26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Politik Uang Tak Lagi Mempan

Biasanya money politics dikaitkan dengan masalah suap-menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat dalam suatu pemilihan. Money Politics bisa dilakukan menggunakan uang atau barang dalam berbagai bentuk, diantaranya bantuan dana kepanitiaan dalam acara-acara tertentu, pemberian alat peribadatan atau dapat pula berupa operasi “serangan fajar” yang masih sering kita dengar dengan membagikan uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat. Money politics adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye yang umumnya dilakukan simpatisan, kader, atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.

Praktek Politik Uang yang dijalankan oleh para calon yang akan dipilih amatlah sukar untuk dibuktikan. Karena bagaimanapun sipenerima uang dari calon yang akan dipilih tidak akan berani untuk buka mulut, disebabkan adanya undang-undang yang mengatur, si pemberi dan si penerima sama-sama melakukan korupsi dan diancam dengan hukuman penjara.  Akibat sulitnya untuk membuktikan praktek money politics ini, membuat para calon dengan leluasa menjalankan praktek tersebut dengan tujuan untuk mendulang suara dalam pelaksanaan pemilihan. Bahkan si calon tidak segan-segan untuk melakukan tawar menawar kepada para pemilih. Selain memberikan uang, juga menjanjikan hal yang muluk-muluk, kendatipun bahwa janji yang telah diumbar itu jarang untuk di tepati ketika si calon telah memenangkan pemilihan.

Money politics ini sudah sangat jamak dilakukan, baik pada saat Pemilu maupun pada saat Pilkada.  Dari hasil Jajak Publik yang diadakan Litbang Sumut Pos di Kota Medan, sebanyak 56 persen responden mengaku pernah mendapat tawaran money politics.  Politik uang dianggap masih ampuh untuk membeli suara pemilih.  Partai ataupun orang yang membagikan money politics berharap pemberian money politics dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya dan menjatuhkan pilihan pada partai atau orang tersebut.

Namun demikian ternyata mayoritas responden masih beranggapan bahwa money politics adalah praktek yang tidak wajar dalam proses pemilihan, meskipun yang beranggapan bahwa hal itu adalah hal yang wajar juga cukup besar.  Bahkan persentase responden yang tidak tahu apakah praktek money politics wajar atau tidak juga cukup besar. Kemungkinan hal ini disebabkan semakin marak dan terbukanya praktek money politics yang terjadi saat ini di Indonesia.

Dari hasil Jajak Publik Sumut Pos, mayoritas responden, sebesar 52 persen menyatakan bahwa pembagian money politics tidak akan dapat merubah pilihan mereka.  Hal ini disebabkan mereka sudah mempunyai ‘jagoan’ yang akan dipilihnya.  Namun 21 persen dari responden, dan ini cukup signifikan, menyatakan bahwa tawaran money politics akan mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan. Sedangkan sisanya, sebanyak 27 persen menjawab “tidak tahu”, artinya mereka masih ragu-ragu apakah tawaran money politics akan mempengaruhi pilihan mereka atau tidak.  Kedua kelompok inilah yang nantinya menjadi sasaran para pelaku money politics.

Responden memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menyikapi money politics.  Sebanyak 45 persen menyatakan akan menerima tawaran tersebut namun belum tentu memilih partai atau orang yang memberikannya. Sebanyak 38 persen tegas-tegas akan menolak dan 9 persen akan melaporkan si pemberi.

Sedangkan 8 persen sisanya akan menerima dan menjatuhkan pilihan pada si pemberi money politics tersebut.  Kelompok ini mungkin berpikir bahwa hak pilih itu merupakan aset, sehingga daripada hak pilih diberikan secara cuma-cuma, maka mereka pilih untuk menjual hak suaranya.

Dari sini terlihat bahwa praktek money politics ternyata kurang efektif untuk menjaring suara. Karena walaupun ada sebanyak 53 persen responden yang akan menerimanya, namun hanya 8 persen yang akan memilih si pemberi money politics.

Yang menjadi persoalan serius adalah bagaimana melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas praktek money politics tersebut.  Agar praktek-praktek politik uang tidak tumbuh dan berkembang, pihak-pihak terkait dalam hal ini KPU, partai politik, LSM, mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang berkeinginan akan lahirnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, jujur, dan adil hendaknya perlu mewaspadai praktek-praktek politik uang tersebut.  Jika ada yang terbukti melakukan praktek politik uang, pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas memberikan sanksi. Misalnya sanksi hukum dan calon tidak diperbolehkan untuk ikut dalam proses pilkada.  (Parluhutan Matondang/Litbang Sumut Pos)

Biasanya money politics dikaitkan dengan masalah suap-menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat dalam suatu pemilihan. Money Politics bisa dilakukan menggunakan uang atau barang dalam berbagai bentuk, diantaranya bantuan dana kepanitiaan dalam acara-acara tertentu, pemberian alat peribadatan atau dapat pula berupa operasi “serangan fajar” yang masih sering kita dengar dengan membagikan uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat. Money politics adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye yang umumnya dilakukan simpatisan, kader, atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.

