26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Hukum Pemburu Badak Sumatera dengan Dijadikan Saudara

Menjadi korban banjir karena kerusakan hutan Leuser membuat Rudi Putra bergerak. Dia melakukan aksi nyata untuk mengembalikan huta di sekitar rumahnya. Upaya gigih Rudi itu diganjar Green Nobel di Amerika Serikat.

M Hilmi Setiawan, Jakarta

HUTAN Leuser membentang mulai Provinsi Aceh hingga Provinsi Sumatera Utara. Kelestarian hutan konservasi yang menjadi kebanggaan penduduk serambi Makkah itu perlu dijaga. Sebab, ancaman kerusakan menunggu di depan mata.

RAIH AWARD: Rudi Putra berpose di lahan Hutan Leuser yang membuatnya meraih Green Nobel Goldman 2014.
RAIH AWARD: Rudi Putra berpose di lahan Hutan Leuser yang membuatnya meraih Green Nobel Goldman 2014.

Adalah Rudi Putra, warga asli Seruwai Aceh Tamiang, yang menjadi pelopor penyelamatan hutan Leuser tersebut. Pria kelahiran 7 Februari 1977 itu menuturkan, kerusakan lingkungan hutan Leuser mengancam kehidupan manusia serta satwa di dalamnya.

“Saya tergerak menyelamatkan hutan Leuser itu karena merasakan sendiri dampaknya,” ujar lulusan jurusan biologi Universitas Syah Kuala (Unsyah) tersebut di Jakarta kemarin. Dia sedang berada di Jakarta untuk mengikuti pertemuan dengan calon lembaga donor.

Rudi menuturkan, kampung halamannya di Seruwai berkali-kali mengalami musibah banjir besar. Setelah dia amati, ternyata banjir itu merupakan kiriman dari hulu sungai di dalam hutan Leuser. Jadi, tidak ada pilihan bagi Rudi selain bertindak nyata dengan mengembalikan kelestarian hulu sungai tersebut.

Tidak disangka, usaha dari niat sederhana itu berdampak lebih jauh. Yakni, upaya penyelamatan badak sumatera yang terancam punah. “Jadi, jika saya ingin memulihkan Leuser, saya harus menjaga penghuni habitatnya, badak sumatera,” ungkap Rudi.

Pria yang memulai karir di Unit Manajemen Leuser itu menceritakan, badak di rimba Leuser tersebut masih berkerabat dengan badak bercula satu yang menjadi ikon Taman Nasional Ujung Kulon.

Dari pengamatan intensif bersama teman-temannya, Rudi menyimpulkan bahwa badak sumatera bertahan di dalam belantara Leuser. “Badak di Leuser tidak menyebar secara luas. Tetapi, tempatnya terkumpul di suatu area yang lokasinya dirahasiakan. Upaya itu semata untuk mencegah perburuan liar,” ujarnya. Badak tersebut sehari-hari keluar sendirian alias tidak berkelompok seperti harimau atau singa.

Rudi yang bersama teman-temannya membentuk Forum Konservasi Leuser (FKL) setiap hari berkeliling hutan untuk patroli keselamatan badak. Dia menjelaskan, berdasar hasil penelitian pada 1985 oleh peneliti Belanda, populasi badak di dalam hutan Leuser mencapai 39 ekor. Kemudian, dari hasil penelitian yang keluar pada 1990, jumlah badak itu menyusut menjadi sekitar 20 ekor.

“Setelah ada penjagaan, saat ini diperkirakan jumlah badak sumatera meningkat. Namun, jumlah detailnya masih kami usahakan,” katanya.

Tetapi, Rudi mengungkapkan, banyak indikasi yang berujung pada kesimpulan peningkatan jumlah populasi badak. “Di antaranya, sudah tidak ditemukan lagi bangkai badak hasil perburuan,” ujarnya. Ancaman perburuan badak perlahan-lahan berhasil mereka tekan. Cara berburu badak yang lazim dilakukan masyarakat adalah membuat jebakan.

Bapak satu anak itu menyatakan memiliki cara tersendiri dalam menindak para pemburu badak itu. Dia sama sekali tidak memakai cara-cara kasar menghadapi pelaku perburuan badak tersebut. Dia bahkan menjadikan para pelaku perburuan badak itu sebagai saudara. “Ada anak-anak pelaku perburuan badak itu yang malah kami rekrut untuk bekerja di tempat kami,” ungkapnya.

Cara bersahabat itu sangat efektif menekan perburuan badak. Menurut dia, masyarakat yang biasa berburu badak lama-kelamaan juga bosan. Sebab, jaring atau perangkap yang mereka pasang dengan biaya besar selalu dirusak Rudi dan teman-temannya.

