadakan di Indonesia setelah Miss ASEAN di tahun 2005, International Man pada 2007, Mister International pada 2010, dan Miss Coffee International di tahun 2012. Di tahun ini pula tak akan ada penggunaan bikini dalam kontes, melainkan diganti dengan sarung Bali untuk menghormati adat istiadat bangsa Indonesia.
Namun Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni’am Soleh menegaskana pihaknya tidak akan berubah sikap dan tetap menolak penyelenggaraan Miss World di Bali dan Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Ia yakin bila pemerintah punya kebijakan politik yang kuat bisa membatalkan sementara pergelaran ini. Namun, bila tidak, pemerintah dan penyelenggara harus siap menerima gelombang protes dari kalangan umat muslim di Tanah Air. “Kenapa tidak bisa dibatalkan? Bisa saja selama itu belum dimulai. Wong yang dimulai saja bisa dibatalkan kok,” ujarnya kepada wartawan, kemarin.
Dalam pandangan dia, kesatuan negara serta pola pikir menjunjung harkat martabat perempuan harus dijunjung pemerintah dan masyarakat. Ia meragukan penyelenggaraan Miss World tidak melecehkan budaya bangsa meski ada kebijakan tanpa memakai bikini.
Lebih baik, Asrorun menegaskan, pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat yang dianggap lebih penting. Hal ini juga harus menjadi evaluasi bagi pemerintah agar tegas menolak kebijakan yang tidak sesuai dengan martabat bangsa yang mayoritas penduduk muslim. “Harus ada political real. Pemerintah mesti lihat ini sebagai introspeksi,” kata dia.
Adapun Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Slamet Effendi Yusuf mengatakan pergelaran Miss World di Indonesia hanya kepentingan komersial dan ajang menjadikan perempuan sebagai komoditas.
Di mata Slamet, janji panitia penyelenggara yang bakal menerapkan peraturan busana tanpa bikini dan memakai adat salah satu daerah dianggap hanya kamuflase. Menurutnya, tidak ada jaminan karena seperti pergelaran sebelumnya juga seperti itu. Ada penyesuaian busana karena negara penyelenggara, namun busana pakaian minim tetap tidak bisa dilepaskan. “Cara itu enggak mengubah substansinya. Tetap saja ada perempuan sebagai alat komoditas,” ujarnya menegaskan.(kl/brn)