26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Anak Lelaki dan Meliana

Cerpen:  Cikie Wahab

Seorang anak laki-laki menghampiri Meliana tiba-tiba dan menumpahkan gelas berwarna merah dari tangannya. Ia menatap jauh ke dalam mata guru matematika itu dan berlari setelah semua air tampak menggenang
di lantai. Meliana terpaku dan gemetar memandangi puluhan ekor kecebong yang ikut tergenang di kedua pandangannya.

Ingin sekali ia memanggil anak lelaki itu kembali, namun Meliana ragu dan juga tidak tahu tentang tujuan anak itu. Yang ia ingat, anak itu punya tahi lalat di pelipis sama seperti ibunya. Anak itu berseragam merah putih seperti muridnya yang lain.  Di lorong rumah sakit itu, Meliana merasa rindu pada sesuatu yang tidak ia tahu.
“Oh sayangku. Kau tidak ke sekolah hari ini?” perempuan tua yang duduk di atas kasur itu tersenyum dan merentangkan tangan saat Meliana masuk ke ruangan. Meliana menggeleng dan mengambil posisi di tepi jendela.
“Izin sebentar saja. Ibu sudah baikan? Dokter bilang Ibu sudah bisa pulang sekarang.”
“Pulang? Kau membawaku pulang?”

Meliana menggeleng lagi. “Pulang ke panti, Bu. Aku sibuk sekali. Selain mengajar aku juga mengurus yayasan. Jika Ibu ikut denganku Ibu akan bosan dan bertingkah aneh lagi seperti dulu.”
“Ibu ingin bersamamu.” Perempuan tua itu ikut memandang jauh keluar jendela.
“Mengertilah Bu. Jika aku tidak bekerja, kita tidak bisa makan enak, juga untuk biaya Ibu!”
Perempuan tua itu tak menjawab, hanya memandangi tas kecil di hadapannya. Beberapa menit kemudian ia mengikuti langkah Meliana turun menuju parkiran. Dengan sigap supir membuka pintu dan melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju.

Meliana hanya memandangi ibunya saat turun dari mobil, ia sempatkan pula menyalami ibu panti sebelum menitipkan kembali orang tuanya itu. Meliana tak melihat ketika perempuan tua itu benar-benar mengeluarkan air mata hingga membasahi ubin lantai. Meliana pergi dan tak menoleh lagi.
Sore harinya, saat langit mulai berwarna keemasan, Meliana singgah di supermarket terdekat, ia mencari roti dan selai untuk sarapan esok. Saat membawa keranjang itulah ia menabrak seseorang, seorang anak kecil yang tengah berjongkok di depan salah satu rak makanan. Anak itu hampir saja menjatuhkan kotak-kotak makanan. Anak itupun berbalik dan memandangi wajah Meliana.

“Kau!!” Meliana melihat anak yang sama, yang membawa gelas merah berisi anak katak. “Kau ini?! Apa yang kau lakukan disini?!” Meliana menahan lengan anak itu yang hendak berlari. “Kau masih memakai seragam sekolah! Mana orang tuamu??” Meliana sempat melongok ke dalam gelas merahnya.
“Ini punyaku, Kak. Aku tidak mencuri!”
“Aku tak menuduhmu. Tapi menanyakan kenapa kau di sini dengan kecebong-kecebong itu. Kau waras tidak?!”
“Aku ingin merawatnya. Lepaskan!”
“Bohong. Kau menumpahkannya dengan sengaja tadi pagi.”
“Karena kecebong itu ingin Kakak yang merawatnya.”

“Hah!! Apa?!” Meliana melepaskan tangan anak itu hingga kemudian ia berlari kencang keluar pintu. Meliana merasa mual tiba-tiba dan kecebong-kecebong itu berenang dalam perutnya.
Meliana muntah seketika ketika tiba di pintu rumah. Buru-buru ia menghirup aroma terapi dan mengambil posisi yang nyaman untuk mengurangi rasa mualnya. Pintu berderit dan seorang lelaki keluar dari dalam kamar.
“Aku dengar kau muntah. Kau sakit, Lian?”
“Tidak Bram. Kau tidak bekerja?”