Rudi memang sengaja tidak menggunakan pendekatan hukum untuk menindak para pemburu itu. Sebab, dia menghindari potensi balas dendam. “Bisa saja mereka dijebloskan ke penjara. Tetapi, setelah keluar, mereka akan membalas dendam,” ujarnya.

Sekarang Rudi semakin bergairah menyelamatkan badak ketika sempat mengamati jejak bayi badak. Itu berarti jumlah badak di dalam hutan Leuser sudah meningkat.

Selain menyelamatkan badak dari ancaman kepunahan, Rudi gigih melawan pertambangan dan perkebunan sawit. Rudi mengaku sudah mengatasi 3 ribu hektare area perkebunan sawit milik 26 unit kepemilikan. Terhadap para pemilik itu, Rudi melakukan pendekatan halus. Hasilnya, pemilik 24 unit lahan sawit secara sukarela bersedia membabat kebunnya untuk penghijauan.

“Mereka itu ilegal. Tanahnya bukan tanah hak milik,” jelasnya. Saat ini masih ada dua unit kepemilikan yang masih membandel. Karena itu, Rudi membawanya ke proses hukum.

Dalam mengedukasi masyarakat, Rudi menjelaskan pentingnya kelestarian hutan Leuser. Jika sampai rusak, nyawa masyarakat di sekitar hilir sungai yang berhulu di Leuser terancam. Jika kesadaran terhadap pentingnya kelestarian hutan Leuser sudah tertanam, baru Rudi memberikan keterangan tentang aturan hukum. “Saya tidak menakut-nakuti. Hanya menunjukkan aturan. Kalau masih nekat membuka lahan sawit, konsekuensinya apa saja,” tegasnya.

Terkait dengan penghargaan yang diraih di Amerika Serikat, Rudi mengaku kaget. Dia menyatakan sama sekali tidak pernah mengajukan pendaftaran dalam ajang bergengsi tersebut. “Mungkin penilaian menggunakan sistem tertutup,” ujarnya.

Rudi menjadi pemenang mewakili kelompok negara kepulauan. Pemenang lainnya mewakili kelompok Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. “Saya kaget ketika menjelang subuh mendapat informasi masuk nominasi penghargaan Goldman Prize,” ungkap alumnus S-2 Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Dengan penghargaan tersebut, Rudi berharap pemerintah daerah di Aceh maupun pemerintah pusat konsisten menjaga kelestarian hutan Leuser. “Hutan itu kini sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi. Karena itu, segala bentuk aktivitas pertambangan liar harus dihentikan,” tegasnya. (c5/kim/jpnn/rbb)

Menjadi korban banjir karena kerusakan hutan Leuser membuat Rudi Putra bergerak. Dia melakukan aksi nyata untuk mengembalikan huta di sekitar rumahnya. Upaya gigih Rudi itu diganjar Green Nobel di Amerika Serikat.

M Hilmi Setiawan, Jakarta

HUTAN Leuser membentang mulai Provinsi Aceh hingga Provinsi Sumatera Utara. Kelestarian hutan konservasi yang menjadi kebanggaan penduduk serambi Makkah itu perlu dijaga. Sebab, ancaman kerusakan menunggu di depan mata.

RAIH AWARD: Rudi Putra berpose di lahan Hutan Leuser yang membuatnya meraih Green Nobel Goldman 2014.
RAIH AWARD: Rudi Putra berpose di lahan Hutan Leuser yang membuatnya meraih Green Nobel Goldman 2014.

Adalah Rudi Putra, warga asli Seruwai Aceh Tamiang, yang menjadi pelopor penyelamatan hutan Leuser tersebut. Pria kelahiran 7 Februari 1977 itu menuturkan, kerusakan lingkungan hutan Leuser mengancam kehidupan manusia serta satwa di dalamnya.

“Saya tergerak menyelamatkan hutan Leuser itu karena merasakan sendiri dampaknya,” ujar lulusan jurusan biologi Universitas Syah Kuala (Unsyah) tersebut di Jakarta kemarin. Dia sedang berada di Jakarta untuk mengikuti pertemuan dengan calon lembaga donor.

Rudi menuturkan, kampung halamannya di Seruwai berkali-kali mengalami musibah banjir besar. Setelah dia amati, ternyata banjir itu merupakan kiriman dari hulu sungai di dalam hutan Leuser. Jadi, tidak ada pilihan bagi Rudi selain bertindak nyata dengan mengembalikan kelestarian hulu sungai tersebut.

Tidak disangka, usaha dari niat sederhana itu berdampak lebih jauh. Yakni, upaya penyelamatan badak sumatera yang terancam punah. “Jadi, jika saya ingin memulihkan Leuser, saya harus menjaga penghuni habitatnya, badak sumatera,” ungkap Rudi.

Pria yang memulai karir di Unit Manajemen Leuser itu menceritakan, badak di rimba Leuser tersebut masih berkerabat dengan badak bercula satu yang menjadi ikon Taman Nasional Ujung Kulon.

