26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Peluang Indonesia Buka Restoran Padang dan Jual Obat-obatan

Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos KURANG TERGARAP: Produk mi instan dari Indonesia banyak dijual di supermarket-supermarket di Vietnam. Komoditas makanan halal menjanjikan di negara itu.
Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos
KURANG TERGARAP: Produk mi instan dari Indonesia banyak dijual di supermarket-supermarket di Vietnam. Komoditas makanan halal menjanjikan di negara itu.

AGUS WIRAWAN, Ho Chi Minh

DEVA Rachman, 38, seorang eksekutif muda perusahaan IT (information technology) di Indonesia yang sedang berkunjung ke Vietnam, tampak kesal karena tidak menemukan musala di Bandara Tan Son Nhat, Ho Chi Minh. Dia terus berkeliling mencari tempat yang bisa dipakai untuk bersembahyang Subuh. Tapi, hasilnya nihil.

Dengan terpaksa, dia kemudian membuat “musala” darurat. Dia menggelar koran di pojok ruang tunggu gate 9, lalu mendirikan salat. Maka, tak heran bila Deva dengan mukena putihnya menjadi pusat perhatian pengunjung bandara yang melintas di sekitar gate 9. Tapi, perempuan berjilbab itu seolah tidak memedulikan orang-orang yang mungkin “asing” dengan cara bersembahyang Deva.

“Saya maklumi saja kalau mereka heran melihat saya salat tadi. Sebab, orang-orang di sini kan memang tidak memiliki agama. Yang punya agama katanya hanya sekitar 20 persen. Lainnya semacam aliran kepercayaan,” ujar perempuan ayu itu.

Berdasar data demografi Vietnam teranyar, saat ini umat Islam di negara yang terkenal karena kegigihannya melawan Amerika Serikat saat perang kemerdekaan itu hanya 63.000 orang. Jumlah itu hanya 0,8 persen dari total penduduk yang berjumlah 92 juta jiwa. Dengan jumlah umat Islam yang tidak begitu banyak, tidak heran bila jarang ada tempat ibadah dan makanan halal yang sesuai dengan syariat Islam di Vietnam.

Di Hanoi, misalnya, saat ini hanya terdapat satu masjid. Itu pun tidak begitu besar. Yang memanfaatkan kebanyakan justru orang asing yang bekerja di kota itu. Di antaranya, warga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Indonesia yang berekspansi di Vietnam. Juga, para pegawai Kedutaan Besar RI di Hanoi.

Jumat itu Masjid Al Noor tersebut dikunjungi sekitar 150 umat Islam untuk menjalankan ibadah salat Jumat. Berdasar pengamatan Jawa Pos yang selama sepekan mengunjungi Vietnam, lebih dari separo jamaah salat Jumat tersebut orang Melayu. Selain Indonesia, ada warga Malaysia dan Singapura.

Dengan kenyataan seperti itu, memang umat muslim agak kesulitan untuk menjalankan ibadah di masjid atau musala. Begitu pula untuk mencari makanan halal. Sulit menemukan rumah makan berlabel “halal food”.

Menurut Corporate Affair Director PT Intel Indonesia Corporation itu, dirinya tidak berani makan sembarangan di Vietnam. Sebab, masyarakat setempat gemar sekali menggunakan minyak babi saat memasak.

“Dari 34 jenis makanan yang disediakan EO (event organizer) di sini, ternyata hanya empat yang masuk kategori halal. Yakni, telur, ikan, sayur-sayuran,” kata Deva.

Deva yang datang ke Hanoi untuk rapat kerja itu mengaku benar-benar dibuat pusing soal makanan. Dari restoran yang satu ke restoran yang lain, ketemu menu yang tingkat kehalalannya diragukan. Dia baru bisa sedikit lega ketika menemukan restoran India yang masakannya relatif halal daripada makanan Vietnam.