“Ini sudah senja. Aku tidak bekerja sepertimu.”
“Ah, aku lelah. Kalau kau ingin makan, kau beli saja. Aku hanya membeli roti.”
“Ibu bagaimana?”

Meliana menatap sekilas laki-laki itu, lalu dengan santai ia berkata, “Kau menantunya, jika kau mau menemui dia, kau bisa menjenguknya di panti.” Meliana bangkit dan masuk ke dalam kamar dengan menghempaskan pintu.
***

Meliana menampung kecebong hitam dalam baskom besar. Ia menangguknya sore hari, dan meletakkannya di pintu belakang rumah. Bram memandanginya dengan pertanyaan, tapi meliana tak menjawab dan tampak baik-baik saja. Beberapa hari ini ia menyiapkan makanan Bram pagi-pagi sekali, lalu memberi makan kecebong-kecebong hitam itu, kemudian ia mandi dan melanjutkan rutinitasnya ke sekolah dan yayasan. Meliana kerap melamun dalam ruangannya dan memanggil-manggil anak lelaki yang ia kira anak pembawa kecebong itu.
Ia akan mengumpulkan lagi kecebong sore harinya, saat hujan turun dan air di parit melimpah, juga kolam Pak Dollah di seberang jalan. Meliana memesan baskom besar. Ia jadi sering izin dari pertemuan orang tua di yayasan dan berlama-lama berendam dalam kamar mandi.

Bram akhirnya tidak bisa menahan diri untuk segera membuang kecebong itu. Malamnya, ia mendobrak pintu kamar mandi dengan kuat, mendapati Meliana tengah mengapung bersama kecebong-kecebong itu. Bram kaget dan menarik paksa tubuh Meliana yang telanjang.

“Apa yang kau perbuat? Kau gila!!” Bram meraih handuk dan menutup tubuh Meliana.
Meliana diam, namun saat Bram menumpahkan keccebong dalam baskom besar itu Meliana tiba-tiba histeris. “Mereka anak-anakku, Bram!”
“Sadarlah, Lian! Kita belum punya anak!”

“Ibu…ibu… aku ingin menjadi ibu, Bram. Huhu. Aku benci ibuku!!”
Bram memeluk Meliana erat. Bram paham dan selalu memahami istrinya itu. Yang Bram takutkan penyakit ibu bisa pindah ke dalam diri Meliana. Mereka sama tapi Meliana tak mau mengalah dan menganggap ibunya penyebab segala kesedihannya. Bram terus memeluk Meliana hingga Meliana terlelap dan Bram membuang semua kecebong itu dalam selokan.

***
“Ibu sakit lagi? Kau saja yang menjenguknya.” Meliana menggerutu di depan cermin.
“Beliau ingin kau yang datang, Lian. Kau tahu kan perasaan ibumu itu bagaimana? Kau tidak berubah!”
“Tidak! Dia yang menyumpahiku agar tak punya anak sampai sekarang! Dia gila!! Kau tahu, Bram. Dia membuat semuanya kacau.”
“Astaghfirullah. Kau ini!! Itu tidak benar.”

“Sudahlah! Kau saja yang lihat ibu, aku sibuk. Ada acara di yayasan.”
“Lian…” Bram memandangi punggung istrinya.
Meliana sendiri tiba-tiba menangis di jok belakang. Ia ingat tentang belasan tahun silam, tentang ayahnya yang pergi begitu saja hingga membuat ia terlunta karena ibunya pun gila. Ia sempat luntang-lantung tak tentu arah. Meliana sadar, betapa ia tak pernah peduli pada ibunya. Yang ia yakini hanya darah ayahnya yang berpetualang itu mengalir dalam dirinya, membuat ia tak pernah lama memeluk sang ibu yang diketemukannya beberapa tahun kemudian.
Meliana tersentak. Supir berhenti mendadak.
“Maaf Nyonya. Ada anak kecil di depan sana!”

