JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengaku tidak hanya sekadar melaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) banyaknya kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), mandek di tingkat penyelidikan maupun penyidikan. Namun juga berjanji akan terus memonitoring dan mengawal sejauh mana langkah Kejagung mengatasi pelaporan tersebut.
“Saat ini kita lagi berusaha membangun sinergi antara sipil dengan kejaksaan. Jadi (setelah melaporkan dugaan banyaknya penanganan kasus mandek di daerah), kita pasti akan monitoring hasilnya seperti apa,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, kepada koran ini di Jakarta, Senin (16/6).
Langkah monitoring akan dilakukan, karena saat datang melapor ke pimpinan Kejagung, Jumat (13/6) lalu, pihak Kejagung, katanya, telah berjanji akan menelusuri apa yang dilaporkan ICW, dengan menanyakan langsung ke Kejatisu. Karena itu ICW akan menuggu terlebih dahulu seperti apa hasil penelusuran Kejagung.
Menurut Emerson, pihaknya datang melapor ke Kejagung, didasari sejumlah kewenangan yang dimiliki Kejagung. Bahwa meski penyidik di tingkat kejaksaan di daerah bertanggungjawab penuh menangani kasus-kasus yang ada, namun ketika ada laporan dari masyarakat banyak kasus mandek, maka Kejagung sebagai lembaga yang menaungi seluruh kejaksaan di daerah, bertanggungjawab untuk menelusuri kebenarannya.
“Penelusuran dari Kejagung sangat diperlukan. Apa mereka mau membiarkan performa kejaksaan di tingkat bawah jelek. Jadi kita perlu mendorong terus menerus agar supremasi hukum berjalan dengan baik,” ujarnya.
Emerson menilai langkah mendorong Kejagung pro-aktif melakukan suprevisi terhadap kejaksaan di daerah-daerah sangat diperlukan. Agar stigma asal bapak senang dapat benar-benar dihapuskan dari sistem birokrasi di Indonesia. Apalagi banyaknya kasus yang mandek di tingkat bawah yang dilaporkan ICW ke Kejagung, baru hasil penelusuran dari 11 daerah. Sehingga kemungkinan kasus yang sama, masih banyak terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.
“Ini kan perlu ditelusuri kebenarannya. Yang kita kumpulkan itu baru dari sebelas daerah. Jadi kita akan mendorong terus sehingga apa yang disampaikan dari bawah ke atas, itu sesuai kenyataan. Bukan karena hanya asal bapak senang,” katanya.
Sebelumnya, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony Tribagus Spontana, untuk menangani mandeknya perkara di Kejatisu, ada beberapa langkah yang dimungkinkan dapat dilakukan. Antara lain menempuh langkah supervisi dan bimbingan tehnis.
“Secara tehnis Kejaksaan Agung memang tidak dapat begitu saja mengambilalih kasus-kasus yang ditangani kejaksaan di daerah. Tapi kalau secara non tehnis, kita dapat mengambil beberapa kebijakan. Seperti mendorong percepatan penanganan,” ujarnya, Minggu (15/6).
Langkah supervisi kata Tony, bahkan dapat dilakukan dengan turun langsung ke Kejatisu. Karena pada hakikatnya, Kejagung memiliki kewenangan terhadap hal tersebut. “Jadi Kejagung bisa melakukan bimbingan langsung ke daerah,” ujarnya.
Saat ditanya apakah Kejagung dapat mengambilalih penanganan kasus yang ditangani Kejatisu, Tony tidak menutup langkah tersebut. Meski demikian menurutnya baru dapat dilakukan jika Kejagung menemukan adanya dugaan konflik kepentingan yang dikhawatirkan mengganggu proses penanganan. Namun di luar dari hal tersebut, Kejagung hanya dapat menerapkan bimbingan, mengingat sistem penanganan perkara di kejaksaan juga berlaku otonom.
Saat kembali ditanyakan mengapa banyak kasus di Kejatisu mengendap hingga lebih dari setahun, padahal sudah ditetapkan tersangkanya, menurut Tony, pihaknya perlu melakukan penelusuran terlebih dahulu. Dan jika ditemukan kendala-kendala penyebab, maka Kejagung akan memberi bimbingan.
“Jadi memang menurut undang-undang tidak ada batasan waktu berapa lama proses penanganan sebuah kasus. Tapi kalau ada penahanan (tersangka), nah sesuai undang-undang memang diatur batas waktunya,” ujar Tony.(gir/rbb)