“Seharusnya ini peluang bagi pengusaha Indonesia untuk lebih banyak ekspor makanan halal ke Vietnam. Kalau perlu bikin restoran halal food saja sekalian. Misalnya, masakan Padang,” sarannya.

Kondisi yang dihadapi Dava juga dialami warga muslim Indonesia yang tinggal di Vietnam. Misalnya, karyawan PT Thang Long Cement Company (TLCC), anak usaha PT Semen Indonesia di Vietnam. Setiap jam makan siang, para direksi dan karyawan TLCC memilih membeli lauk dan nasi untuk makan bersama di kantor.

“Makanan itu kami pesan khusus dari katering tepercaya. Soalnya, kami nggak berani makan di luar,” ujar Direktur Keuangan TLCC Budi Siswoyo kepada Jawa Pos yang menemui di tempat kerjanya.

Lauk makan siang direksi TLCC saat itu, antara lain, sambal udang, ikan bakar, sayur kangkung, dan sambal terasi. Pokoknya makanan khas Indonesia. Setiap hari menu tersebut diupayakan berbeda agar tidak membosankan.

“Kalau nuruti gaya makan siang di luar bisa saja di restoran, tapi siapa yang bisa menjamin halal atau nggak-nya,” ungkap pria asal Pati, Jawa Tengah, itu.

Menurut Duta Besar RI untuk Vietnam Mayerfas, bukan hanya produk industri makanan halal yang berpotensi digarap di pasar Vietnam. Beberapa komoditas lain seperti industri petrokimia juga membutuhkan investasi asing.

“Industri bahan kimia di Vietnam masih tergolong baru berkembang. Karena itu, pemerintah Vietnam saat ini sedang gencar-gencarnya menarik minat investor asing,” tuturnya.

Potensi tersebut seharusnya bisa cepat digarap kalangan usaha Indonesia yang selama ini sudah memiliki perusahaan-perusahaan petrokimia besar di kawasan ASEAN.

“Ini tidak main-main karena Vietnam punya target hingga 2020 nanti bisa memiliki sembilan kawasan industri khusus di bidang petrokimia. Tentunya dibutuhkan modal yang sangat besar,” kata Mayerfas.

Komoditas lain yang bisa dimasuki Indonesia adalah pupuk. Menurut Mayerfas, Kementerian Pertanian dan Pedesaan Vietnam setiap tahun membutuhkan 8 juta ton berbagai jenis pupuk untuk mendukung sektor pertaniannya. Meski sudah mampu memproduksi sendiri, Vietnam tetap saja kekurangan.

“Tahun lalu mereka impor pupuk USD 1,43 miliar,” terangnya

Vietnam juga memerlukan investor asing dalam hal pertambangan batu bara. Sebab, saat ini mereka sedang membangun sembilan pembangkit listrik yang akan beroperasi pada 2015. Semua membutuhkan bahan bakar batu bara.

“Tahun 2015 Vietnam diperkirakan butuh 15 juta ton batu bara dan meningkat menjadi 40 juta ton pada 2025,” tambah dia.

Di lain pihak, Vietnam bisa menjadi pasar yang potensial bagi produsen obatan-obatan. Laporan Kementerian Kesehatan Vietnam, setiap orang menghabiskan biaya USD 19,8 untuk obat sepanjang 2010. Angka itu diperkirakan menjadi USD 33,8 per orang pada 2014 ini. “Tingkat pertumbuhan kebutuhan obat 17″19 persen per tahun,” sebutnya.

Vietnam juga membutuhkan pasokan kayu untuk bahan baku sektor kerajinan. Pasalnya, hutan alami Vietnam lebih besar daripada hutan industri yang bisa dipotong.