“Kau menabraknya?!” Meliana menatap keluar lalu turun ke badan jalan dan mendapati anak kecil itu sesenggukan. Meliana kaget saat wajah anak lelaki kecil itu memandangnya.
“Kau?! Kau lagi!! Kau ini siapa?” Meliana menguncang lengan anak itu. “Kau selalu menghantuiku! Kau ingin membuatku gila, hah!!”

Anak kecil itu menangis. Meliana lalu mengutip satu persatu kecebong hitam yang mulai berkaki. Kecebong itu ia taruh dalam gelas kecil di samping anak lelaki. Meliana gugup, telepon dari Bram terus berdering.
“Aku ingin ke rumah sakit, Kak. Ibuku sakit.”

“Ibu? Siapa ibumu? Ibumu pasti gila! Apa kau memata-mataiku?!”
“Tidak, ibuku tidak gila. Aku tinggal di panti! Aku punya rumah bersama ibu.”
Meliana buru-buru menarik tangan anak lelaki itu dan membawanya ke rumah sakit yang sama dengan rumah sakit ibunya. Meliana masuk ke salah satu ruangan yang di tunjuk anak itu. Ia gemetar saat Bram tampak berdiri di ruang itu juga. Anak lelaki itu memeluk ibunya segera sambil memberikan kecebong itu ke arahnya.
“Ibu,” desisnya sambil menangis mengetahui ada darah ibunya yang tetap mengalir ke dalam dirinya, juga anak lelaki itu. Darah dari seseorang yang ia anggap gila.***

Cikie Wahab,
bergiat di Sekolah Menulis Paragraf. Cerpen dan sajaknya dimuat di banyak media, menggemari desain. Tinggal di Pekanbaru.

Cerpen:  Cikie Wahab

Seorang anak laki-laki menghampiri Meliana tiba-tiba dan menumpahkan gelas berwarna merah dari tangannya. Ia menatap jauh ke dalam mata guru matematika itu dan berlari setelah semua air tampak menggenang
di lantai. Meliana terpaku dan gemetar memandangi puluhan ekor kecebong yang ikut tergenang di kedua pandangannya.

Ingin sekali ia memanggil anak lelaki itu kembali, namun Meliana ragu dan juga tidak tahu tentang tujuan anak itu. Yang ia ingat, anak itu punya tahi lalat di pelipis sama seperti ibunya. Anak itu berseragam merah putih seperti muridnya yang lain.  Di lorong rumah sakit itu, Meliana merasa rindu pada sesuatu yang tidak ia tahu.
“Oh sayangku. Kau tidak ke sekolah hari ini?” perempuan tua yang duduk di atas kasur itu tersenyum dan merentangkan tangan saat Meliana masuk ke ruangan. Meliana menggeleng dan mengambil posisi di tepi jendela.
“Izin sebentar saja. Ibu sudah baikan? Dokter bilang Ibu sudah bisa pulang sekarang.”
“Pulang? Kau membawaku pulang?”

Meliana menggeleng lagi. “Pulang ke panti, Bu. Aku sibuk sekali. Selain mengajar aku juga mengurus yayasan. Jika Ibu ikut denganku Ibu akan bosan dan bertingkah aneh lagi seperti dulu.”
“Ibu ingin bersamamu.” Perempuan tua itu ikut memandang jauh keluar jendela.
“Mengertilah Bu. Jika aku tidak bekerja, kita tidak bisa makan enak, juga untuk biaya Ibu!”
Perempuan tua itu tak menjawab, hanya memandangi tas kecil di hadapannya. Beberapa menit kemudian ia mengikuti langkah Meliana turun menuju parkiran. Dengan sigap supir membuka pintu dan melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju.

