30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

RUU Pilkada Tergantung SBY

Agus Wahyudi / Jawa Pos/jpnn KEGIATAN: Presiden SBY diminta mengambil sikap terkait RUU Pilkada.
Agus Wahyudi / Jawa Pos/jpnn
KEGIATAN: Presiden SBY diminta mengambil sikap terkait RUU Pilkada.

JAKARTA- Polemik pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah, dinilai menjadi pertaruhan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Presiden RI yang terlibat dalam pilkada langsung sejak awal masa jabatannya, SBY diimbau tidak terburu-buru mengambil keputusan untuk mengubah mekanisme pemilihan dari pilihan langsung ke pilihan oleh DPRD.

Direktur EksekutifConstitutional & Electoral Reform Centre (Correct) Refly Harun menilai, pemerintah saat ini memiliki posisi krusial sebagai penentu hasil akhir RUU Pilkada. Jika melihat peta opsi pilkada langsung dengan DPRD di DPR, masih akan terjadi tarik menarik kepentingan yang berujung pada alotnya pembahasan.

“Saya menyarankan pemerintah SBY, kalau koalisi besar tidak bisa dibendung lagi, maka pemerintahan SBY bisa menggunakan kewenangan 50 persen konstitusi,” ujar Refly dalam diskusi di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (10/9).

Artinya, jika kewenangan itu digunakan dengan menarik diri dari proses pembahasan, maka RUU Pilkada tidak bisa maju dalam persidangan paripurna DPR. Keputusan itu tentu hanya bisa dilakukan berdasarkan keputusan SBY selaku kepala pemerintahan.

“Kalau Pak SBY mau meninggalkan legacy, pemerintah bisa menarik diri dari pembahasan. Jangan sampai kemudian, di awal pemerintahan mengusung pilkada langsung. Namun, di akhir pemerintahan malah meninggalkan Pilkada DPRD,” ujarnya.

Refli menilai, munculnya kembali pemilihan DPRD terjadi pasca sudah ada kesepakatan DPR dan Pemerintah untuk melaksanakan langsung. Munculnya opsi yang digalang Koalisi Merah Putih itu nampaknya upaya untuk memastikan ada timbal balik agar bisa berjalan efektif selama lima tahun. “Ketika tidak ada intensif politik, buat apa merekatkan koalisi,” ujar Refli memberi gambaran.

Karena itu, kata Refli, jika pemilihan DPRD lolos dalam pembahasan RUU Pilkada, intensif politik tersebut bisa dengan mudah terealisasikan. Setiap partai koalisi bisa menentukan bisa berbagi untuk mendapatkan posisi kepala daerah di wilayah mana. “Penentuan kekuasaan (Pilkada DPRD) tidak hanya segelintir elit di DPRD, tapi juga segelintir elit partai di tingkat pusat,” ujarnya.

Pihak DPD RI juga memilih sikap untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah langsung dalam pembahasan RUU Pilkada. Wakil Ketua DPD RI Laode Ida menyebut, DPD RI sudah melakukan kajian lama, untuk tetap mengambil opsi pemilihan langsung. “Kalau memang proses demokrasi yang sudah berlangsung 10 tahun (pilkada langsung, red) menimbulkan riak-riak, itu bagian yang harus ditata,” ujar Laode.

Laode menyatakan, citra parpol saat ini sudah buruk di masyarakat. Jangan sampai posisi itu semakin terpuruk dengan adanya praktek transaksi calon kepala daerah melalui pemilihan DPRD. Dia menegaskan, DPD akan melakukan perlawanan jika nantinya DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU Pilkada dengan mekanisme pemilihan DPRD.

“Silahkan saja kalau mau ditetapkan Pilkada DPRD. Saya dan teman-teman akan maju ke Mahkamah Konstitusi,” ujar senator asal Sulawesi Tenggara itu.

Anggota Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya Martin Hutabarat menyatakan, opsi untuk memilih pilkada DPRD tidak hanya didasarkan pertimbangan yang muncul selama ini. Selain faktor pemborosan anggaran, politik uang, ada hal yang lebih penting agar pilkada cukup ditentukan lewat DPRD.

“Aspek pentingnya adalah kita melakukan pemberantasan korupsi,” ujar Martin.

Menurut Martin, sistem pemilihan DPRD sama konstitusionalnya dengan pemilihan langsung. Namun, sistem yang berlaku saat ini banyak disalahgunakan. Demi mendapatkan posisi sebagai calon kepala daerah saja, seseorang harus mengeluarkan dana yang besar. “Untuk mendapat perahu, dia sudah harus bayar. Belum untuk pilkada, mereka harus mengeluarkan miliaran untuk mendapatkan suara,” ujarnya.

Martin menyatakan, pilkada melalui DPRD merupakan upaya untuk perbaikan. Sistem pilkada langsung saat ini belum menunjukkan hal itu. Dari jumlah 500-an kepala daerah produk pilkada langsung, mereka yang dinilai berprestasi? bisa dihitung dengan jari.

