26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

SMS yang Terasa Salaman Langsung

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Pekerjaan terbanyak saya selama tiga hari lebaran tahun ini adalah: membalas SMS. Karena banyak tamu, balasan itu baru bisa saya lakukan di malam hari. Atau dini hari menjelang dan setelah subuh.

Tidak sopan sibuk membalas SMS di tengah-tengah silaturahmi. Apalagi SMS itu datangnya seperti air bah. Belum selesai membalas yang satu sudah datang puluhan yang baru.

“SMS Minal Aidin” itu sudah mulai bermunculan sehari sebelum lebaran. Pengirim pertama adalah Prof Dr Puruhito, ahli jantung Surabaya yang pernah jadi Rektor Unair tahun 80-an.

Setelah itu tidak henti-hentinya SMS mengalir deras hingga hari kedua Lebaran kemarin: dari para pemain Persebaya/Mitra, dari para wartawan/karyawan Jawa Pos Group, dari para karyawan BUMD Jatim, dari karyawan PLN, dari teman-teman BUMN, dari para Dahlanis, dari politisi, dari masyarakat Barongsai, paguyuban Tionghoa, dan banyak lagi. Sabang sampai Merauke.

Tentu saya bisa membedakan mana SMS yang ditulis khusus untuk saya dan mana “SMS kodian” atau “SMS konfeksi”: ditulis sekali untuk semua orang. Ada juga SMS yang isinya untuk semua orang tapi dimodifikasi sedikit di awalnya atau di akhirnya.

Tidak sedikit juga SMS yang isinya, kalimatnya, dan bahasanya sangat indah dan puitis. Tapi saya sulit membedakan mana yang asli bikinan sendiri dan mana yang copy paste dari orang lain.

Mula-mula saya puji isi SMS indah seperti itu. Tapi begitu SMS berikutnya isinya sama maka saya sulit menentukan yang mana yang seharusnya saya puji.

Mula-mula saya bermaksud untuk tidak membalas SMS yang dikirim secara kodian seperti itu. Saya agak ragu apakah pengirimannya benar-benar mengirimkan SMS itu dengan hati. Tapi akhirnya saya putuskan saya balas: dari keluarga, teman kecil, rekan kerja, termasuk dari teman-teman yang belakangan sering mendemo atau menyerang saya.

Sebagai orang yang tidak suka dengan “SMS paketan”, tentu saya tidak melakukan hal yang sama. Senjata pun makan tuan. Saya harus menjawab satu per satu, ribuan SMS itu dengan tangan saya sendiri. Benar-benar satu per satu. Seperti juga dengan twitter, saya tidak mau pakai admin untuk SMS lebaran ini.

Dengan satu per satu membalas sendiri SMS itu rasanya saya seperti bisa bersalaman sendiri dengan orang itu, sambil menatap matanya.

Tidak lelah? Tidak. Saya sudah sangat terbiasa dengan gadget ini. Menulis naskah artikel pun sudah biasa saya lakukan dengan alat ini. Tidak pernah lagi nulis artikel di laptop. Hanya saja saya tidak bisa membalas SMS itu seketika SMS itu tiba.

Begitu banjirnya SMS di hari pertama lebaran, sehingga hanya sebagian saja yang bisa saya balas hari itu juga. Sisanya saya cicil di malam kedua dan ketiga.

Alhamdulillah, hari ketiga kemarin, Pukul 14.00, ketika tamu sudah berkurang, saya bisa menuntaskan membalas semua SMS yang masuk. SMS terakhir datang dari Mendiknas Pak Nuh. “Saya sengaja mengirim SMS ini di hari ketiga lebaran untuk menunggu berkurangnya trafik SMS,” tulis Pak Nuh di akhir SMS lebarannya. Manajemen yang baik.

Mengingat semua balasan itu saya ketik sendiri maka tidak ada SMS dari saya yang panjang. Paling begini: Prof Endin, lahir batin juga ya. Hampura kuring. Itu untuk profesor yang tokoh Sunda itu. Atau balasan untuk Rektor UGM: “Prof Pratik, sugeng riyadi ya. Nyuwun gunging pangaksami”. Atau untuk tokoh pengusaha Tionghoa: “Xie xie Pak Prajogo. Bao zhong”. Atau untuk teman Kristen ini: “Thanks. Tuhan memberkati Pak Vincent selalu”. Dan sebangsanya.

Sangat pendek. Memang banyak yang nadanya sama, tapi semua saya ketik lagi sendiri. Untuk kalimat pendek seperti itu meng-copy toh lebih lama dari mengetik yang baru. Dan itu tadi, saya merasa seperti salaman sendiri dengan tiap orang.

Tentu ada juga yang tidak bisa saya balas. Jumlahnya lumayan. Yakni SMS yang tidak menyebut nama pengirimnya. Mungkin mereka mengira saya tahu siapa dia. Mungkin dulu namanya memang ada dalam daftar di BB saya namun karena nama itu hilang saat terjadi kerusakan BB, jadinya saya tidak tahu lagi siapa dia.

Yang juga sulit adalah SMS yang hanya menyebut nama pengirimnya Didik, Dadik, Bambang, Ahmad, Supri, dan sebagainya. Saya sulit mengira-ngira Didik yang mana ya? Atau Bambang yang mana ya? Apalagi kalau isinya “SMS konfeksi”. Saya tidak bisa menangkap getaran bahasa dari Didik yang mana atau Bambang yang mana.

