26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sensus Hapus Rohingya

SITTWE, SUMUTPOS.CO – Myanmar berangsur menjadi negara terbuka sejak berakhirnya kekuasaan junta militer hampir empat tahun lalu. Namun, transisi ke arah demokratis itu sepertinya tak berkutik saat menyinggung etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Pemerintah dengan tegas melarang warga muslim di pantai barat Myanmar tersebut menggunakan kata Rohingya sebagai nama etnis dalam sensus pertama yang dilakukan sejak tiga dekade lalu itu.

Guru-guru dan pegawai pemerintah lokal disebar untuk mendatangi setiap rumah penduduk guna menyukseskan program ambisius tersebut. Mereka bergerak sejak kemarin (30/3). Kegiatan itu akan berlangsung selama 12 hari.

Sayang, program cacah jiwa tersebut sudah menuai kontroversi, bahkan sebelum petugas sensus mengetuk pintu rumah warga di Rakhine. Pemerintah pusat mengumumkan bahwa setiap penduduk muslim tidak boleh mendaftarkan etnis mereka sebagai Rohingya. Pemerintah memberikan opsi etnis Bengali sebagai pengganti.

Warga Rohingya menolak. “Saya dan orang tua saya lahir di sini. Saya lahir sebagai orang Myanmar. Bagi saya, saya tidak akan mendaftarkan diri saya sebagai Bengali. Saya tetap Rohingya,” tegas Hla Myint, 58, kepada AFP. Nama Bengali dipakai pemerintah yang memandang sebagian besar etnis Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh.

Kebijakan tersebut konon bertujuan meredam kemarahan kelompok Buddha di Rakhine yang khawatir dengan pengakuan negara atas hak-hak warga minoritas muslim di sana. Pengakuan itu bisa berujung pada pemberian hak politik dan keterwakilan mereka di parlemen. (cak/c11/dos)

SITTWE, SUMUTPOS.CO – Myanmar berangsur menjadi negara terbuka sejak berakhirnya kekuasaan junta militer hampir empat tahun lalu. Namun, transisi ke arah demokratis itu sepertinya tak berkutik saat menyinggung etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Pemerintah dengan tegas melarang warga muslim di pantai barat Myanmar tersebut menggunakan kata Rohingya sebagai nama etnis dalam sensus pertama yang dilakukan sejak tiga dekade lalu itu.

Guru-guru dan pegawai pemerintah lokal disebar untuk mendatangi setiap rumah penduduk guna menyukseskan program ambisius tersebut. Mereka bergerak sejak kemarin (30/3). Kegiatan itu akan berlangsung selama 12 hari.

Sayang, program cacah jiwa tersebut sudah menuai kontroversi, bahkan sebelum petugas sensus mengetuk pintu rumah warga di Rakhine. Pemerintah pusat mengumumkan bahwa setiap penduduk muslim tidak boleh mendaftarkan etnis mereka sebagai Rohingya. Pemerintah memberikan opsi etnis Bengali sebagai pengganti.

Warga Rohingya menolak. “Saya dan orang tua saya lahir di sini. Saya lahir sebagai orang Myanmar. Bagi saya, saya tidak akan mendaftarkan diri saya sebagai Bengali. Saya tetap Rohingya,” tegas Hla Myint, 58, kepada AFP. Nama Bengali dipakai pemerintah yang memandang sebagian besar etnis Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh.

Kebijakan tersebut konon bertujuan meredam kemarahan kelompok Buddha di Rakhine yang khawatir dengan pengakuan negara atas hak-hak warga minoritas muslim di sana. Pengakuan itu bisa berujung pada pemberian hak politik dan keterwakilan mereka di parlemen. (cak/c11/dos)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/