25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Tarif Air Harus Turun

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi diminta segera menghentikan sementara sistem pembayaran tagihan rekening air secara online yang membebani pelanggan dengan biaya administrasi bank. Pasalnya, teknologi yang diberlakukan ini tidak menambah kemudahan bagi pelanggan dalam melakukan pembayaran.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Sumut Yulizar Parlagutan Lubis mengatakan, pihaknya akan meminta penjelasan lebih lanjut soal kebijakan tiga direksi tersebut. Selain kesiapan, pihaknya juga sudah meminta agar sistem tersebut dipending, karena dianggap belum matang.

“Kita minta itu dipending dulu. Ini berarti belum matang, makanya kita akan pertanyakan lagi ke mereka,” ujar pria yang akrab disapa Puli itu kepada Sumut Pos, Senin (8/12).

Dia juga mempertanyakan soal biaya administrasi bank yang dibebankan ke pelanggan. Kemana alokasi dana yang dibebankan kepada pelanggan sebesar Rp2.500 tersebut, sehingga hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar.

“Kemana itu biaya administrasinya selama ini, harus tahu. Jangan hanya sekadar membuat kebijakan sepihak,” sebutnya.

Sementara Anggota Komisi C DRPD Sumut Satrya Yudha Wibowo menyebutkan, sistem pembayaran online tersebut seharusnya tidak menghapuskan sistem lama, secara manual. Sehingga hal ini tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang tidak tahu cara pembayaran via online.

“Nanti kita kaji lagi, karena kan tidak semua bisa mengakses sistem online. Misalnya, masyarakat menengah ke bawah yang terbiasa dengan sistem manual. Contohnya, mana lebih dekat, loket atau bank (yang ditunjuk),” sebutnya.

Sementara Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi mengatakan, berdasarkan penelusurannya, sistem pembayaran online ini diduga kuat melanggar Perda No 10/2009, Pasal 16 huruf h yang menyebutkan, Tirtanadi dalam melakukan pinjaman, mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan gubernur atas  pertimbangan Dewan Pengawas.

“Tapi saat kerjasama ditandatangani, dan kebijakan itu diterapkan, Dewan Pengawas PDAM Tirtanadi tidak ada (belum dilantik). Jadi tidak ada yang mengusulkan meminta persetujuan ke Gubsu,” ungkapnya.

Dia menambahkan, ketika penagihan rekening air secara door to door dihentikan, dan pelanggan diminta membayar rekening air di loket-loket Cabang PDAM Tirtanadi dan di bank, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Biaya penagihan rekening air secara manual (door to door), telah masuk dalam struktur kenaikan tarif pada 2013.

“Secara nominal ada biaya hubungan langganan sebesar Rp18 miliar yang diperuntukkan guna menagih rekening itu. Pertanyaannya, ke mana dan untuk apa uang sebesar Rp18 miliar itu dipergunakan, pasca-sistem pembayaran online?,” tegasnya saat dihubungi Sumut Pos, Senin (8/12).

Menurut dia, BPK atau BPKP perlu turun tangan untuk mengaudit keberadaan uang sebesar Rp18 miliar dimaksud dikaitkan dengan kedudukannya sebagai biaya hubungan langganan. Dia mengatakan, jika pun nantinya Tirtanadi berhasil menjalankan pembayaran online ini, maka sebagai konsekuensinya, harus ada penyesuaian tarif air.

“Konsekuensinya, tarif air harus diturunkan. Sebab dalam struktur tarif, biaya hubungan langganan ini harusnya dihapuskan. Karena tidak ada lagi petugas yang menagih rekening air itu ke rumah-rumah. Karena sesuai aturan uang itu tidak bisa digunakan untuk kegiatan lainnya,” pungkasnya.

Sebelumnya Kepala Biro Hukum Setdaprovsu, Sulaiman Hasibuan, membenarkan Perda No 10/2009 itu. Menurutnya, setiap kerjasama BUMD dengan pihak ketiga, harus ada persetujuan dari Gubernur selaku pemilik melalui Dewan Pengawas sebelum dijalankan. “Apakah itu sudah ada persetujuan, Saya belum mengetahuinya. Nanti coba saya koordinasikan dengan Biro Perekonomian yang menjadi leading sector pengawasan BUMD,” ujarnya kepada wartawan, Senin (8/12).

Dikatakan Sulaiman, kebijakan untuk mengalihkan ke pembayaran langsung pada sistem online (jasa bank dan pos), sebenarnya cukup baik. Namun jika ada dugaan itu tanpa persetujuan Gubsu, yang perlu dilakukan adalah PDAM Tirtanadi meminta persetujuan Gubsu. “Sudah berjalan, tapi saya dengar masih bermasalah. MoU sudah ada tapi pelaksanaannya belum maksimal karena masih satu bank yang jalan,” terangnya.

Disebutkannya, jika saat ini kebijakan pembayaran online itu sudah berjalan, maka tidak perlu dihentikan (stanvas). Cara yang terbaik kata dia, adalah dengan mempercepat agar kebijakan yang ada tersebut disesuaikan dengan regulasi dan dasar hukum yang ada. “Saya pikir kalau PDAM Tirtanadi mau, disegerakan saja. Saya kira Gubsu akan memelajari itu,” tutupnya.

