JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Isu tes keperawanan bagi calon polwan beberapa waktu terakhir akhirnya diklarifikasi oleh Mabes Polri. Melalui Kapusdokkes Brigjen Arthur Tampi, Mabes Polri menyatakan tidak pernah menjadikan keperawanan sebagai syarat kelulusan calon polwan. Yang ada, kesehatan fisik dan mentan calon polisi diperiksa secara menyeluruh.
Isu tes keperawanan itu mencuat setelah sebuah LSM internasional Human Rights Watch (HRW) merilis klaim temuan mereka tentang adanya tes keperawanan calon polwan. HRW menyatakan salah satu tes yang dilakukan adalah yang disebut sebagai “two-finger test (tes dua jari) untuk memastikan selaput darah (hymen) calon polwan tidak rusak.
HRW mengutip website penerimaan Polri yang menyatakan bahwa selain tes medis dan fisik, calon polwan harus menjalani tes keperawanan. Sehingga, mereka harus menjaga keperawanan apabila masih ingin menjadi polwan. Itu berarti perempuan yang pernah menikah tidak akan memenuhi syarat untuk menjadi polwan.
Menanggapi klaim HRW, Arthur menyatakan tes keperawanan tidak pernah ada dalam sistem penerimaan calon polwan. Menurut dia, tes kesehatan yang dilakukan pihaknya mencakup banyak hal. Mulai pemeriksaan fisik dari ujung rambut sampai ujung kaki, pemeriksaan organ dalam lewat tes darah, USG, dan sejumlah tes, hingga tes kejiwaan dan kepribadian.
Sesuai Peraturan kapolri nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Calon Anggota Polri, penilaian kesehatan fisik dilakukan berjenjang. “Ada gradasi penilaian dalam proses pemeriksaan fisik dan evaluasi hasil pemeriksaan (secara menyeluruh),” Terang Arthur di Mabes Polri kemarin.
Pemeriksaan fisik dilakukan dalam empat tahap. Yakni, tanya jawab, inspeksi atau melihat, lalu palpasi atau memegang, dan perkusi atau mengetuk. Untuk pemeriksaan organ reproduksi pria, otomatis harus palpasi. Buah zakar calon polisi akan dipegang untuk mengetahui ada tidaknya varikokel dan potensi hernia.
Untuk calon polwan, pemeriksaan organ reproduksi (obstetrics and gynaecology atau obgyn) hanya dilakukan dengan inspeksi atau melihat. “Jadi tidak ada pemeriksaan yang dokter menyentuh, apalagi menyentuh selaput darah,” tuturnya. Dia juga memastikan tidak ada calon polwan yang gagal karena tidak perawan.
“Hymen yang non intak (tidak utuh) itu memang nilainya kurang, tapi masih lulus,” tuturnya. Itulah yang disebut gradasi penilaian. Dia mencontohkan pemeriksaan mata. Ketika matanya normal, nilainya B (baik). Sebelah mata minus setengah, nilainya C (cukup). Apabila keduanya minus setengah, nilainya K (kurang). Lebih dari itu, dia dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan mata.
Arthur menjelaskan, metode pemeriksaan obgyn pada calon polwan berlaku universal. Metode yang sama juga digunakan di berbagai negara saat pemeriksaan obgyn. Lagipula, pemeriksaan tersebut juga diawasi oleh IDI. Calon polwan juga diberitahu sebelumnya tentang tes tersebut dan metode yang digunakan.
Arthur menambahkan, tujuan utama pemeriksaan obgyn adalah untuk mengetahui kelainan pada organ reporoduksi. Misalnya hermaprodit (kelamin ganda), atau mengalami ginatresia himenalis alias hymen tidak berlubang. Akibatnya, dia tidak pernah haid dan darah haidnya tertampung di rongga rahim. Dalam kondisi demikian, calon polwan akan kesulitan saat mengikuti pelatihan.
Sementara itu, Kabagpenum Divhumas Polri Kombes Agus Rianto menjelaskan, pihaknya mendapati ada website penerimaan polri yang tidak resmi. Yakni, infopendaftaranpolri.com. di web tersebut, memang disebutkan bahwa perempuan yang ingin menjadi polwan harus menjalani tes keperawanan.
Agus menjelaskan, website resmi penerimaan anggota polri adalah penerimaan.polri.go.id. “Kami bersama bareskrim sedang menyelidiki website tidak resmi tersebut, yang menyebutkan ada tes keperawanan,” ujarnya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek ikut angkat bicara tentang isu tes keperawanan yang diwajibkan untuk menjadi salah satu abdi negara itu. Nila mengaku cukup menyayangkan jika memang ketentuan tersebut menjadi salah satu persyaratan tes.
“Saya rasa saya sebagai perempuan itu adalah hak kami (kondisi perawan atau tidak). Apakah kalau seperti itu (tidak perawan) kita tidak boleh mewujudkan cita-cita?” ungkapnya.
Hal itu dirasanya kurang fair. Sebab, banyak alasan seorang perempuan bisa dikatakan “tidak perawan” lagi. Misalnya, karena kecelakaan yang dialami, merupakan korban pemerkoasaan, dan alasan medis lainnya. Selain itu, faktor perawan atau tidak tersebut dirasanya tidak akan berpengaruh pada kinerja seseorang dalam pekerjaannya.
“Saya agak sedikit gimana ya. Saya tanya, apakah hal tersebut akan mengganggu karir seseorang” Jika dia dengan penyakit, anggap AIDS, akan mengganggu nggak” Itu (gangguan dalam bekerja) yang harus dipikirkan,” tandasnya. (byu/mia)