25 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Baru 185 Kilometer, Layar Robek, Nekat Berlayar

Rob Rama Rambini, Pria Indonesia Pertama yang Berlayar Seorang Diri dari California ke Bali

Rob Rama Rambini telah dikukuhkan sebagai orang Indonesia pertama yang berani berlayar seorang diri dari Pantai Oakland, California, Amerika Serikat, ke Bali. Selama 10 bulan 27 hari dia menempuh jarak sekitar 10 ribu nautical mile (18.520 kilometer). Hanya karena rindu sang ibu?

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

Umurnya sudah berkepala lima. Tapi, soal semangat dan keberanian, jangan ditanya. Dialah Rob Rama Rambini, pelaut tangguh yang telah menorehkan sejarah dengan menjadi orang Indonesia pertama yang mengarungi ganasnya Samudera Pasifik dari California (AS) hingga ke Bali, dengan perahu layar, seorang diri.

Berkat keberaniannya itu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) memfasilitasi pemberian rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) untuk Rama.

Pria dengan nama asli Mahindra Wahyu Pramacipta Wondowisastro itu memang sosok pengembara. Hidupnya yang berpindah-pindah sejak kecil menempanya hingga berjiwa petualang. Dia lahir di Roma, 20 November 1958, saat Sartono Wondowisastro, ayahnya yang diplomat, bertugas di Italia. Menginjak usia balita, Rama dibawa orang tuanya balik ke Indonesia. Dia menghabiskan masa kecil hingga SMA di Medan dan sebagian di Jakarta.

Pada 1981, Rama meninggalkan Indonesia menuju Amerika Serikat (AS). Sempat kuliah di Utah State University, Rama akhirnya memilih keluar pada tahun kedua. Dia kemudian berpindah ke Rusia dan beberapa negara Eropa selama dua tahun. Kemudian, Rama kembali dan menetap di San Francisco, California, ASn

“Dulu, saya memang bandel, sering tidak cocok dengan orang tua,” ujarnya saat ditemui di rumah orang tuanya nan asri di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu (17/5).

Karena itulah, sejak 1983, pria dengan ciri khas kepala pelontos ini tidak pernah lagi melakukan kontak dengan keluarga di Indonesia. Keluarga yang sempat mencarinya ke AS pun kehilangan jejak karena dia mengganti namanya menjadi Rama Rambini. Namun, karena orang-orang AS sering memanggilnya dengan sebutan Rob, ditambahkanlah nama Rob di depan nama Rama Rambini.

Di AS, berbagai pekerjaan pernah dilakoni Rama. Mulai bartender, front officer, penjaga toko, travel agent, hingga terakhir menjadi fotografer profesional. Namun, jiwa petualangnya terus bergolak.

Pada 2003, keinginannya untuk berpetualang semakin membara seusai membaca buku kisah Tania Aebi, perempuan yang pada Mei 1985 – November 1987, berhasil mengelilingi dunia dengan kapal layar seorang diri. Saat memulai petualangan itu, usia Tania baru 18 tahun. “Kalau Tania Aebi bisa mengelilingi dunia, saya juga harus bisa. Apalagi, setelah 20 tahun lebih di Amerika, ada rasa boring (bosan, Red),” tekad Rama kala itu.

Akhirnya, pada 2005 Rama membeli sebuah kapal layar bernama Kona. Itu adalah nama sebuah distrik di Hawaii atau bisa juga nama sebuah kopi campuran.

Kapal berbobot 14 ton itu memiliki panjang 30 feet/kaki atau sekitar 9 meter dan lebar 9,5 feet atau sekitar 3 meter, dengan tiga tiang layar setinggi 12 meter. Kapal dua silinder dengan jenis motor diesel berdaya 16 PK itu hanya dilengkapi alat sederhana, seperti kompas dan GPS (global positioning system). Tidak ada peralatan canggih seperti radar maupun pembaca cuaca.

Kona memang bukan kapal baru, melainkan kapal bekas yang dibuat pada 1966. Berarti umurnya sudah 39 tahun. Karena itu, saat dibeli Rama, harganya cukup murah, sekitar USD 10 ribu atau Rp 90 juta (dengan kurs Rp 9.000 = 1 USD).

Untuk memahami dunia pelayaran, selain dengan membaca buku, Rama mengambil kelas kursus pelayaran. Dia membayar USD 350 atau sekitar Rp 3,1 juta untuk ikut kursus privat dasar-dasar pelayaran dengan berlayar di Bay Area, kawasan teluk dekat San Francisco, yang terkenal dengan arus laut dan anginnya yang kencang. “Kalau ikut kursus lengkap, biayanya bisa ribuan dolar (AS). Tapi, karena hanya belajar basic (dasar) saja, jadi biayanya murah,” ceritanya.

