JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) boleh berkoar-koar aturan masuk SD tidak boleh menggunakan tes baca, tulis, dan berhitung (calistung). Tetapi nyatanya di lapangan, ujian yang memberatkan anak-anak pra-sekolah itu lazim dilakukan.
Indikasi terkini dari pelaksanaan ujian calistung untuk penerimaan siswa baru itu tertuang dari survei National Early Grade Reading oleh USAID. Dari hasil survei itu, USAID melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa kelas II SD semester genap sudah tinggi.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa 48 persen dari 4.800 siswa yang disurvei sudah bisa membaca dan memahami isi tulisan. Kelompok lainnya sebesar 5,9 persen siswa belum bisa membaca. Dan sisanya memiliki kemampuan membaca tidak terlalu mahir.
Peneliti USAID Ester Manurung tidak menampik bahwa siswa SD yang lebih dulu belajar di TK memiliki kemampuan membaca lebih baik. “Memang sangat nyata terlihat, anak-anak yang mengikuti preschool, terbantu untuk urusan membaca,” kata dia. Tetapi dia belum bisa memastikan bahwa tingginya kemampuan membaca anak-anak kelas II SD itu disebabkan keharusan tes calistung bagi siswa baru
Direktur Pembinaan SD Kemendikbud Ibrahim Bafadal mengelak jika tes calistung untuk seleksi siswa SD dilaksanakan secara nasional. Dia menegaskan sebagian besar sekolah sudah taat pada aturan Kemendikbud. Bahwa untuk masuk SD, anak-anak tidak perlu dibebani tes calistung.
Tes calistung bagi calon siswa SD ini dinilai Kemendikbud tidak tepat dan memberatkan. Ketika tes itu diterapkan, maka selama di TK anak-anak sudah diajarkan materi membaca, menulis, dan berhitung. Padahal kompetensi anak-anak TK belum waktunya untuk mempelajari tiga kegiatan dasar tadi. Kegiatan di TK lebih dipakai untuk menanamkan karakter.
“Kalaupun ada SD yang masih menerapkan ujian calistung, saya yakin jumlahnya kecil sekali,” katanya. Bafadal menegaskan bahwa untuk seleksi masuk SD, cukup menggunakan kriteria usia dan jarak rumah ke sekolah. Siswa dengan usia paling banyak dan jarak terdekat dengan sekolah, diprioritaskan untuk diterima.
Terkait dengan tingginya kemampuan membaca siswa kelas II SD seperti hasil survei tadi, Bafadal menuturkan sebagai hasil dari pembelajaran di kelas I. Dia mengatakan pembelajaran siswa di kelas I SD tidak bisa dilepaskan dari kemampuan membaca. “Tapi bukan berarti harus bisa membaca ketika mau masuk SD,” tandasnya. Bafadal berharap seluruh pengelola SD negeri maupun swasta mematuhi aturan seleksi siswa baru tanpa ujian calistung. (wan)