25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Ritual Tolak Bala Terus Berlanjut

Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.
Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.

SUMUTPOS.CO – Ritual memohon keselamatan terkait erupsi gunung api Sinabung terus berlangsung. Kegiatan bernuansa mistis ini digelar sebagai salah satu upaya warga memohon perlindungan dan pengurangan resiko lanjutan dari Sinabung.   Setelah kemarin di Desa Mardinding, Kecamatan Tiga Nderket, pelaksanaan serupa juga digelar di Desa Guru Kinayan, Kecamatan Payung, Rabu (13/11).

Upacara ritual itu disebut Encibelin Nini Lau Pirik. Dalam pelaksanaanya, warga yang berada di desa bergabung dengan penduduk yang sejak kemarin terpaksa diungsikan setelah luncuran awan panas berdaya tempuh 1,5 km ke arah Tenggara, diatas perbukitan dan lereng gunung Desa Suka Meriah sebagai Desa terdekat dari Guru Kinayan.

Hampir tidak berbeda dengan warga di desa lain, peserta upacara ritual secara beramai-ramai mendatangi sumber air (tapin) dalam rangka memberikan Pajuh Pajuhen (sesajen). Baru setelah itu dilanjutkan ke makam leluhur. Ritual lantas dilanjutkan ke Jambur Desa, dengan menggunakan kain putih tembus pandang mereka menari nari semacam kerasukan bergerak seakan memberi isyarat memagari desa dari bencana.

Sehari sebelum ini, warga Desa Mardinding juga menggelar ritual di Rumah Njulu. Menurut Kepala Desa Mardinding, Johan Sitepu, ritual dimulai dengan membawa dua Ndiru (Tampah-red) yang di atasnya telah ada Pajuh Pajuhen seperti nasi tumpeng dan ayam berusia muda yang telah dimasak sebelumnya.

Dari sana, peserta ritual masuk ke dalam rumah Kepala Desa Mardinding, di kediaman ini mereka memanjatkan do’a sesuai dengan kepercayaan masing–masing yang intinya meminta kepada Sang Kuasa menjauhkan bencana besar yang kini menghinggapi alam pemikiran masyarakat.

Setelahnya, dengan dipimpin tokoh adat Desa Mardinding Sulaiman Singarimbun, mereka menuju ke lokasi upacara Rumah Njulu yang berada tepat di atas kamar mandi umum. Dimulai dengan bersama-sama membersihkan lokasi, peserta pun membuat meja sederhana dari bambu yang di atasnya kemudian dibentangkan daun pisang sebagai alas Ndiru berisi Pajuh Pajuhen.

Disana juga tampak Pajuh Pajuhen (sesajen) lain semisal jeruk purut, sirih, rokok dan ramu-ramuan lain yang sesuai arahan dibawa oleh Anak Perana (kawula muda yang belum menikah).

Ritual memanggil roh pun kemudian dilangsungkan, sampai seorang ibu berusia tak kurang dari 75 tahun bernama Gayang Br Surbakti yang biasanya disapa Karo kerasukan roh hingga dianya menari-nari di lokasi upacara. Dianya sebut Johan Sitepu berpesan agar kepada masyarakat untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar norma adat dan norma-norma lain kehidupan.

“Prinsipnya kita diharapkan jangan lagi berbuat salah, karena penunggu gunung marah jika kesalahan itu kemudian menjadi kebiasaan,” ujar Johan.

Pajuh Pajuhen tadi pun kemudian ditinggal di atas meja terbuat dari bambu, hanya satu nasi Pajuh Pajuhen yang dimakan secara bersama. Karena tanpa gendang, acara pun lebih cepat selesai. Setelah itu, seluruh peserta upacara ritual pun makan bersama.

Ritual sejenis pada tahun 2010 marak dilaksanakan, salah satunya di Desa Kuta Rakyat, dahulunya disebut Desa Toraja Berneh, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo. Ritual masa lampau dalam bentuk ‘Majuh Buah Huta’ itu didaur ulang dalam sebuah upacara di lokasi keramat, Ulu Tapin diatas kamar mandi umum Desa. Gelar acara dilakukan setelah banyak warga Desa di radius 6 dari Gunung Sinabung ini dirasuki mimpi-mimpi saat mereka larut dalam tidur di tengah ancaman letusan Gunung Sinabung.

