SUMUTPOS.CO – Kebijakan suku bunga tinggi terus berlanjut. Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan (BI rate) 0,25 basis poin (bps) ke 7,5 persen. Dengan begitu, dalam enam bulan terakhir bank sentral telah menaikkan BI rate 175 bps atau 1,75 persen. BI rate 7,5 persen juga yang tertinggi sejak Mei 2009.
Direktur Eksekutif Departemen BI Difi A. Johansyah mengatakan, rapat dewan gubernur (RDG) memutuskan mengatrol BI rate lantaran defisit transaksi berjalan masih lebar di tengah risiko ketidakpastian global. “Itu untuk memastikan defisit transaksi berjalan turun ke tingkat yang lebih sehat, serta inflasi yang terkendali pada 2014,” ungkapnya di gedung BI kemarin (12/11).
Selain mengerek BI rate, lending facility rate juga dikatrol dari 7,25 persen menjadi 7,5 persen. RDG yang dipimpin Gubernur BI Agus Martowardojo tersebut juga memutuskan menaikkan fasilitas simpanan Bank Indonesia (Fasbi) rate 25 bps dari 5,5 persen menjadi 5,75 persen.Difi memaparkan, ekonomi global yang dibayangi risiko ketidakpastian masih mengiringi performa yang kurang baik pada fundamental ekonomi RI. Misalnya, defisit balance of payment atau neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan ketiga 2013 masih tinggi. Defisit diharapkan mengecil searah dengan perbaikan transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan diperkirakan menurun menjadi USD 8,4 miliar pada triwulan ketiga 2013, dibandingkan dengan triwulan dua 2013 yang hampir USD 10,0 miliar. Perbaikan tersebut terutama tejadi pada surplus neraca perdagangan komoditas non-migas, lantaran menurunnya impor non-migas.
Di tempat terpisah, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui defisit transaksi berjalan harus diatasi. Meski begitu, pemerintah tetap ingin menjaga laju pertumbuhan ekonomi. ‘Kita akan coba netralkan dampak naiknya BI rate pada perekonomian,’ ujarnya kemarin (12/11).
Bambang menyebut, pemerintah kini menyiapkan dua paket kebijakan untuk tetap menyokong ekonomi. Paket pertama terkait neraca dagang rencananya dikeluarkan November ini. Sedangkan paket kedua terkait investasi akan dirilis Desember mendatang. “Memang tidak ada solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah ini. Kecuali belanja modal kita tingkatkan dan daya beli masyrakat kita jaga,” katanya.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan, kenaikan BI rate biasanya diikuti kenaikan lending rate atau suku bunga kredit. Jika itu terjadi, maka akan berdampak pada kemampuan bayar pelaku usaha yang menjadi debitor perbankan. ‘Dampak ke sektor riil ini yang harus kita pikirkan,” ucapnya.
Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DPD Sumut Parlindungan Purba mengatakan, kenaikan BI Rate pada dasarnya ditujukan untuk menjaga stabilitas moneter. Namun, kenaikan BI Rate dari sebelumnya 7,25% diperkirakan juga akan berpengaruh pada sektor-sektor lain di Sumut.”Sebenarnya kami menginginkan adanya kestabilan dan bisa diprediksi, jika tidak akan berpengaruh pada sektor-sektor lain. BI Rate erat kaitannya juga pada infrastruktur dan sektor ekonomi lainnya,” ungkapnya, Selasa (12/11).
Dia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Sumut berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 pada triwulan III/2013 meningkat 3,37% dibandingkan triwulan sebelumnya. Tercatat pertumbuhan tertinggi pada sektor sektor jasa-jasa 4,42%, disusul oleh sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 4,34%.
Kemudian sektor pertanian 4,13%, sektor industri pengolahan 3,36%, sektor perdagangan, hotel, dan restoran 2,94%, sektor pengangkutan dan komunikasi 2,35%, serta sektor pertambangan dan penggalian 1,70%. Sektor listrik, gas, dan air bersih 1,54% dan sektor bangunan 1,42%. “Saya pikir dengan kenaikan BI Rate sektor konsumsi akan tetap berjalan, tetapi ada beberapa sektor yang minatnya menurun sehingga terjadi perlambatan perekonomian,” paparnya.
Analis keuangan Sumatera Utara Gunawan Benyamin mengatakan, Bank Indonesia diyakininya lebih khawatir lagi terhadap kemungkinan pembalikan modal yang akan terjadi di saat Bank Sentral AS mengurangi stimulus dan akan berdampak pada tekanan yang lebih berat terhadap kinerja Rupiah.
Terkait dengan kebijakan tersebut, katanya, rupiah yang sesi siang diperdagangkan di level Rp 11.600 an mendadak menguat di kisaran Rp 11.500-an sesaat kenaikan BI rate diumumkan. Sayangnya, kata Gunawan, kondisi tersebut tidak bertahan lama, sebab Rupiah kembali terkulai di rentang harga Rp11.590 hingga Ri11.620 di pasar spot menjelang penutupan perdagangan sore ini.
“Sejumlah Bank BUMN di Medan juga memperdagangkan US Dolar di kisaran level tersebut. Menaikkan BI Rate, di sisi lain akan memperberat laju pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu, likuiditas yang ketat seperti ini juga akan memperburuk kinerja perekonomian nasional,”ujarnya.
Tetapi, lanjutnya, pilihan telah dibuat oleh BI. Seperti perkiraan sebelumnya, kenaikan BI Rate tidak akan banyak membantu pemulihan kinerja mata uang Rupiah bila impor tetap lebih besar dari ekspor (defisit). Menaikkan BI rate, membuat posisi tawar asing semakin meningkat. Ketertarikan investor asing di pasar keuangan domestik berpotensi meningkat dan memang akan membuat mereka berpikir lebih dari satu kali untuk hengkang dari pasar keuangan kita.”Sehingga menaikkan BI rate memang membuka peluang meminimalisir kemungkinan potensi pembalikan modal. Bila dikaitkan dengan kinerja emiten di bursa, maka kenaikan BI Rate akan membebani kinerja emiten di bursa,”katanya.
Sementara, kenaikan biaya modal akan membuat perusahaan sulit untuk berekspansi. Di sisi lain kenaikan BI rate akan membuat investor asing kembali masuk kepasar keuangan kita. Tentunya dengan likuiditas tersebut memberikan ruang penguatan IHSG lebih lanjut “Kita tunggu saja, apakah sentimen internal kita saat ini mampu mengungguli sentimen negatif eksternal. Dan pada hari ini, IHSG justru ditutup turun 1.38 persen di level 4380 setelah BI rate dinaikkan,”jelasnya. (gal/owi/oki/tri/bbs/jpnn)