Praktek Politik Uang yang dijalankan oleh para calon yang akan dipilih amatlah sukar untuk dibuktikan. Karena bagaimanapun sipenerima uang dari calon yang akan dipilih tidak akan berani untuk buka mulut, disebabkan adanya undang-undang yang mengatur, si pemberi dan si penerima sama-sama melakukan korupsi dan diancam dengan hukuman penjara.  Akibat sulitnya untuk membuktikan praktek money politics ini, membuat para calon dengan leluasa menjalankan praktek tersebut dengan tujuan untuk mendulang suara dalam pelaksanaan pemilihan. Bahkan si calon tidak segan-segan untuk melakukan tawar menawar kepada para pemilih. Selain memberikan uang, juga menjanjikan hal yang muluk-muluk, kendatipun bahwa janji yang telah diumbar itu jarang untuk di tepati ketika si calon telah memenangkan pemilihan.

Money politics ini sudah sangat jamak dilakukan, baik pada saat Pemilu maupun pada saat Pilkada.  Dari hasil Jajak Publik yang diadakan Litbang Sumut Pos di Kota Medan, sebanyak 56 persen responden mengaku pernah mendapat tawaran money politics.  Politik uang dianggap masih ampuh untuk membeli suara pemilih.  Partai ataupun orang yang membagikan money politics berharap pemberian money politics dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya dan menjatuhkan pilihan pada partai atau orang tersebut.

Namun demikian ternyata mayoritas responden masih beranggapan bahwa money politics adalah praktek yang tidak wajar dalam proses pemilihan, meskipun yang beranggapan bahwa hal itu adalah hal yang wajar juga cukup besar.  Bahkan persentase responden yang tidak tahu apakah praktek money politics wajar atau tidak juga cukup besar. Kemungkinan hal ini disebabkan semakin marak dan terbukanya praktek money politics yang terjadi saat ini di Indonesia.

Dari hasil Jajak Publik Sumut Pos, mayoritas responden, sebesar 52 persen menyatakan bahwa pembagian money politics tidak akan dapat merubah pilihan mereka.  Hal ini disebabkan mereka sudah mempunyai ‘jagoan’ yang akan dipilihnya.  Namun 21 persen dari responden, dan ini cukup signifikan, menyatakan bahwa tawaran money politics akan mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan. Sedangkan sisanya, sebanyak 27 persen menjawab “tidak tahu”, artinya mereka masih ragu-ragu apakah tawaran money politics akan mempengaruhi pilihan mereka atau tidak.  Kedua kelompok inilah yang nantinya menjadi sasaran para pelaku money politics.

Responden memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menyikapi money politics.  Sebanyak 45 persen menyatakan akan menerima tawaran tersebut namun belum tentu memilih partai atau orang yang memberikannya. Sebanyak 38 persen tegas-tegas akan menolak dan 9 persen akan melaporkan si pemberi.

Sedangkan 8 persen sisanya akan menerima dan menjatuhkan pilihan pada si pemberi money politics tersebut.  Kelompok ini mungkin berpikir bahwa hak pilih itu merupakan aset, sehingga daripada hak pilih diberikan secara cuma-cuma, maka mereka pilih untuk menjual hak suaranya.

Dari sini terlihat bahwa praktek money politics ternyata kurang efektif untuk menjaring suara. Karena walaupun ada sebanyak 53 persen responden yang akan menerimanya, namun hanya 8 persen yang akan memilih si pemberi money politics.

Yang menjadi persoalan serius adalah bagaimana melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas praktek money politics tersebut.  Agar praktek-praktek politik uang tidak tumbuh dan berkembang, pihak-pihak terkait dalam hal ini KPU, partai politik, LSM, mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang berkeinginan akan lahirnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, jujur, dan adil hendaknya perlu mewaspadai praktek-praktek politik uang tersebut.  Jika ada yang terbukti melakukan praktek politik uang, pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas memberikan sanksi. Misalnya sanksi hukum dan calon tidak diperbolehkan untuk ikut dalam proses pilkada.  (Parluhutan Matondang/Litbang Sumut Pos)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/