Sementara itu, Direktur Operasional PDAM Tirtanadi Mangindang Ritonga, enggan menanggapi kebijakan pembayaran online itu. Namun saat ditanya perihal dana BHL, dia menegaskan biaya itu tetap akan digunakan. “Itu tetap akan digunakan untuk membayar petugas penagihan. Kan masih banyak yang belum bayar dan harus ditagih. Sudah ya,” ujarnya singkat.(bal/prn/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi diminta segera menghentikan sementara sistem pembayaran tagihan rekening air secara online yang membebani pelanggan dengan biaya administrasi bank. Pasalnya, teknologi yang diberlakukan ini tidak menambah kemudahan bagi pelanggan dalam melakukan pembayaran.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Sumut Yulizar Parlagutan Lubis mengatakan, pihaknya akan meminta penjelasan lebih lanjut soal kebijakan tiga direksi tersebut. Selain kesiapan, pihaknya juga sudah meminta agar sistem tersebut dipending, karena dianggap belum matang.

“Kita minta itu dipending dulu. Ini berarti belum matang, makanya kita akan pertanyakan lagi ke mereka,” ujar pria yang akrab disapa Puli itu kepada Sumut Pos, Senin (8/12).

Dia juga mempertanyakan soal biaya administrasi bank yang dibebankan ke pelanggan. Kemana alokasi dana yang dibebankan kepada pelanggan sebesar Rp2.500 tersebut, sehingga hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar.

“Kemana itu biaya administrasinya selama ini, harus tahu. Jangan hanya sekadar membuat kebijakan sepihak,” sebutnya.

Sementara Anggota Komisi C DRPD Sumut Satrya Yudha Wibowo menyebutkan, sistem pembayaran online tersebut seharusnya tidak menghapuskan sistem lama, secara manual. Sehingga hal ini tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang tidak tahu cara pembayaran via online.

“Nanti kita kaji lagi, karena kan tidak semua bisa mengakses sistem online. Misalnya, masyarakat menengah ke bawah yang terbiasa dengan sistem manual. Contohnya, mana lebih dekat, loket atau bank (yang ditunjuk),” sebutnya.

Sementara Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi mengatakan, berdasarkan penelusurannya, sistem pembayaran online ini diduga kuat melanggar Perda No 10/2009, Pasal 16 huruf h yang menyebutkan, Tirtanadi dalam melakukan pinjaman, mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan gubernur atas  pertimbangan Dewan Pengawas.

“Tapi saat kerjasama ditandatangani, dan kebijakan itu diterapkan, Dewan Pengawas PDAM Tirtanadi tidak ada (belum dilantik). Jadi tidak ada yang mengusulkan meminta persetujuan ke Gubsu,” ungkapnya.

Dia menambahkan, ketika penagihan rekening air secara door to door dihentikan, dan pelanggan diminta membayar rekening air di loket-loket Cabang PDAM Tirtanadi dan di bank, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Biaya penagihan rekening air secara manual (door to door), telah masuk dalam struktur kenaikan tarif pada 2013.

“Secara nominal ada biaya hubungan langganan sebesar Rp18 miliar yang diperuntukkan guna menagih rekening itu. Pertanyaannya, ke mana dan untuk apa uang sebesar Rp18 miliar itu dipergunakan, pasca-sistem pembayaran online?,” tegasnya saat dihubungi Sumut Pos, Senin (8/12).

Menurut dia, BPK atau BPKP perlu turun tangan untuk mengaudit keberadaan uang sebesar Rp18 miliar dimaksud dikaitkan dengan kedudukannya sebagai biaya hubungan langganan. Dia mengatakan, jika pun nantinya Tirtanadi berhasil menjalankan pembayaran online ini, maka sebagai konsekuensinya, harus ada penyesuaian tarif air.

“Konsekuensinya, tarif air harus diturunkan. Sebab dalam struktur tarif, biaya hubungan langganan ini harusnya dihapuskan. Karena tidak ada lagi petugas yang menagih rekening air itu ke rumah-rumah. Karena sesuai aturan uang itu tidak bisa digunakan untuk kegiatan lainnya,” pungkasnya.

Sebelumnya Kepala Biro Hukum Setdaprovsu, Sulaiman Hasibuan, membenarkan Perda No 10/2009 itu. Menurutnya, setiap kerjasama BUMD dengan pihak ketiga, harus ada persetujuan dari Gubernur selaku pemilik melalui Dewan Pengawas sebelum dijalankan. “Apakah itu sudah ada persetujuan, Saya belum mengetahuinya. Nanti coba saya koordinasikan dengan Biro Perekonomian yang menjadi leading sector pengawasan BUMD,” ujarnya kepada wartawan, Senin (8/12).

Dikatakan Sulaiman, kebijakan untuk mengalihkan ke pembayaran langsung pada sistem online (jasa bank dan pos), sebenarnya cukup baik. Namun jika ada dugaan itu tanpa persetujuan Gubsu, yang perlu dilakukan adalah PDAM Tirtanadi meminta persetujuan Gubsu. “Sudah berjalan, tapi saya dengar masih bermasalah. MoU sudah ada tapi pelaksanaannya belum maksimal karena masih satu bank yang jalan,” terangnya.

Disebutkannya, jika saat ini kebijakan pembayaran online itu sudah berjalan, maka tidak perlu dihentikan (stanvas). Cara yang terbaik kata dia, adalah dengan mempercepat agar kebijakan yang ada tersebut disesuaikan dengan regulasi dan dasar hukum yang ada. “Saya pikir kalau PDAM Tirtanadi mau, disegerakan saja. Saya kira Gubsu akan memelajari itu,” tutupnya.

Sementara itu, Direktur Operasional PDAM Tirtanadi Mangindang Ritonga, enggan menanggapi kebijakan pembayaran online itu. Namun saat ditanya perihal dana BHL, dia menegaskan biaya itu tetap akan digunakan. “Itu tetap akan digunakan untuk membayar petugas penagihan. Kan masih banyak yang belum bayar dan harus ditagih. Sudah ya,” ujarnya singkat.(bal/prn/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/