BEIJING, SUMUTPOS.CO – Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Jack Ma, pendiri Alibaba yang baru saja dinobatkan sebagai orang terkaya di Tiongkok, kini membuktikan pepatah kuno tersebut. Pada saat bergelimang harta, ayah dua anak itu justru merasa tidak bahagia. Sebab, setelah dia memiliki banyak uang, orang-orang di dekatnya mulai berubah satu per satu. ‘Saya sangat tidak bahagia. Terlalu banyak tekanan,’ ujar pria yang bernama asli Ma Yun tersebut.
Kekayaan Jack Ma memang luar biasa. Total kekayaan pribadinya mencapai USD 24 miliar (Rp 292,4 triliun). Alibaba kini telah menyalip Walmart dengan menjadi retailer terbesar di dunia. Nilai Alibaba di pasar saham New York sudah mencapai USD 170 miliar (Rp 2.071,7 triliun) pada September lalu. Harga saham per lembarnya juga terus melambung setiap hari.
Jack Ma menyatakan, menjadi kaya memang bagus, tapi tidak demikian halnya dengan menjadi orang terkaya. ‘Ketika kamu menjadi salah satu orang terkaya di dunia, ini bisa menjadi kesedihan luar biasa. Semua orang mengelilingimu karena uang. Saat ini, ketika saya berjalan di jalanan, orang melihat saya dengan pandangan yang tidak biasa. Saya ingin menjadi diri saya sendiri,’ ungkap dia.
Setiap hari kekayaan Jack Ma memang terus naik. Perusahaan ritelnya pada Selasa (11/11) mampu menjual produk senilai USD 9 miliar (Rp 109,6 triliun).
Di Tiongkok, 11 November biasa diperingati sebagai Single Day atau Hari Jomblo. Semacam Hari Valentine versi Tiongkok. Orang-orang yang masih sendiri berlomba-lomba menghabiskan uang pada hari tersebut. Mereka membeli hadiah untuk diberikan kepada orang yang mereka cintai dengan harapan esoknya bisa melepas status jomblo. Orang-orang yang sudah punya pasangan pun berbelanja hadiah bagi orang yang mereka kasihi. Penjualan Alibaba saat Single Day itu melebihi penjualan eBay dan Amazon yang digabung menjadi satu.
Lagi-lagi, hasil penjualan yang gemilang tersebut tidak mampu membuat Ma bahagia. Sebab, dia tidak bisa berbelanja secara langsung. Ma tidak pernah belanja online. Dia takut jika nanti terlalu familier dengan barang online, dirinya tidak bisa meningkatkan kualitas produk yang dijual di Alibaba.
‘Saya tidak punya waktu untuk berbelanja. Hari ini adalah Single Day dan keluarga saya tentu saja pergi belanja. Tapi, saya tak punya waktu,’ tutur mantan guru tersebut. Pada saat orang sibuk berbelanja, Ma malah sibuk mengamati layar besar di pusat Alibaba di Hangzhou yang menunjukkan hasil akhir penjualan pada hari itu.
Bagi Ma, lebih sulit menghabiskan uang jika dibandingkan dengan memperolehnya. Sebab, dia tidak ingin menghabiskan uangnya dengan membeli belasan rumah. Tapi, dirinya ingin menginvestasikan uang tersebut agar bisnisnya bisa berkembang. Dengan begitu, orang-orang yang membeli saham Alibaba bisa diuntungkan. Ma berencana bekerja sama dengan Apple.
‘Ketika kamu memiliki uang sebanyak itu, itu adalah kepercayaan yang diberikan orang kepadamu. Bagaimana kamu menghabiskan uang tersebut secara lebih efektif kalau dibandingkan dengan pemerintah, itu adalah tantangan yang besar,’ tegasnya.
Pemikiran itulah yang kerap membikin Ma tertekan. Menurut dia, orang-orang berharap terlalu banyak kepada dirinya. Dia juga mempunyai banyak kekhawatiran. Ma ingin menjadi orang yang dermawan untuk mengobati ‘rasa sakit luar biasa” karena kekayaannya. Namun, kebiasaan orang untuk membanding-bandingkan siapa yang lebih dermawan di antara para orang kaya juga membuat Ma menjadi lebih stres. (The Telegraph/Quartz/CNBC/sha/c14/ ami)