Sejak memiliki kapal, Rama ingin hidup di kapal dan mengembara ke negara-negara di kawasan Amerika Selatan, terutama Argentina. Namun, niat itu tak kunjung terlaksana karena waktu itu mentalnya belum kuat.
Rama yang betah melajang ini pun terus mengasah kemampuan berlayar dan memperkuat mental. Namun, pada awal 2009 tiba-tiba ingatannya melayang ke Indonesia. Saat itu pula terbetik ide untuk pulang ke Indonesia dengan perahu layar miliknya.

Rama bercerita, ide itu muncul karena teringat kejadian ketika neneknya meninggal dunia. Saat itu dia masih SMA di Medan sekitar awal 1980-an. Di saat terakhir neneknya, semua anaknya berada di luar negeri. “Sebelum meninggal, saya ingat betapa sedihnya nenek. Saya jadi memikirkan Ibu. Ketika muda, saya memang bandel, karena itu saya berharap bisa bertemu dan meminta maaf, mumpung masih ada waktu. Karena itu, pada 2009, saya kirim postcard (kartu pos) ke Indonesia, bilang akan pulang. Tapi, tidak bilang kalau akan naik kapal layar,” katanya.

Persiapan pun terus dimatangkan. Rama sempat menghubungi pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di San Francisco, mengabarkan rencana keberangkatannya. Dia juga menyusun jadwal perjalanan dan mengirimkan e-mail pemberitahuan jadwal pelayaran kepada otoritas pelayaran negara yang akan dilalui, seperti Australia. Dia pun menjual barang-barangnya untuk bekal perjalanan.

Rama juga mencari seorang public relation untuk mengabarkan rencana perjalanannya ke Indonesia. Melalui internet, dia menemukan Wayan Heru Young, sukarelawan di Bali, yang akhirnya menjadi public relation perjalanan California?Bali tersebut. “Bukan ingin pamer, saya hanya ingin memberikan contoh semangat bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk berprestasi di bidang pelayaran,” ucapnya.

Akhirnya, petualangan itu pun dimulai. Pada 8 Mei 2010, Rama beserta Kona-nya meluncur meninggalkan pantai Oakland, California. Lokasi tujuan pertama adalah Hawaii.

Sebagai bekal, Rama mengisi Kona dengan berbagai makanan, seperti makanan kaleng, corned beef, mi goreng, pan cake dan peanut butter, serta 100 liter air bersih. Tanki kapal terisi 80 liter bahan bakar solar, serta satu pak berisi sekitar 10 pasang pakaian. Tak lupa, laptop 14 inci dan kamera digital.

Pada 13 Mei 2010, ketika beranjak 100 nautical mile atau sekitar 185,2 km (1 nautical mile = 1,852 kilometer) dari lepas pantai San Francisco, Rama sudah harus menyabung nyawa. Badai dan ombak setinggi 12 meter menghajar kapalnya. Layar utama robek, railing layar rusak, dan pintu kapal copot.

Saat itu ada dua opsi. Pertama, kembali ke Oakland untuk memperbaiki kapal dan layar. Kedua, melanjutkan perjalanan dengan layar seadanya ke Hawaii yang masih berjarak 2.000 nautical mile. “Saya membuka kotak makanan. Kira-kira masih cukup untuk tiga bulan. Akhirnya, saya putuskan untuk terus jalan,” katanya.

Butuh waktu 2 bulan 7 hari untuk sampai ke Hawaii. Di sana Rama membeli tiga layar bekas dan mendapat bonus satu layar, serta peralatan untuk memperbaiki layar, makanan, dan air bersih. Pada 3 Agustus, Kona meninggalkan Waikiki Beach, Honolulu, Hawai. Tujuan selanjutnya adalah Kepulauan Solomon, di Samudera Pasifik. Sampai di Solomon, dia membeli bekal makanan dan minuman, kemudian melanjutkan perjalanan melintasi Coral Sea, perairan antara Australia dan Papua Nugini.

Pada 25 Oktober 2010, Rama tiba di Port Moresby, Papua Nugini. Di sana paspor Rama sempat ditahan oleh petugas imigrasi. Pasalnya, gambar di paspor sudah luntur terkena air laut. Pihak imigrasi akhirnya menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Namun, petugas KBRI juga menyangsikan bahwa Rama adalah warga Indonesia. Maklum, sudah puluhan tahun dia hidup di AS, sehingga bahasa Indonesianya pun tidak lagi lancar.

