ISLAMABAD, SUMUTPOS.CO – Sorotan dunia tidak membuat tradisi pembunuhan pada perempuan di Pakistan menyusut. Buktinya, pembunuhan atas nama kehormatan tersebut terus terjadi. Yang terbaru, pasangan suami istri yang baru menikah dibunuh keluarganya. Alasannya sepele. Yakni, mereka menikah karena cinta dan tanpa persetujuan dua keluarga lebih dulu.
Pengantin baru yang bernasib tragis itu adalah Sajjad Ahmed, 26, dan Muawia Bibi, 18. Mereka melangsungkan pernikahan pada 18 Juni lalu di Desa Sartah, wilayah timur Pakistan. Kamis (26/6) keluarga mempelai wanita meminta pasangan itu pulang. Mereka berjanji merestui pernikahan Sajjad dan Muawia. Senang dengan kabar tersebut, keesokan harinya, pengantin baru itu pulang.
Namun, mereka bagai mendatangi mulut harimau yang lapar. Bukannya mendapat restu, keluarga Muawia langsung menangkap pasangan tersebut dan mengikat tangan mereka. “Ketika sampai di rumah, mereka diikat dengan tali dan ayah si perempuan memotong leher mereka,” ujar petugas kepolisian Rana Zashid. Mereka menggunakan pisau jagal untuk mengakhiri nasib Sajjad dan Muawia. Pelaku pembunuhan tersebut adalah orang tua Muawia serta dua paman dan kakeknya.
Kepolisian menangkap lima orang tersebut. Meski begitu, agaknya mereka tidak merasa bersalah. Para tersangka itu malah mengaku malu karena anak perempuan mereka menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah. Membunuh perempuan yang dianggap tidak sopan memang menjadi budaya di Pakistan.
Hanya, batasan tidak sopan itu sangat sempit. Bernyanyi, melihat ke jendela, berbicara dengan laki-laki yang bukan keluarga, dan menikah dengan pria pilihan sudah dianggap tidak sopan dan layak dibunuh. Berdasar data Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, tahun lalu setidaknya 869 orang terbunuh dengan alasan kehormatan. Namun, mereka mengakui, jumlahnya bisa lebih banyak. Sebab, banyak di antara pembunuhan seperti itu yang tidak dilaporkan.
Jika mengacu pada data PBB, jumlahnya bahkan jauh lebih tinggi. PBB melaporkan, setidaknya ada 5 ribu perempuan yang dibunuh keluarganya setiap tahun. Pemerintah yang lemah, ekonomi yang bermasalah, dan serangan Taliban membuat Pakistan tidak memiliki data statistik yang akurat. Mereka juga tidak memiliki strategi yang mumpuni untuk memerangi tradisi sadis tersebut.
Salah satu contoh kelemahan hukum di Pakistan adalah bila pembunuh sudah terbukti bersalah, mereka bisa bebas jika keluarga si perempuan yang dibunuh memaafkan. Karena itu, banyak keluarga yang menyewa orang untuk membunuh anak gadisnya. Jika tertangkap, mereka bakal mengampuni, kemudian si pembunuh bayaran bisa melenggang bebas.
Perempuan tidak hanya terancam oleh keluarganya. Di Punjab, Sidra Shaukat dibakar hidup-hidup oleh Fayaz Aslam, 26. Alasannya, Fayaz merasa sakit hati karena lamarannya ditolak keluarga Sidra. “Fayaz menyiramkan minyak tanah sebelum membakar Sidra,” ujar petugas kepolisian Akhtar Saeed. Sidra sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong. (Reuters/AFP/CNN/sha/c23/dos)