Diawali dengan mempersiapkan bahan-bahan yang nantinya akan disatukan dalam Anjab (tempat persembahan). Kala itu tampak warga bahu membahu mempersiapkan sirih, kapur, gambir, kemenyan, bara api, janur, bambu dan pohon pisang. Setelah semuanya tersedia, barulah bahan ritual tadi di tempatkan di lokasi tempat pemujaan berlangsung. Dari sudut timur, alunan musik organ tunggal dimainkan perlahan mengiringi langkah pemajuhan. Walau telah lama tak berlangsung, tetap saja tradisi ini mampu menaikkan spirit mistisme. Daya magisnya bisa membuat warga kerasukan, dan kemudian menari-nari dengan sorot mata terus memandangi Puncak Gunung Sinabung yang terus mengeluarkan debu vulkanik.

Olah taripun berimbas pada warga lain bersatu dengan para penunggu Ulu Tapin seperti Pa Megoh. Ritual berlanjut, beberapa nenek yang ada disana langsung mencolekkan Pajuh-Pajuh yang disebut Putar ke pipi warga yang berada di sekitar arena ritual, dimulai dari penduduk yang bermarga Sitepu sebagai pendiri Desa. Peletakan Putar ini diyakini berfungsi mengembalikan semangat masyarakat yang hilang pasca letusan Gunung Sinabung. Setelah semuanya usai, warga dibimbing para tokoh Desa meninggalkan lokasi ritual menuju pusat desa untuk gelar makan bersama dengan tujuan membina rasa kekompakan sesame penduduk dalam menghadapi bencana. Ritual ini kata salah satu penduduk, Star Sembiring merupakan apresiasi masyarakat untuk mengingat para leluhur, ada dugaan kalau selama ini mereka telah banyak melupakan arwah penunggu kawasan Sinabung, Lau Kawar dan Pancur Pitu, Sigarang Garang serta Ulu Tapin Kuta Rakyat.(nang/bud)

Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.
Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.

SUMUTPOS.CO – Ritual memohon keselamatan terkait erupsi gunung api Sinabung terus berlangsung. Kegiatan bernuansa mistis ini digelar sebagai salah satu upaya warga memohon perlindungan dan pengurangan resiko lanjutan dari Sinabung.   Setelah kemarin di Desa Mardinding, Kecamatan Tiga Nderket, pelaksanaan serupa juga digelar di Desa Guru Kinayan, Kecamatan Payung, Rabu (13/11).

Upacara ritual itu disebut Encibelin Nini Lau Pirik. Dalam pelaksanaanya, warga yang berada di desa bergabung dengan penduduk yang sejak kemarin terpaksa diungsikan setelah luncuran awan panas berdaya tempuh 1,5 km ke arah Tenggara, diatas perbukitan dan lereng gunung Desa Suka Meriah sebagai Desa terdekat dari Guru Kinayan.

Hampir tidak berbeda dengan warga di desa lain, peserta upacara ritual secara beramai-ramai mendatangi sumber air (tapin) dalam rangka memberikan Pajuh Pajuhen (sesajen). Baru setelah itu dilanjutkan ke makam leluhur. Ritual lantas dilanjutkan ke Jambur Desa, dengan menggunakan kain putih tembus pandang mereka menari nari semacam kerasukan bergerak seakan memberi isyarat memagari desa dari bencana.

Sehari sebelum ini, warga Desa Mardinding juga menggelar ritual di Rumah Njulu. Menurut Kepala Desa Mardinding, Johan Sitepu, ritual dimulai dengan membawa dua Ndiru (Tampah-red) yang di atasnya telah ada Pajuh Pajuhen seperti nasi tumpeng dan ayam berusia muda yang telah dimasak sebelumnya.

Dari sana, peserta ritual masuk ke dalam rumah Kepala Desa Mardinding, di kediaman ini mereka memanjatkan do’a sesuai dengan kepercayaan masing–masing yang intinya meminta kepada Sang Kuasa menjauhkan bencana besar yang kini menghinggapi alam pemikiran masyarakat.