Rama tak kurang akal. Dia meminta petugas KBRI menghubungi keluarganya di Jakarta. Berbekal alamat, nomor telepon pun ditemukan. Saat itulah keluarganya memastikan bahwa Rama adalah warga negara Indonesia (WNI). “Waktu itu saya berbicara dengan Ibu saya. Itu adalah pembicaraan pertama saya dengan Ibu sejak 1983,” katanya lirih. Ibunya adalah Trisutji Kamal, salah satu komposer dan pianis legendaris di Indonesia. Setelah suaminya wafat, dia menikah lagi dengan Ahmad Badawi Kamal.

Pada 12 November 2010, Rama meninggalkan Port Moresby menuju Nusa Tenggara. Saat memasuki perairan Australia, Rama terus dipantau oleh petugas Torres Strait Regional Authority melalui radio. “Sepanjang yang saya tahu, perairan Australia ini salah satu yang paling ketat di dunia,” ucapnya.

Pada 13 Desember 2010, Rama mendarat di Tanimbar, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Setelah itu, sembari menunggu cuaca kondusif, dia singgah di Alor, NTB serta Flores, kemudian Lombok. Akhirnya, pada 3 April pukul 01.30 dini hari, Rama tiba di Marina Bay, Benoa, Bali.

Tiba di Benoa, Bali, sekitar 100 orang sudah menyambutnya, termasuk Ibu dan saudaranya. “Saya tak mengira akan mendapat sambutan seperti itu. Saya terharu, saya menangis ketika bertemu Ibu saya,” ceritanya.
Itulah Rob Rama Rambini, yang seorang diri menempuh perjalanan 10.000 nautical mile (sekitar 18.520 kilometer) selama 10 bulan 27 hari, dari California ke Bali, untuk menemui sang Ibu.

Di samudera, ketika sendirian, Rama sering hanya ditemani burung camar dan sesekali lumba-lumba. Membaca buku tentang pelayaran dan menjahit layar adalah aktivitasnya sehari-hari. Tidur hanya empat jam sehari dan hanya jika ada hujan dia mandi. Kini, dia ingin mengembangkan wisata pelayaran di Bali. (c2/kum/jpnn)

Rob Rama Rambini, Pria Indonesia Pertama yang Berlayar Seorang Diri dari California ke Bali

Rob Rama Rambini telah dikukuhkan sebagai orang Indonesia pertama yang berani berlayar seorang diri dari Pantai Oakland, California, Amerika Serikat, ke Bali. Selama 10 bulan 27 hari dia menempuh jarak sekitar 10 ribu nautical mile (18.520 kilometer). Hanya karena rindu sang ibu?

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

Umurnya sudah berkepala lima. Tapi, soal semangat dan keberanian, jangan ditanya. Dialah Rob Rama Rambini, pelaut tangguh yang telah menorehkan sejarah dengan menjadi orang Indonesia pertama yang mengarungi ganasnya Samudera Pasifik dari California (AS) hingga ke Bali, dengan perahu layar, seorang diri.

Berkat keberaniannya itu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) memfasilitasi pemberian rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) untuk Rama.

Pria dengan nama asli Mahindra Wahyu Pramacipta Wondowisastro itu memang sosok pengembara. Hidupnya yang berpindah-pindah sejak kecil menempanya hingga berjiwa petualang. Dia lahir di Roma, 20 November 1958, saat Sartono Wondowisastro, ayahnya yang diplomat, bertugas di Italia. Menginjak usia balita, Rama dibawa orang tuanya balik ke Indonesia. Dia menghabiskan masa kecil hingga SMA di Medan dan sebagian di Jakarta.

Pada 1981, Rama meninggalkan Indonesia menuju Amerika Serikat (AS). Sempat kuliah di Utah State University, Rama akhirnya memilih keluar pada tahun kedua. Dia kemudian berpindah ke Rusia dan beberapa negara Eropa selama dua tahun. Kemudian, Rama kembali dan menetap di San Francisco, California, ASn

“Dulu, saya memang bandel, sering tidak cocok dengan orang tua,” ujarnya saat ditemui di rumah orang tuanya nan asri di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu (17/5).

Karena itulah, sejak 1983, pria dengan ciri khas kepala pelontos ini tidak pernah lagi melakukan kontak dengan keluarga di Indonesia. Keluarga yang sempat mencarinya ke AS pun kehilangan jejak karena dia mengganti namanya menjadi Rama Rambini. Namun, karena orang-orang AS sering memanggilnya dengan sebutan Rob, ditambahkanlah nama Rob di depan nama Rama Rambini.

