JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menunjuk Winardi sebagai direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang beru menggantikan Sahala Hasolon Sijabat. Di BUMN, Winardi bukanlah orang baru karena dia adalah salah seorang direktur di PT Antam.
“Dirut Inalum yang baru Pak Winardi, dia sebelumnya di Antam,” ungkap Dahlan di Gedung Graha Mandiri, Jakarta, Kamis (27/3)n
Terpilihnya Winardi sebagai Dirut Inalum sudah diputuskan melalui RUPS beberapa minggu lalu. Rencananya dalam waktu dekat akan melakukan serah terima jabatan. “RUPS nya sudah beberapa waktu lalu, besok lusa sudah serah terima,” terang dia.
Di mata Dahlan, Winardi adalah orang yang hebat. Dia adalah salah satu kandidat yang pernah dicalonkan menjadi Dirut Antam tahun lalu. Namun akhirnya gagal lantaran Tato Miraza lah yang terpilih.
“Dulu dia calon dirut Antam, yang waktu itu saya sempat bingung pilih yang mana. Mereka berdua (Winardi dan Tato) enggak kalah hebatnya. Dia itu hebat (Winardi), lulusan ITB dan dia juga ahli marketing,” puji mantan Dirut PLN itu.
Dahlan mengingatkan Winardi akan menjalankan beberapa ‘pekerjaan rumah’, di antaranya kerja sama dengan PT Aneka Tambang Tbk, untuk membangun Smelter Grade Alumina di Mempawah, Kalimantan Barat.
“Yang membangun itu Antam. Daripada joint sama asing, mending sama Inalum,” katanya.
Dahlan, akan meminta perusahaan pelat merah itu untuk berinvestasi di Smelter Grade Alumina, yang pembangunannya senilai 1,7 miliar dolar AS.
Dia mengatakan, Smelter Grade Alumina dipilih, karena olahan smelter ini dianggap cocok sebagai bahan baku bagi Inalum. Salah satu peserta konvensi Demokrat ini beralasan, hasil olahan smelter alumina yang ada di Tayan, Kalimantan Barat, tidak sesuai dengan kebutuhan Inalum.
“Yang sudah beroperasi itu pabrik Chemical Alumina di Kalbar (Chemical Grade Alumina yang dibangun oleh PT Indonesia Chemical Alumina —perusahaan patungan Antam dengan Showa Denko, dari Jepang). Namun, hasil olahan tidak bisa dipakai di Inalum,” kata dia.
Pabrik ini berkapasitas 1,6 juta ton alumina per tahun. Nantinya, smelter ini akan memasok alumina kepada Inalum yang kebutuhan alumina per tahunnya sebanyak 500-600 ribu ton per tahun. “Sisanya diekspor ke Timur Tengah,” ujar dia.
Dahlan melanjutkan, dalam dua tahun, pabrik tersebut diharapkan bisa beroperasi. “Pola pengaturan kepemilikan sahamnya biar mereka yang mengatur,” tuturnya.
Selain itu, dia menjelaskan, perusahaan diminta untuk menambah lini bisnisnya guna meningkatkan kapasitas produksi Inalum. Selama ini, Inalum hanya memproduksi aluminium ingot. Dahlan meminta, perusahaan yang sempat ‘dikuasai’ Jepang ini untuk membuat produk lainnya.
“Untuk ekspansi Inalum, bukan berupa produk hilir, melainkan sampingan. Kalau di sektor hilir, sudah banyak perusahaan yang mengambil bahan baku dari Inalum. Jangan sampai membuat produk industri hilir, yang menyebabkan industri lainnya membeli bahan baku dari luar negeri,” kata dia.
Yang terakhir, Dahlan meminta Inalum membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sebab, Dahlan merasa keberadaan pembangkit tersebut bisa memenuhi kebutuhan listrik Inalum, jika pabrik produk sampingan sudah jadi dan siap beroperasi.
Dia menyebutkan, pasokan listrik dari PLTA Asahan 2 tidak cukup, apabila Inalum jadi melakukan ekspansi bisnisnya. “Selesai pembangunannya diharapkan dua tahun dan harus bareng dengan pabriknya. Sebab, kalau pabriknya jadi, pembangkit listriknya belum siap, ya pabriknya tidak bisa jalan,” tuturnya.
Pembangkit listrik tersebut akan dibangun di daerah Kuala Tanjung berkapasitas 3×200 Mega Watt dengan menelan biaya hampir Rp20 triliun. “Investasinya hemat. Tanahnya siap, tidak perlu beli. Biaya dari konsorsium bank-bank BUMN, mereka mampu. Karena produknya jelas, business plan jelas,” kata dia.
Dengan rencana ekspansi itu, Dahlan mengatakan, kinerja Inalum bisa lebih optimal. “Inalum akan jauh lebih besar. Dia punya bahan baku, pelabuhan, dan PLTU sendiri,” pungkasnya. (bbs/val)