JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pelayanan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Sumatera Utara masih belum sempurna. Meski demikian, masyarakat harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tagihan listrik. Hal itu terkait rencana pemerintah yang akan memberlakukan kenaikan tarif listrik mulai 1 Juli 2014 mendatang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan, kenaikan tarif listrik tersebut akan diberlakukan pada pelanggan rumah tangga, industri, hingga pemerintah. “Khusus pelanggan rumah tangga kecil (dengan daya) 450 VA dan 900 VA, tarifnya tidak akan naik,” ujarnya saat rapat dengan Badan Anggaran DPR kemarin (3/6).
Menurut Jero, kenaikan tarif listrik harus dilakukan untuk mengurangi beban subsidi listrik. Dalam APBN Perubahan 2014, jatah subsidi listrik diperkirakan bakal mencapai Rp107,1 triliun, naik 50 persen dibanding pagu anggaran yang dipatok dalam APBN 2014 sebesar Rp71,4 triliun. Angka subsidi Rp107,1 triliun itu dibuat dengan asumsi kenaikan tarif listrik pada beberapa pelanggan. “Dengan kenaikan itu, potensi penghematan subsidinya Rp8,5 triliun,” katanya.
Dalam rencana Kementerian ESDM, kenaikan akan diberlakukan pada enam kelompok. Pertama, pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA yang tarifnya saat ini Rp979 per Kwh, akan naik sebesar rata-rata 11,36 persen setiap dua bulan sekali (1 Juli, 1 September, dan 1 November). Kedua, pelanggan rumah tangga 2.200 VA yang tarifnya saat ini Rp 1.004 per Kwh, bakal meningkat 10,43 persen tiap dua bulan sekali. Ketiga, pelanggan rumah tangga 3.500 – 5.500 VA yang tarifnya saat ini Rp1.145 per Kwh, akan naik 5,70 persen tiap dua bulan.
Keempat, pelanggan industri I-3 dengan daya 201 – 30.000 kVA non go public yang tarifnya saat ini Rp 803 per Kwh, akan naik 11,57 persen tiap dua bulan. Kelima, pelanggan pemerintah dengan daya di atas 200 kVA yang tarifnya saat ini Rp947 per Kwh akan naik 5,36 persen tiap dua bulan. Keenam, tarif penerangan jalan umum yang saat ini Rp997 per Kwh bakal meningkat 10,69 persen tiap dua bulan.
Jero menyebut, kenaikan tarif listrik tersebut merupakan kelanjutan dari program pengurangan subsidi sebelumnya. Mulai 1 Mei 2014, pemerintah memang sudah menaikkan tarif listrik beberapa kelompok pelanggan. Misalnya, pelanggan rumah tangga besar dengan daya 6.600 VA ke atas. Lalu pelanggan bisnis skala menengah (6.600 VA – 200 kVA) hingga pelanggan bisnis skala besar (di atas 200 kVA). “Kita ingin adil. (Pelanggan) yang mampu subsidinya kita kurangi, yang tidak mampu tetap kita subsidi,” ucapnya.
Khusus untuk pelanggan industri I-3, lanjut dia, kenaikan tarif juga sudah diberlakukan untuk perusahaan yang sudah go public atau listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun, hal itu rupanya memicu protes karena perusahaan go public merasa diperlakukan tidak adil. “Karena itu, 1 Juli nanti, tarif (pelanggan I-3) yang tidak go public juga akan dinaikkan,” jelasnya.
Menurut Jero, selain mengurangi beban subsidi, kenaikan tarif listrik juga diharapkan bisa mendorong pelanggan untuk lebih hemat dalam penggunaan listrik. Dia menyebut, selama ini banyak perilaku boros energi yang dilakukan masyarakat karena merasa tarif listriknya murah, seperti menyalakan TV saat tidak ditonton atau menyalakan penyejuk ruangan saat tidak ada orang. “Kalau tarif dinaikkan, biasanya masyarakat akan lebih hemat,” ujarnya.
Menteri Keuangan Chatib Basri menambahkan, berbagai upaya untuk mengurangi beban subsidi harus dilakukan, baik melalui penghematan konsumsi BBM maupun kenaikan tarif listrik. “Ini mau tidak mau harus dilakukan untuk menyelamatkan APBN,” katanya.
Menurut Chatib, pemerintah kini harus memutar otak untuk menyusun APBN Perubahan 2014. Sebab, di satu sisi penerimaan perpajakan diproyeksi turun seiring melambatnya perekonomian dan masih lemahnya harga komoditas pertambangan dan perkebunan. Di sisi lain, beban subsidi membengkak akibat pelemahan atau depresiasi nilai tukar dan Indonesia harus mengimpor BBM dalam jumlah besar. “Karena itulah, anggaran K/L (Kementerian/Lembaga) juga akan dipangkas hingga sekitar Rp100 triliun,” ucapnya.
Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu menyebut, posisi APBN saat ini memang masih surplus karena penyerapan belanja barang dan modal yang masih rendah. Namun pada akhir tahun, APBN diperkirakan akan mengalami defisit hingga 3,5 persen produk domestik bruto (PDB) jika pemerintah tidak melakukan pengendalian belanja K/L dan subsidi. “Padahal sesuai undang-undang, maksimal defisit (APBN) hanya diperbolehkan sampai 3 persen,” jelasnya. (owi/sof/jpnn/tom)