Untuk SMS yang tidak terjawab seperti itu saya mengucapkan “minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin”. (*)

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Pekerjaan terbanyak saya selama tiga hari lebaran tahun ini adalah: membalas SMS. Karena banyak tamu, balasan itu baru bisa saya lakukan di malam hari. Atau dini hari menjelang dan setelah subuh.

Tidak sopan sibuk membalas SMS di tengah-tengah silaturahmi. Apalagi SMS itu datangnya seperti air bah. Belum selesai membalas yang satu sudah datang puluhan yang baru.

“SMS Minal Aidin” itu sudah mulai bermunculan sehari sebelum lebaran. Pengirim pertama adalah Prof Dr Puruhito, ahli jantung Surabaya yang pernah jadi Rektor Unair tahun 80-an.

Setelah itu tidak henti-hentinya SMS mengalir deras hingga hari kedua Lebaran kemarin: dari para pemain Persebaya/Mitra, dari para wartawan/karyawan Jawa Pos Group, dari para karyawan BUMD Jatim, dari karyawan PLN, dari teman-teman BUMN, dari para Dahlanis, dari politisi, dari masyarakat Barongsai, paguyuban Tionghoa, dan banyak lagi. Sabang sampai Merauke.

Tentu saya bisa membedakan mana SMS yang ditulis khusus untuk saya dan mana “SMS kodian” atau “SMS konfeksi”: ditulis sekali untuk semua orang. Ada juga SMS yang isinya untuk semua orang tapi dimodifikasi sedikit di awalnya atau di akhirnya.

Tidak sedikit juga SMS yang isinya, kalimatnya, dan bahasanya sangat indah dan puitis. Tapi saya sulit membedakan mana yang asli bikinan sendiri dan mana yang copy paste dari orang lain.

Mula-mula saya puji isi SMS indah seperti itu. Tapi begitu SMS berikutnya isinya sama maka saya sulit menentukan yang mana yang seharusnya saya puji.

Mula-mula saya bermaksud untuk tidak membalas SMS yang dikirim secara kodian seperti itu. Saya agak ragu apakah pengirimannya benar-benar mengirimkan SMS itu dengan hati. Tapi akhirnya saya putuskan saya balas: dari keluarga, teman kecil, rekan kerja, termasuk dari teman-teman yang belakangan sering mendemo atau menyerang saya.

Sebagai orang yang tidak suka dengan “SMS paketan”, tentu saya tidak melakukan hal yang sama. Senjata pun makan tuan. Saya harus menjawab satu per satu, ribuan SMS itu dengan tangan saya sendiri. Benar-benar satu per satu. Seperti juga dengan twitter, saya tidak mau pakai admin untuk SMS lebaran ini.

Dengan satu per satu membalas sendiri SMS itu rasanya saya seperti bisa bersalaman sendiri dengan orang itu, sambil menatap matanya.

Tidak lelah? Tidak. Saya sudah sangat terbiasa dengan gadget ini. Menulis naskah artikel pun sudah biasa saya lakukan dengan alat ini. Tidak pernah lagi nulis artikel di laptop. Hanya saja saya tidak bisa membalas SMS itu seketika SMS itu tiba.

Begitu banjirnya SMS di hari pertama lebaran, sehingga hanya sebagian saja yang bisa saya balas hari itu juga. Sisanya saya cicil di malam kedua dan ketiga.

Alhamdulillah, hari ketiga kemarin, Pukul 14.00, ketika tamu sudah berkurang, saya bisa menuntaskan membalas semua SMS yang masuk. SMS terakhir datang dari Mendiknas Pak Nuh. “Saya sengaja mengirim SMS ini di hari ketiga lebaran untuk menunggu berkurangnya trafik SMS,” tulis Pak Nuh di akhir SMS lebarannya. Manajemen yang baik.

Mengingat semua balasan itu saya ketik sendiri maka tidak ada SMS dari saya yang panjang. Paling begini: Prof Endin, lahir batin juga ya. Hampura kuring. Itu untuk profesor yang tokoh Sunda itu. Atau balasan untuk Rektor UGM: “Prof Pratik, sugeng riyadi ya. Nyuwun gunging pangaksami”. Atau untuk tokoh pengusaha Tionghoa: “Xie xie Pak Prajogo. Bao zhong”. Atau untuk teman Kristen ini: “Thanks. Tuhan memberkati Pak Vincent selalu”. Dan sebangsanya.

Sangat pendek. Memang banyak yang nadanya sama, tapi semua saya ketik lagi sendiri. Untuk kalimat pendek seperti itu meng-copy toh lebih lama dari mengetik yang baru. Dan itu tadi, saya merasa seperti salaman sendiri dengan tiap orang.

Tentu ada juga yang tidak bisa saya balas. Jumlahnya lumayan. Yakni SMS yang tidak menyebut nama pengirimnya. Mungkin mereka mengira saya tahu siapa dia. Mungkin dulu namanya memang ada dalam daftar di BB saya namun karena nama itu hilang saat terjadi kerusakan BB, jadinya saya tidak tahu lagi siapa dia.

Yang juga sulit adalah SMS yang hanya menyebut nama pengirimnya Didik, Dadik, Bambang, Ahmad, Supri, dan sebagainya. Saya sulit mengira-ngira Didik yang mana ya? Atau Bambang yang mana ya? Apalagi kalau isinya “SMS konfeksi”. Saya tidak bisa menangkap getaran bahasa dari Didik yang mana atau Bambang yang mana.

Untuk SMS yang tidak terjawab seperti itu saya mengucapkan “minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin”. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/