26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PLN Minim Dana Tunai

Petugas PLN memperbaiki jaringan listrik ke rumah pelanggan-ilustrasi.
Petugas PLN memperbaiki jaringan listrik ke rumah pelanggan-ilustrasi.

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sepertinya belum bisa keluar dari beban berat. Setelah rugi besar tahun lalu, tahun ini PLN harus mengerem proyek-proyek jaringan listrik. Penyebabnya, BUMN setrum itu kekurangan dana tunai.

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menyatakan, pihaknya menyiapkan beberapa program untuk membantu kesulitan tersebut. Di antaranya mengoptimalkan peran swasta dalam penyedianan jaringan listrik nasional.

“Di satu sisi kami harus mengatasi kebutuhan listrik yang terus meningkat, di lain kami menghadapi kenyataan soal proyek PLN yang tertunda karena kekurangan dana. Karena itu kami mendorong swasta membangun pembangkit sendiri,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (27/5).

Untuk menarik investor swasta, Kementerian ESDM sudah menyiapkan tiga kebijakan. Pertama, mempermudah perizinan pembangunan pembangkit sendiri. Kedua, mencabut subsidi listrik bagi beberapa golongan industri seperti kelompok I3 Tbk dan I4. Menurut dia, hal tersebut memberikan nilai keekonomisan dalam membuat pembangkit sendiri daripada berlangganan PLN.

“Kami juga sedang menyiapkan peraturan tentang power wheeling. Jadi mereka bisa mengakses sumber energi (energi terbarukan seperti solar atau hidro) untuk listrik yang murah meski tempatnya jauh dari lokasi industri,” ungkapnya.

Langkah tersebut mempunyai potensi cukup besar. Sampai saat ini, total kapasitas produksi listrik dari kawasan industri yang mempunyai pembangkit listrik sendiri mencapai 4.500 megawatt (mw). Itu merupakan sembilan persen dari kapasitas nasional sebesar 50,115 mw. “Salah satunya kawasan Industri Cikarang Listrindo. Itu sudah mempunyai pembangkit listrik mandiri,” imbuhnya.

Dia menargetkan, kapasitas produksi yang diincar dari pembangkit listrik mandiri mencapai 1.200 mw pada 2018. Itu menyerap 20 persen dari unallocated demand (permintaan listrik yang tak dipenuhi PLN atau IPP). “Itu setara kapasitas rata-rata tambahan pembangkit Indonesia,” jelasnya.

Namun, Direktur Utama PLN Nur Pamudji menilai solusi tersebut kurang cocok. Kata dia, proyek yang terhambat saat ini adalah proyek hilir listrik. Antara lain, pembangunan gardu induk, transmisi, serta jaringan distribusi sampai sambungan ke pelanggan. Menurut dia, hal tersebut hanya bisa ditangani PLN.

“Swasta boleh saja investasi gardu transmisi dan sambungan, tapi hanya di wilayah konsesi milik mereka. Kalau di wilayah konsesi PLN, yang investasi harus PLN. Nah, yang terhenti termasuk penambahan trafo untuk melayani pertambahan konsumsi listrik,” jelasnya.

Inti masalah, lanjut dia, sebenarnya pada regulasi pemerintah soal penentuan tarif listrik. Berdasar UU No 30/2009, harga jual listrik ke konsumen ditetapkan pemerintah dan DPR. Akibatnya, kebutuhan investasi PLN harus diatur keduanya. Jika ada perubahan asumsi makro seperti kurs, PLN tak bisa fleksibel mengubah investasi tersebut.

“PLN memahami bahwa pemerintah sedang kesulitan fiskal, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan investasi PLN. Intinya, kami tidak punya proyek baru, hanya menyelesaikan yang ada sebatas dana investasi yang tersedia. Langkah-langkah yang kami tempuh merupakan upaya menyesuaikan dri dengan kemampuan fiskal pemerintah,” jelasnya.

Saat ini, PLN kesulitan melanjutkan proyek jaringan listrik. Padahal target penambahan sambungan tahun ini dipatok 3,5 juta pelanggan, lebih rendah dibandingkan realisasi 2013 sebanyak 4,2 juta. Untuk memenuhi konsumsi listrik pelanggan baru dan eksisting, pihaknya membutuhkan tambahan kabel transmisi 4 ribu kilometer (km). Lalu tambahan kapasitas gardu induk 3.675 megavolt ampere (MVA); jaringan distribusi 13,8 ribu km; jaringan tegangan rendah 10,8 km; dan trafo distribusi 3 ribu mva.

Namun, dia memprediksi tak bisa merealisasikan sepenuhnya dari rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) tersebut. Sebab, kurs dolar hingga saat ini masih di atas asumsi APBN 2014 senilai Rp 10.500 per USD. Padahal, tak sedikit peralatan yang harus diimpor. (bil/oki)

Petugas PLN memperbaiki jaringan listrik ke rumah pelanggan-ilustrasi.
Petugas PLN memperbaiki jaringan listrik ke rumah pelanggan-ilustrasi.