Meliana hanya memandangi ibunya saat turun dari mobil, ia sempatkan pula menyalami ibu panti sebelum menitipkan kembali orang tuanya itu. Meliana tak melihat ketika perempuan tua itu benar-benar mengeluarkan air mata hingga membasahi ubin lantai. Meliana pergi dan tak menoleh lagi.
Sore harinya, saat langit mulai berwarna keemasan, Meliana singgah di supermarket terdekat, ia mencari roti dan selai untuk sarapan esok. Saat membawa keranjang itulah ia menabrak seseorang, seorang anak kecil yang tengah berjongkok di depan salah satu rak makanan. Anak itu hampir saja menjatuhkan kotak-kotak makanan. Anak itupun berbalik dan memandangi wajah Meliana.

“Kau!!” Meliana melihat anak yang sama, yang membawa gelas merah berisi anak katak. “Kau ini?! Apa yang kau lakukan disini?!” Meliana menahan lengan anak itu yang hendak berlari. “Kau masih memakai seragam sekolah! Mana orang tuamu??” Meliana sempat melongok ke dalam gelas merahnya.
“Ini punyaku, Kak. Aku tidak mencuri!”
“Aku tak menuduhmu. Tapi menanyakan kenapa kau di sini dengan kecebong-kecebong itu. Kau waras tidak?!”
“Aku ingin merawatnya. Lepaskan!”
“Bohong. Kau menumpahkannya dengan sengaja tadi pagi.”
“Karena kecebong itu ingin Kakak yang merawatnya.”

“Hah!! Apa?!” Meliana melepaskan tangan anak itu hingga kemudian ia berlari kencang keluar pintu. Meliana merasa mual tiba-tiba dan kecebong-kecebong itu berenang dalam perutnya.
Meliana muntah seketika ketika tiba di pintu rumah. Buru-buru ia menghirup aroma terapi dan mengambil posisi yang nyaman untuk mengurangi rasa mualnya. Pintu berderit dan seorang lelaki keluar dari dalam kamar.
“Aku dengar kau muntah. Kau sakit, Lian?”
“Tidak Bram. Kau tidak bekerja?”

“Ini sudah senja. Aku tidak bekerja sepertimu.”
“Ah, aku lelah. Kalau kau ingin makan, kau beli saja. Aku hanya membeli roti.”
“Ibu bagaimana?”

Meliana menatap sekilas laki-laki itu, lalu dengan santai ia berkata, “Kau menantunya, jika kau mau menemui dia, kau bisa menjenguknya di panti.” Meliana bangkit dan masuk ke dalam kamar dengan menghempaskan pintu.
***

Meliana menampung kecebong hitam dalam baskom besar. Ia menangguknya sore hari, dan meletakkannya di pintu belakang rumah. Bram memandanginya dengan pertanyaan, tapi meliana tak menjawab dan tampak baik-baik saja. Beberapa hari ini ia menyiapkan makanan Bram pagi-pagi sekali, lalu memberi makan kecebong-kecebong hitam itu, kemudian ia mandi dan melanjutkan rutinitasnya ke sekolah dan yayasan. Meliana kerap melamun dalam ruangannya dan memanggil-manggil anak lelaki yang ia kira anak pembawa kecebong itu.
Ia akan mengumpulkan lagi kecebong sore harinya, saat hujan turun dan air di parit melimpah, juga kolam Pak Dollah di seberang jalan. Meliana memesan baskom besar. Ia jadi sering izin dari pertemuan orang tua di yayasan dan berlama-lama berendam dalam kamar mandi.

Bram akhirnya tidak bisa menahan diri untuk segera membuang kecebong itu. Malamnya, ia mendobrak pintu kamar mandi dengan kuat, mendapati Meliana tengah mengapung bersama kecebong-kecebong itu. Bram kaget dan menarik paksa tubuh Meliana yang telanjang.