Di AS, berbagai pekerjaan pernah dilakoni Rama. Mulai bartender, front officer, penjaga toko, travel agent, hingga terakhir menjadi fotografer profesional. Namun, jiwa petualangnya terus bergolak.

Pada 2003, keinginannya untuk berpetualang semakin membara seusai membaca buku kisah Tania Aebi, perempuan yang pada Mei 1985 – November 1987, berhasil mengelilingi dunia dengan kapal layar seorang diri. Saat memulai petualangan itu, usia Tania baru 18 tahun. “Kalau Tania Aebi bisa mengelilingi dunia, saya juga harus bisa. Apalagi, setelah 20 tahun lebih di Amerika, ada rasa boring (bosan, Red),” tekad Rama kala itu.

Akhirnya, pada 2005 Rama membeli sebuah kapal layar bernama Kona. Itu adalah nama sebuah distrik di Hawaii atau bisa juga nama sebuah kopi campuran.

Kapal berbobot 14 ton itu memiliki panjang 30 feet/kaki atau sekitar 9 meter dan lebar 9,5 feet atau sekitar 3 meter, dengan tiga tiang layar setinggi 12 meter. Kapal dua silinder dengan jenis motor diesel berdaya 16 PK itu hanya dilengkapi alat sederhana, seperti kompas dan GPS (global positioning system). Tidak ada peralatan canggih seperti radar maupun pembaca cuaca.

Kona memang bukan kapal baru, melainkan kapal bekas yang dibuat pada 1966. Berarti umurnya sudah 39 tahun. Karena itu, saat dibeli Rama, harganya cukup murah, sekitar USD 10 ribu atau Rp 90 juta (dengan kurs Rp 9.000 = 1 USD).

Untuk memahami dunia pelayaran, selain dengan membaca buku, Rama mengambil kelas kursus pelayaran. Dia membayar USD 350 atau sekitar Rp 3,1 juta untuk ikut kursus privat dasar-dasar pelayaran dengan berlayar di Bay Area, kawasan teluk dekat San Francisco, yang terkenal dengan arus laut dan anginnya yang kencang. “Kalau ikut kursus lengkap, biayanya bisa ribuan dolar (AS). Tapi, karena hanya belajar basic (dasar) saja, jadi biayanya murah,” ceritanya.

Sejak memiliki kapal, Rama ingin hidup di kapal dan mengembara ke negara-negara di kawasan Amerika Selatan, terutama Argentina. Namun, niat itu tak kunjung terlaksana karena waktu itu mentalnya belum kuat.
Rama yang betah melajang ini pun terus mengasah kemampuan berlayar dan memperkuat mental. Namun, pada awal 2009 tiba-tiba ingatannya melayang ke Indonesia. Saat itu pula terbetik ide untuk pulang ke Indonesia dengan perahu layar miliknya.

Rama bercerita, ide itu muncul karena teringat kejadian ketika neneknya meninggal dunia. Saat itu dia masih SMA di Medan sekitar awal 1980-an. Di saat terakhir neneknya, semua anaknya berada di luar negeri. “Sebelum meninggal, saya ingat betapa sedihnya nenek. Saya jadi memikirkan Ibu. Ketika muda, saya memang bandel, karena itu saya berharap bisa bertemu dan meminta maaf, mumpung masih ada waktu. Karena itu, pada 2009, saya kirim postcard (kartu pos) ke Indonesia, bilang akan pulang. Tapi, tidak bilang kalau akan naik kapal layar,” katanya.

Persiapan pun terus dimatangkan. Rama sempat menghubungi pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di San Francisco, mengabarkan rencana keberangkatannya. Dia juga menyusun jadwal perjalanan dan mengirimkan e-mail pemberitahuan jadwal pelayaran kepada otoritas pelayaran negara yang akan dilalui, seperti Australia. Dia pun menjual barang-barangnya untuk bekal perjalanan.

Rama juga mencari seorang public relation untuk mengabarkan rencana perjalanannya ke Indonesia. Melalui internet, dia menemukan Wayan Heru Young, sukarelawan di Bali, yang akhirnya menjadi public relation perjalanan California?Bali tersebut. “Bukan ingin pamer, saya hanya ingin memberikan contoh semangat bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk berprestasi di bidang pelayaran,” ucapnya.