“Persediaan bahan kayu untuk produk kerajinan semakin sulit karena pasokan dari negara tetangga seperti Laos dan Kamboja semakin menipis, sedangkan kayu Malaysia cenderung mahal,” jelasnya. (*/c5/c10/ari)

Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos KURANG TERGARAP: Produk mi instan dari Indonesia banyak dijual di supermarket-supermarket di Vietnam. Komoditas makanan halal menjanjikan di negara itu.
Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos
KURANG TERGARAP: Produk mi instan dari Indonesia banyak dijual di supermarket-supermarket di Vietnam. Komoditas makanan halal menjanjikan di negara itu.

AGUS WIRAWAN, Ho Chi Minh

DEVA Rachman, 38, seorang eksekutif muda perusahaan IT (information technology) di Indonesia yang sedang berkunjung ke Vietnam, tampak kesal karena tidak menemukan musala di Bandara Tan Son Nhat, Ho Chi Minh. Dia terus berkeliling mencari tempat yang bisa dipakai untuk bersembahyang Subuh. Tapi, hasilnya nihil.

Dengan terpaksa, dia kemudian membuat “musala” darurat. Dia menggelar koran di pojok ruang tunggu gate 9, lalu mendirikan salat. Maka, tak heran bila Deva dengan mukena putihnya menjadi pusat perhatian pengunjung bandara yang melintas di sekitar gate 9. Tapi, perempuan berjilbab itu seolah tidak memedulikan orang-orang yang mungkin “asing” dengan cara bersembahyang Deva.

“Saya maklumi saja kalau mereka heran melihat saya salat tadi. Sebab, orang-orang di sini kan memang tidak memiliki agama. Yang punya agama katanya hanya sekitar 20 persen. Lainnya semacam aliran kepercayaan,” ujar perempuan ayu itu.

Berdasar data demografi Vietnam teranyar, saat ini umat Islam di negara yang terkenal karena kegigihannya melawan Amerika Serikat saat perang kemerdekaan itu hanya 63.000 orang. Jumlah itu hanya 0,8 persen dari total penduduk yang berjumlah 92 juta jiwa. Dengan jumlah umat Islam yang tidak begitu banyak, tidak heran bila jarang ada tempat ibadah dan makanan halal yang sesuai dengan syariat Islam di Vietnam.

Di Hanoi, misalnya, saat ini hanya terdapat satu masjid. Itu pun tidak begitu besar. Yang memanfaatkan kebanyakan justru orang asing yang bekerja di kota itu. Di antaranya, warga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Indonesia yang berekspansi di Vietnam. Juga, para pegawai Kedutaan Besar RI di Hanoi.

Jumat itu Masjid Al Noor tersebut dikunjungi sekitar 150 umat Islam untuk menjalankan ibadah salat Jumat. Berdasar pengamatan Jawa Pos yang selama sepekan mengunjungi Vietnam, lebih dari separo jamaah salat Jumat tersebut orang Melayu. Selain Indonesia, ada warga Malaysia dan Singapura.

Dengan kenyataan seperti itu, memang umat muslim agak kesulitan untuk menjalankan ibadah di masjid atau musala. Begitu pula untuk mencari makanan halal. Sulit menemukan rumah makan berlabel “halal food”.

Menurut Corporate Affair Director PT Intel Indonesia Corporation itu, dirinya tidak berani makan sembarangan di Vietnam. Sebab, masyarakat setempat gemar sekali menggunakan minyak babi saat memasak.

“Dari 34 jenis makanan yang disediakan EO (event organizer) di sini, ternyata hanya empat yang masuk kategori halal. Yakni, telur, ikan, sayur-sayuran,” kata Deva.

Deva yang datang ke Hanoi untuk rapat kerja itu mengaku benar-benar dibuat pusing soal makanan. Dari restoran yang satu ke restoran yang lain, ketemu menu yang tingkat kehalalannya diragukan. Dia baru bisa sedikit lega ketika menemukan restoran India yang masakannya relatif halal daripada makanan Vietnam.