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sepertinya belum bisa keluar dari beban berat. Setelah rugi besar tahun lalu, tahun ini PLN harus mengerem proyek-proyek jaringan listrik. Penyebabnya, BUMN setrum itu kekurangan dana tunai.

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menyatakan, pihaknya menyiapkan beberapa program untuk membantu kesulitan tersebut. Di antaranya mengoptimalkan peran swasta dalam penyedianan jaringan listrik nasional.

“Di satu sisi kami harus mengatasi kebutuhan listrik yang terus meningkat, di lain kami menghadapi kenyataan soal proyek PLN yang tertunda karena kekurangan dana. Karena itu kami mendorong swasta membangun pembangkit sendiri,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (27/5).

Untuk menarik investor swasta, Kementerian ESDM sudah menyiapkan tiga kebijakan. Pertama, mempermudah perizinan pembangunan pembangkit sendiri. Kedua, mencabut subsidi listrik bagi beberapa golongan industri seperti kelompok I3 Tbk dan I4. Menurut dia, hal tersebut memberikan nilai keekonomisan dalam membuat pembangkit sendiri daripada berlangganan PLN.

“Kami juga sedang menyiapkan peraturan tentang power wheeling. Jadi mereka bisa mengakses sumber energi (energi terbarukan seperti solar atau hidro) untuk listrik yang murah meski tempatnya jauh dari lokasi industri,” ungkapnya.

Langkah tersebut mempunyai potensi cukup besar. Sampai saat ini, total kapasitas produksi listrik dari kawasan industri yang mempunyai pembangkit listrik sendiri mencapai 4.500 megawatt (mw). Itu merupakan sembilan persen dari kapasitas nasional sebesar 50,115 mw. “Salah satunya kawasan Industri Cikarang Listrindo. Itu sudah mempunyai pembangkit listrik mandiri,” imbuhnya.

Dia menargetkan, kapasitas produksi yang diincar dari pembangkit listrik mandiri mencapai 1.200 mw pada 2018. Itu menyerap 20 persen dari unallocated demand (permintaan listrik yang tak dipenuhi PLN atau IPP). “Itu setara kapasitas rata-rata tambahan pembangkit Indonesia,” jelasnya.

Namun, Direktur Utama PLN Nur Pamudji menilai solusi tersebut kurang cocok. Kata dia, proyek yang terhambat saat ini adalah proyek hilir listrik. Antara lain, pembangunan gardu induk, transmisi, serta jaringan distribusi sampai sambungan ke pelanggan. Menurut dia, hal tersebut hanya bisa ditangani PLN.

“Swasta boleh saja investasi gardu transmisi dan sambungan, tapi hanya di wilayah konsesi milik mereka. Kalau di wilayah konsesi PLN, yang investasi harus PLN. Nah, yang terhenti termasuk penambahan trafo untuk melayani pertambahan konsumsi listrik,” jelasnya.

Inti masalah, lanjut dia, sebenarnya pada regulasi pemerintah soal penentuan tarif listrik. Berdasar UU No 30/2009, harga jual listrik ke konsumen ditetapkan pemerintah dan DPR. Akibatnya, kebutuhan investasi PLN harus diatur keduanya. Jika ada perubahan asumsi makro seperti kurs, PLN tak bisa fleksibel mengubah investasi tersebut.

“PLN memahami bahwa pemerintah sedang kesulitan fiskal, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan investasi PLN. Intinya, kami tidak punya proyek baru, hanya menyelesaikan yang ada sebatas dana investasi yang tersedia. Langkah-langkah yang kami tempuh merupakan upaya menyesuaikan dri dengan kemampuan fiskal pemerintah,” jelasnya.

Saat ini, PLN kesulitan melanjutkan proyek jaringan listrik. Padahal target penambahan sambungan tahun ini dipatok 3,5 juta pelanggan, lebih rendah dibandingkan realisasi 2013 sebanyak 4,2 juta. Untuk memenuhi konsumsi listrik pelanggan baru dan eksisting, pihaknya membutuhkan tambahan kabel transmisi 4 ribu kilometer (km). Lalu tambahan kapasitas gardu induk 3.675 megavolt ampere (MVA); jaringan distribusi 13,8 ribu km; jaringan tegangan rendah 10,8 km; dan trafo distribusi 3 ribu mva.

Namun, dia memprediksi tak bisa merealisasikan sepenuhnya dari rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) tersebut. Sebab, kurs dolar hingga saat ini masih di atas asumsi APBN 2014 senilai Rp 10.500 per USD. Padahal, tak sedikit peralatan yang harus diimpor. (bil/oki)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/