MANILA, SUMUTPOS.CO – Laporan yang dikeluarkan Lembaga Hak Asasi manusia (HAM) Internasional semakin menguatkan bahwa kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja asing di Uni Emirat Arab (UEA) tidak pernah terselesaikan. Laporan berjudul I Already Bought You: Abuse and Exploitation of Female Migrant Domestic Workers in the United Arab Emirates” (Saya Telah Membelimu: Penyiksaan dan Eksploitasi Pekerja Domestik Perempuan Migran di UEA, Red) itu dirilis kemarin (23/10).
Dalam laporan setebal 79 halaman tersebut dijelaskan bahwa pekerja perempuan di UEA yang melakukan pekerjaan domestik seperti pembantu rumah tangga (PRT) dan babysitter mengalami berbagai situasi yang tidak mengenakkan. Baik itu dari majikan mereka maupun lembaga yang merekrut. Misalnya, disiksa secara fisik dan seksual, dikurangi gajinya, dihina, tidak diberi waktu libur, hingga dipekerjakan sampai 21 jam.
‘Tanpa adanya perlindungan hukum kepada para pekerja domestik, majikan bisa dan mungkin membayarkan gaji di bawah kesepakatan, mempekerjakan melampaui batas, serta menyiksa perempuan-perempuan ini,’ ujar peneliti HAM untuk wilayah Timur Tengah Rothna Begum. ‘Banyak yang bilang bahwa mereka diperlakukan layaknya binatang,’ tambahnya.
Begum menjelaskan bahwa pemerintah UEA membuat sistem yang memudahkan para pekerja migran perempuan masuk. Mereka mengeluarkan visa yang disebut kafala. Dalam sistem itu, masa berlaku visa bagi pekerja bergantung pada majikannya. Artinya, jika para pekerja tersebut tidak patuh kepada majikannya, mereka bisa langsung dideportasi.
Para pekerja migran perempuan yang mengalami penyiksaan tersebut rata-rata berasal dari negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. Dalam laporan itu disebutkan bahwa saat ini ada 146.000 lebih pekerja rumah tangga perempuan dari Bangladesh, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Sri Lanka, dan Filipina yang bekerja di UEA.
Sayangnya, kedutaan besar maupun kantor konsulat negara-negara tersebut rata-rata tidak memiliki selter maupun staf yang memadai untuk mengurus para pekerja yang mengalami kekerasan itu. (AFP/Rappler/The Wall Street Journal/sha/c6/ami)