“Seharusnya ini peluang bagi pengusaha Indonesia untuk lebih banyak ekspor makanan halal ke Vietnam. Kalau perlu bikin restoran halal food saja sekalian. Misalnya, masakan Padang,” sarannya.

Kondisi yang dihadapi Dava juga dialami warga muslim Indonesia yang tinggal di Vietnam. Misalnya, karyawan PT Thang Long Cement Company (TLCC), anak usaha PT Semen Indonesia di Vietnam. Setiap jam makan siang, para direksi dan karyawan TLCC memilih membeli lauk dan nasi untuk makan bersama di kantor.

“Makanan itu kami pesan khusus dari katering tepercaya. Soalnya, kami nggak berani makan di luar,” ujar Direktur Keuangan TLCC Budi Siswoyo kepada Jawa Pos yang menemui di tempat kerjanya.

Lauk makan siang direksi TLCC saat itu, antara lain, sambal udang, ikan bakar, sayur kangkung, dan sambal terasi. Pokoknya makanan khas Indonesia. Setiap hari menu tersebut diupayakan berbeda agar tidak membosankan.

“Kalau nuruti gaya makan siang di luar bisa saja di restoran, tapi siapa yang bisa menjamin halal atau nggak-nya,” ungkap pria asal Pati, Jawa Tengah, itu.

Menurut Duta Besar RI untuk Vietnam Mayerfas, bukan hanya produk industri makanan halal yang berpotensi digarap di pasar Vietnam. Beberapa komoditas lain seperti industri petrokimia juga membutuhkan investasi asing.

“Industri bahan kimia di Vietnam masih tergolong baru berkembang. Karena itu, pemerintah Vietnam saat ini sedang gencar-gencarnya menarik minat investor asing,” tuturnya.

Potensi tersebut seharusnya bisa cepat digarap kalangan usaha Indonesia yang selama ini sudah memiliki perusahaan-perusahaan petrokimia besar di kawasan ASEAN.

“Ini tidak main-main karena Vietnam punya target hingga 2020 nanti bisa memiliki sembilan kawasan industri khusus di bidang petrokimia. Tentunya dibutuhkan modal yang sangat besar,” kata Mayerfas.

Komoditas lain yang bisa dimasuki Indonesia adalah pupuk. Menurut Mayerfas, Kementerian Pertanian dan Pedesaan Vietnam setiap tahun membutuhkan 8 juta ton berbagai jenis pupuk untuk mendukung sektor pertaniannya. Meski sudah mampu memproduksi sendiri, Vietnam tetap saja kekurangan.

“Tahun lalu mereka impor pupuk USD 1,43 miliar,” terangnya

Vietnam juga memerlukan investor asing dalam hal pertambangan batu bara. Sebab, saat ini mereka sedang membangun sembilan pembangkit listrik yang akan beroperasi pada 2015. Semua membutuhkan bahan bakar batu bara.

“Tahun 2015 Vietnam diperkirakan butuh 15 juta ton batu bara dan meningkat menjadi 40 juta ton pada 2025,” tambah dia.

Di lain pihak, Vietnam bisa menjadi pasar yang potensial bagi produsen obatan-obatan. Laporan Kementerian Kesehatan Vietnam, setiap orang menghabiskan biaya USD 19,8 untuk obat sepanjang 2010. Angka itu diperkirakan menjadi USD 33,8 per orang pada 2014 ini. “Tingkat pertumbuhan kebutuhan obat 17″19 persen per tahun,” sebutnya.

Vietnam juga membutuhkan pasokan kayu untuk bahan baku sektor kerajinan. Pasalnya, hutan alami Vietnam lebih besar daripada hutan industri yang bisa dipotong.

“Persediaan bahan kayu untuk produk kerajinan semakin sulit karena pasokan dari negara tetangga seperti Laos dan Kamboja semakin menipis, sedangkan kayu Malaysia cenderung mahal,” jelasnya. (*/c5/c10/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/