Dari pengamatan intensif bersama teman-temannya, Rudi menyimpulkan bahwa badak sumatera bertahan di dalam belantara Leuser. “Badak di Leuser tidak menyebar secara luas. Tetapi, tempatnya terkumpul di suatu area yang lokasinya dirahasiakan. Upaya itu semata untuk mencegah perburuan liar,” ujarnya. Badak tersebut sehari-hari keluar sendirian alias tidak berkelompok seperti harimau atau singa.

Rudi yang bersama teman-temannya membentuk Forum Konservasi Leuser (FKL) setiap hari berkeliling hutan untuk patroli keselamatan badak. Dia menjelaskan, berdasar hasil penelitian pada 1985 oleh peneliti Belanda, populasi badak di dalam hutan Leuser mencapai 39 ekor. Kemudian, dari hasil penelitian yang keluar pada 1990, jumlah badak itu menyusut menjadi sekitar 20 ekor.

“Setelah ada penjagaan, saat ini diperkirakan jumlah badak sumatera meningkat. Namun, jumlah detailnya masih kami usahakan,” katanya.

Tetapi, Rudi mengungkapkan, banyak indikasi yang berujung pada kesimpulan peningkatan jumlah populasi badak. “Di antaranya, sudah tidak ditemukan lagi bangkai badak hasil perburuan,” ujarnya. Ancaman perburuan badak perlahan-lahan berhasil mereka tekan. Cara berburu badak yang lazim dilakukan masyarakat adalah membuat jebakan.

Bapak satu anak itu menyatakan memiliki cara tersendiri dalam menindak para pemburu badak itu. Dia sama sekali tidak memakai cara-cara kasar menghadapi pelaku perburuan badak tersebut. Dia bahkan menjadikan para pelaku perburuan badak itu sebagai saudara. “Ada anak-anak pelaku perburuan badak itu yang malah kami rekrut untuk bekerja di tempat kami,” ungkapnya.

Cara bersahabat itu sangat efektif menekan perburuan badak. Menurut dia, masyarakat yang biasa berburu badak lama-kelamaan juga bosan. Sebab, jaring atau perangkap yang mereka pasang dengan biaya besar selalu dirusak Rudi dan teman-temannya.

Rudi memang sengaja tidak menggunakan pendekatan hukum untuk menindak para pemburu itu. Sebab, dia menghindari potensi balas dendam. “Bisa saja mereka dijebloskan ke penjara. Tetapi, setelah keluar, mereka akan membalas dendam,” ujarnya.

Sekarang Rudi semakin bergairah menyelamatkan badak ketika sempat mengamati jejak bayi badak. Itu berarti jumlah badak di dalam hutan Leuser sudah meningkat.

Selain menyelamatkan badak dari ancaman kepunahan, Rudi gigih melawan pertambangan dan perkebunan sawit. Rudi mengaku sudah mengatasi 3 ribu hektare area perkebunan sawit milik 26 unit kepemilikan. Terhadap para pemilik itu, Rudi melakukan pendekatan halus. Hasilnya, pemilik 24 unit lahan sawit secara sukarela bersedia membabat kebunnya untuk penghijauan.

“Mereka itu ilegal. Tanahnya bukan tanah hak milik,” jelasnya. Saat ini masih ada dua unit kepemilikan yang masih membandel. Karena itu, Rudi membawanya ke proses hukum.

Dalam mengedukasi masyarakat, Rudi menjelaskan pentingnya kelestarian hutan Leuser. Jika sampai rusak, nyawa masyarakat di sekitar hilir sungai yang berhulu di Leuser terancam. Jika kesadaran terhadap pentingnya kelestarian hutan Leuser sudah tertanam, baru Rudi memberikan keterangan tentang aturan hukum. “Saya tidak menakut-nakuti. Hanya menunjukkan aturan. Kalau masih nekat membuka lahan sawit, konsekuensinya apa saja,” tegasnya.

Terkait dengan penghargaan yang diraih di Amerika Serikat, Rudi mengaku kaget. Dia menyatakan sama sekali tidak pernah mengajukan pendaftaran dalam ajang bergengsi tersebut. “Mungkin penilaian menggunakan sistem tertutup,” ujarnya.

Rudi menjadi pemenang mewakili kelompok negara kepulauan. Pemenang lainnya mewakili kelompok Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. “Saya kaget ketika menjelang subuh mendapat informasi masuk nominasi penghargaan Goldman Prize,” ungkap alumnus S-2 Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Dengan penghargaan tersebut, Rudi berharap pemerintah daerah di Aceh maupun pemerintah pusat konsisten menjaga kelestarian hutan Leuser. “Hutan itu kini sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi. Karena itu, segala bentuk aktivitas pertambangan liar harus dihentikan,” tegasnya. (c5/kim/jpnn/rbb)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/