“Apa yang kau perbuat? Kau gila!!” Bram meraih handuk dan menutup tubuh Meliana.
Meliana diam, namun saat Bram menumpahkan keccebong dalam baskom besar itu Meliana tiba-tiba histeris. “Mereka anak-anakku, Bram!”
“Sadarlah, Lian! Kita belum punya anak!”

“Ibu…ibu… aku ingin menjadi ibu, Bram. Huhu. Aku benci ibuku!!”
Bram memeluk Meliana erat. Bram paham dan selalu memahami istrinya itu. Yang Bram takutkan penyakit ibu bisa pindah ke dalam diri Meliana. Mereka sama tapi Meliana tak mau mengalah dan menganggap ibunya penyebab segala kesedihannya. Bram terus memeluk Meliana hingga Meliana terlelap dan Bram membuang semua kecebong itu dalam selokan.

***
“Ibu sakit lagi? Kau saja yang menjenguknya.” Meliana menggerutu di depan cermin.
“Beliau ingin kau yang datang, Lian. Kau tahu kan perasaan ibumu itu bagaimana? Kau tidak berubah!”
“Tidak! Dia yang menyumpahiku agar tak punya anak sampai sekarang! Dia gila!! Kau tahu, Bram. Dia membuat semuanya kacau.”
“Astaghfirullah. Kau ini!! Itu tidak benar.”

“Sudahlah! Kau saja yang lihat ibu, aku sibuk. Ada acara di yayasan.”
“Lian…” Bram memandangi punggung istrinya.
Meliana sendiri tiba-tiba menangis di jok belakang. Ia ingat tentang belasan tahun silam, tentang ayahnya yang pergi begitu saja hingga membuat ia terlunta karena ibunya pun gila. Ia sempat luntang-lantung tak tentu arah. Meliana sadar, betapa ia tak pernah peduli pada ibunya. Yang ia yakini hanya darah ayahnya yang berpetualang itu mengalir dalam dirinya, membuat ia tak pernah lama memeluk sang ibu yang diketemukannya beberapa tahun kemudian.
Meliana tersentak. Supir berhenti mendadak.
“Maaf Nyonya. Ada anak kecil di depan sana!”

“Kau menabraknya?!” Meliana menatap keluar lalu turun ke badan jalan dan mendapati anak kecil itu sesenggukan. Meliana kaget saat wajah anak lelaki kecil itu memandangnya.
“Kau?! Kau lagi!! Kau ini siapa?” Meliana menguncang lengan anak itu. “Kau selalu menghantuiku! Kau ingin membuatku gila, hah!!”

Anak kecil itu menangis. Meliana lalu mengutip satu persatu kecebong hitam yang mulai berkaki. Kecebong itu ia taruh dalam gelas kecil di samping anak lelaki. Meliana gugup, telepon dari Bram terus berdering.
“Aku ingin ke rumah sakit, Kak. Ibuku sakit.”

“Ibu? Siapa ibumu? Ibumu pasti gila! Apa kau memata-mataiku?!”
“Tidak, ibuku tidak gila. Aku tinggal di panti! Aku punya rumah bersama ibu.”
Meliana buru-buru menarik tangan anak lelaki itu dan membawanya ke rumah sakit yang sama dengan rumah sakit ibunya. Meliana masuk ke salah satu ruangan yang di tunjuk anak itu. Ia gemetar saat Bram tampak berdiri di ruang itu juga. Anak lelaki itu memeluk ibunya segera sambil memberikan kecebong itu ke arahnya.
“Ibu,” desisnya sambil menangis mengetahui ada darah ibunya yang tetap mengalir ke dalam dirinya, juga anak lelaki itu. Darah dari seseorang yang ia anggap gila.***

Cikie Wahab,
bergiat di Sekolah Menulis Paragraf. Cerpen dan sajaknya dimuat di banyak media, menggemari desain. Tinggal di Pekanbaru.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/