“Selama sembilan tahun ini, tidak sampai dua persen yang dipuji-puji. Justru ada 332 yang ditangkap karena tersangkut korupsi, karena pemilu membutuhkan biaya besar,” ujarnya. (bay/jpnn)

Agus Wahyudi / Jawa Pos/jpnn KEGIATAN: Presiden SBY diminta mengambil sikap terkait RUU Pilkada.
Agus Wahyudi / Jawa Pos/jpnn
KEGIATAN: Presiden SBY diminta mengambil sikap terkait RUU Pilkada.

JAKARTA- Polemik pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah, dinilai menjadi pertaruhan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Presiden RI yang terlibat dalam pilkada langsung sejak awal masa jabatannya, SBY diimbau tidak terburu-buru mengambil keputusan untuk mengubah mekanisme pemilihan dari pilihan langsung ke pilihan oleh DPRD.

Direktur EksekutifConstitutional & Electoral Reform Centre (Correct) Refly Harun menilai, pemerintah saat ini memiliki posisi krusial sebagai penentu hasil akhir RUU Pilkada. Jika melihat peta opsi pilkada langsung dengan DPRD di DPR, masih akan terjadi tarik menarik kepentingan yang berujung pada alotnya pembahasan.

“Saya menyarankan pemerintah SBY, kalau koalisi besar tidak bisa dibendung lagi, maka pemerintahan SBY bisa menggunakan kewenangan 50 persen konstitusi,” ujar Refly dalam diskusi di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (10/9).

Artinya, jika kewenangan itu digunakan dengan menarik diri dari proses pembahasan, maka RUU Pilkada tidak bisa maju dalam persidangan paripurna DPR. Keputusan itu tentu hanya bisa dilakukan berdasarkan keputusan SBY selaku kepala pemerintahan.

“Kalau Pak SBY mau meninggalkan legacy, pemerintah bisa menarik diri dari pembahasan. Jangan sampai kemudian, di awal pemerintahan mengusung pilkada langsung. Namun, di akhir pemerintahan malah meninggalkan Pilkada DPRD,” ujarnya.

Refli menilai, munculnya kembali pemilihan DPRD terjadi pasca sudah ada kesepakatan DPR dan Pemerintah untuk melaksanakan langsung. Munculnya opsi yang digalang Koalisi Merah Putih itu nampaknya upaya untuk memastikan ada timbal balik agar bisa berjalan efektif selama lima tahun. “Ketika tidak ada intensif politik, buat apa merekatkan koalisi,” ujar Refli memberi gambaran.

Karena itu, kata Refli, jika pemilihan DPRD lolos dalam pembahasan RUU Pilkada, intensif politik tersebut bisa dengan mudah terealisasikan. Setiap partai koalisi bisa menentukan bisa berbagi untuk mendapatkan posisi kepala daerah di wilayah mana. “Penentuan kekuasaan (Pilkada DPRD) tidak hanya segelintir elit di DPRD, tapi juga segelintir elit partai di tingkat pusat,” ujarnya.

Pihak DPD RI juga memilih sikap untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah langsung dalam pembahasan RUU Pilkada. Wakil Ketua DPD RI Laode Ida menyebut, DPD RI sudah melakukan kajian lama, untuk tetap mengambil opsi pemilihan langsung. “Kalau memang proses demokrasi yang sudah berlangsung 10 tahun (pilkada langsung, red) menimbulkan riak-riak, itu bagian yang harus ditata,” ujar Laode.

Laode menyatakan, citra parpol saat ini sudah buruk di masyarakat. Jangan sampai posisi itu semakin terpuruk dengan adanya praktek transaksi calon kepala daerah melalui pemilihan DPRD. Dia menegaskan, DPD akan melakukan perlawanan jika nantinya DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU Pilkada dengan mekanisme pemilihan DPRD.

“Silahkan saja kalau mau ditetapkan Pilkada DPRD. Saya dan teman-teman akan maju ke Mahkamah Konstitusi,” ujar senator asal Sulawesi Tenggara itu.

Anggota Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya Martin Hutabarat menyatakan, opsi untuk memilih pilkada DPRD tidak hanya didasarkan pertimbangan yang muncul selama ini. Selain faktor pemborosan anggaran, politik uang, ada hal yang lebih penting agar pilkada cukup ditentukan lewat DPRD.

“Aspek pentingnya adalah kita melakukan pemberantasan korupsi,” ujar Martin.

Menurut Martin, sistem pemilihan DPRD sama konstitusionalnya dengan pemilihan langsung. Namun, sistem yang berlaku saat ini banyak disalahgunakan. Demi mendapatkan posisi sebagai calon kepala daerah saja, seseorang harus mengeluarkan dana yang besar. “Untuk mendapat perahu, dia sudah harus bayar. Belum untuk pilkada, mereka harus mengeluarkan miliaran untuk mendapatkan suara,” ujarnya.

Martin menyatakan, pilkada melalui DPRD merupakan upaya untuk perbaikan. Sistem pilkada langsung saat ini belum menunjukkan hal itu. Dari jumlah 500-an kepala daerah produk pilkada langsung, mereka yang dinilai berprestasi? bisa dihitung dengan jari.

“Selama sembilan tahun ini, tidak sampai dua persen yang dipuji-puji. Justru ada 332 yang ditangkap karena tersangkut korupsi, karena pemilu membutuhkan biaya besar,” ujarnya. (bay/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/