Setelahnya, dengan dipimpin tokoh adat Desa Mardinding Sulaiman Singarimbun, mereka menuju ke lokasi upacara Rumah Njulu yang berada tepat di atas kamar mandi umum. Dimulai dengan bersama-sama membersihkan lokasi, peserta pun membuat meja sederhana dari bambu yang di atasnya kemudian dibentangkan daun pisang sebagai alas Ndiru berisi Pajuh Pajuhen.

Disana juga tampak Pajuh Pajuhen (sesajen) lain semisal jeruk purut, sirih, rokok dan ramu-ramuan lain yang sesuai arahan dibawa oleh Anak Perana (kawula muda yang belum menikah).

Ritual memanggil roh pun kemudian dilangsungkan, sampai seorang ibu berusia tak kurang dari 75 tahun bernama Gayang Br Surbakti yang biasanya disapa Karo kerasukan roh hingga dianya menari-nari di lokasi upacara. Dianya sebut Johan Sitepu berpesan agar kepada masyarakat untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar norma adat dan norma-norma lain kehidupan.

“Prinsipnya kita diharapkan jangan lagi berbuat salah, karena penunggu gunung marah jika kesalahan itu kemudian menjadi kebiasaan,” ujar Johan.

Pajuh Pajuhen tadi pun kemudian ditinggal di atas meja terbuat dari bambu, hanya satu nasi Pajuh Pajuhen yang dimakan secara bersama. Karena tanpa gendang, acara pun lebih cepat selesai. Setelah itu, seluruh peserta upacara ritual pun makan bersama.

Ritual sejenis pada tahun 2010 marak dilaksanakan, salah satunya di Desa Kuta Rakyat, dahulunya disebut Desa Toraja Berneh, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo. Ritual masa lampau dalam bentuk ‘Majuh Buah Huta’ itu didaur ulang dalam sebuah upacara di lokasi keramat, Ulu Tapin diatas kamar mandi umum Desa. Gelar acara dilakukan setelah banyak warga Desa di radius 6 dari Gunung Sinabung ini dirasuki mimpi-mimpi saat mereka larut dalam tidur di tengah ancaman letusan Gunung Sinabung.

Diawali dengan mempersiapkan bahan-bahan yang nantinya akan disatukan dalam Anjab (tempat persembahan). Kala itu tampak warga bahu membahu mempersiapkan sirih, kapur, gambir, kemenyan, bara api, janur, bambu dan pohon pisang. Setelah semuanya tersedia, barulah bahan ritual tadi di tempatkan di lokasi tempat pemujaan berlangsung. Dari sudut timur, alunan musik organ tunggal dimainkan perlahan mengiringi langkah pemajuhan. Walau telah lama tak berlangsung, tetap saja tradisi ini mampu menaikkan spirit mistisme. Daya magisnya bisa membuat warga kerasukan, dan kemudian menari-nari dengan sorot mata terus memandangi Puncak Gunung Sinabung yang terus mengeluarkan debu vulkanik.

Olah taripun berimbas pada warga lain bersatu dengan para penunggu Ulu Tapin seperti Pa Megoh. Ritual berlanjut, beberapa nenek yang ada disana langsung mencolekkan Pajuh-Pajuh yang disebut Putar ke pipi warga yang berada di sekitar arena ritual, dimulai dari penduduk yang bermarga Sitepu sebagai pendiri Desa. Peletakan Putar ini diyakini berfungsi mengembalikan semangat masyarakat yang hilang pasca letusan Gunung Sinabung. Setelah semuanya usai, warga dibimbing para tokoh Desa meninggalkan lokasi ritual menuju pusat desa untuk gelar makan bersama dengan tujuan membina rasa kekompakan sesame penduduk dalam menghadapi bencana. Ritual ini kata salah satu penduduk, Star Sembiring merupakan apresiasi masyarakat untuk mengingat para leluhur, ada dugaan kalau selama ini mereka telah banyak melupakan arwah penunggu kawasan Sinabung, Lau Kawar dan Pancur Pitu, Sigarang Garang serta Ulu Tapin Kuta Rakyat.(nang/bud)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/