Akhirnya, petualangan itu pun dimulai. Pada 8 Mei 2010, Rama beserta Kona-nya meluncur meninggalkan pantai Oakland, California. Lokasi tujuan pertama adalah Hawaii.

Sebagai bekal, Rama mengisi Kona dengan berbagai makanan, seperti makanan kaleng, corned beef, mi goreng, pan cake dan peanut butter, serta 100 liter air bersih. Tanki kapal terisi 80 liter bahan bakar solar, serta satu pak berisi sekitar 10 pasang pakaian. Tak lupa, laptop 14 inci dan kamera digital.

Pada 13 Mei 2010, ketika beranjak 100 nautical mile atau sekitar 185,2 km (1 nautical mile = 1,852 kilometer) dari lepas pantai San Francisco, Rama sudah harus menyabung nyawa. Badai dan ombak setinggi 12 meter menghajar kapalnya. Layar utama robek, railing layar rusak, dan pintu kapal copot.

Saat itu ada dua opsi. Pertama, kembali ke Oakland untuk memperbaiki kapal dan layar. Kedua, melanjutkan perjalanan dengan layar seadanya ke Hawaii yang masih berjarak 2.000 nautical mile. “Saya membuka kotak makanan. Kira-kira masih cukup untuk tiga bulan. Akhirnya, saya putuskan untuk terus jalan,” katanya.

Butuh waktu 2 bulan 7 hari untuk sampai ke Hawaii. Di sana Rama membeli tiga layar bekas dan mendapat bonus satu layar, serta peralatan untuk memperbaiki layar, makanan, dan air bersih. Pada 3 Agustus, Kona meninggalkan Waikiki Beach, Honolulu, Hawai. Tujuan selanjutnya adalah Kepulauan Solomon, di Samudera Pasifik. Sampai di Solomon, dia membeli bekal makanan dan minuman, kemudian melanjutkan perjalanan melintasi Coral Sea, perairan antara Australia dan Papua Nugini.

Pada 25 Oktober 2010, Rama tiba di Port Moresby, Papua Nugini. Di sana paspor Rama sempat ditahan oleh petugas imigrasi. Pasalnya, gambar di paspor sudah luntur terkena air laut. Pihak imigrasi akhirnya menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Namun, petugas KBRI juga menyangsikan bahwa Rama adalah warga Indonesia. Maklum, sudah puluhan tahun dia hidup di AS, sehingga bahasa Indonesianya pun tidak lagi lancar.

Rama tak kurang akal. Dia meminta petugas KBRI menghubungi keluarganya di Jakarta. Berbekal alamat, nomor telepon pun ditemukan. Saat itulah keluarganya memastikan bahwa Rama adalah warga negara Indonesia (WNI). “Waktu itu saya berbicara dengan Ibu saya. Itu adalah pembicaraan pertama saya dengan Ibu sejak 1983,” katanya lirih. Ibunya adalah Trisutji Kamal, salah satu komposer dan pianis legendaris di Indonesia. Setelah suaminya wafat, dia menikah lagi dengan Ahmad Badawi Kamal.

Pada 12 November 2010, Rama meninggalkan Port Moresby menuju Nusa Tenggara. Saat memasuki perairan Australia, Rama terus dipantau oleh petugas Torres Strait Regional Authority melalui radio. “Sepanjang yang saya tahu, perairan Australia ini salah satu yang paling ketat di dunia,” ucapnya.

Pada 13 Desember 2010, Rama mendarat di Tanimbar, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Setelah itu, sembari menunggu cuaca kondusif, dia singgah di Alor, NTB serta Flores, kemudian Lombok. Akhirnya, pada 3 April pukul 01.30 dini hari, Rama tiba di Marina Bay, Benoa, Bali.

Tiba di Benoa, Bali, sekitar 100 orang sudah menyambutnya, termasuk Ibu dan saudaranya. “Saya tak mengira akan mendapat sambutan seperti itu. Saya terharu, saya menangis ketika bertemu Ibu saya,” ceritanya.
Itulah Rob Rama Rambini, yang seorang diri menempuh perjalanan 10.000 nautical mile (sekitar 18.520 kilometer) selama 10 bulan 27 hari, dari California ke Bali, untuk menemui sang Ibu.

Di samudera, ketika sendirian, Rama sering hanya ditemani burung camar dan sesekali lumba-lumba. Membaca buku tentang pelayaran dan menjahit layar adalah aktivitasnya sehari-hari. Tidur hanya empat jam sehari dan hanya jika ada hujan dia mandi. Kini, dia ingin mengembangkan wisata pelayaran di Bali. (c2/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/