Oleh: Ramadhan Batubara
Pernah seorang kawan berkata, kalau ingin menjadi penulis yang baik haruslah mampu menggambarkan perbandingan. Maksudnya, ini untuk menunjukkan kekontrasan sebuah situasi. Jadi, kasarnya, jika ingin menulis cerita komedi, maka kita wajib memasukan unsur kesedihan.
Begitulah, lama juga saya selami kalimat kawan tadi. Lalu, saya semakin mengerti kita mulai memperhatikan film impor. Ya, di sana, di film itu, memang digambarkan sebuah suasana yang kontras untuk bisa menonjolkan sesuatu. Misalnya begini, agar film itu bisa membuat penonton menangis, ditampilkanlah adegan lucu yang membuat terpingkal. Tapi, kekontrasan itu tidak memiliki durasi seimbang, porsi sedih tetap lebih banyak (ini kan film sedih).
Saya menyadari, sang pembuat film (semua unsur yang terkait) paham betul dengan karakter penonton. Mereka mempermainkan emosi penonton dengan sedemikian rupa. Perasaan penonton dibolak-balik. Ayolah, ketika dia membuat film sedih yang berisi kesedihan semuanya, apalagi yang sedih?
Ya, ketika rasa itu terus diekspos sedemikian rupa, maka dia akan menjadi tawar bukan? Dan, tangis juga butuh istirahat kan? Lalu, ketika tangis diselingi dengan senyum dan tawa, maka tangis berikutnya akan semakin dalam kan?
Sudahlah, penggambaran di atas memang ingin menunjukkan suasana yang saya hadapi ketika menghadiri undangan dari Irwansyah Harahap beberapa hari lalu. Bunyinya begini: Diskusi ‘Politik Sastra dan Sastra Politik’: Interelasi Kanonis, Kuasa dan Hegemoni.’ Rumah Musik Suarasama, Jl Stela 1 no 27 Simpang Selayang, Selasa 14 Juni 2011, pkl 19.30-selesai. Fasilitator: Saut Situmorang dan Katrin Bandel. Pengundang Irwansyah Harahap RMS.
Nah, mendapat undangan itu, saya dan Panda MT Siallagan bergegas. Dengan sepeda motor tua, kami akhirnya selamat menyeberangi jalanan dari Amplas hingga ke lokasi. Terlambat. Fiuh. Tapi, beruntung acara belum dimulai. Tak lama setelah berbasa-basi, diskusi pun dimulai. Saut buka suara, disusul oleh sang istri Katrin. Mereka panjang lebar menguak dan mempertanyakan soal sastra yang baik dan benar itu seperti apa. Pasalnya, kata Saut, siapa yang menentukan sastra yang baik dan benar itu?
Berangkat dari hal itu, maka terbukalah kata zaman kolonial (Balai Pustaka) hingga yang terkini ‘kekuasaan’ Komunitas Utan Kayu. Persis dengan sang suami, Katrin, pun menyoroti soal itu. Dia menggambarkan bagaimana sebuah karya bisa sedemikian hebat karena didukung oleh orang hebat (dalam arti bukan penulisnya). Irwansyah pun tak mau ketinggalan, dia terus menimpali kalimat dua pembicara yang didatangkan dari Yogyakarta tersebut.
Menyenangkan. Ada sebuah kerinduan pada diskusi semacam itu yang sudah cukup lama tak saya temui. Sayangnya, Saut dan Katrin tak menawarkan sesuatu yang baru. Ya, isu politik sastra dan sastra politik ini memang telah mereka dengungkan sejak beberapa tahun lalu. Pun, ketika saya bertemu mereka di Yogya, itu juga yang mereka sampaikan. Tidak itu saja, di internet hingga di pojok-pojok Indonesia pun mereka tetap sama; berbicara tentang itu saja. Hingga, seperti film sedih yang terus menggambarkan kesedihan, rasa itu menjadi tawar. Saya pun tak merasa bergolak atau apapun istilahnya. Hingga, diskusi yang terkesan searah tersebut tiba-tiba menghangat. Pasalnya, Panda MT Siallagan, berujar, jangan-jangan apa yang dilakukan oleh Saut dan Katrin adalah sebuah kampanye terhadap hegemoni Komunitas Utan Kayu.
Saut membalas, dia katakan apa yang mereka lakukan memang untuk memberitahukan khalayak tentang sesuatu yang tak benar dalam sastra di Indonesia. Kasarnya, jika tidak ada yang melakukan, siapa lagi?
Nah, ini dia. Malam itu Saut dan Katrin memang memaparkan duka. Pertanyaannya, seperti film-film itu, kapan dipaparkan soal sukanya? Ya, film yang dibuat mereka cenderung duka melulu, tidak ada waktu untuk merasakan suka. Tak ada perbandingan yang membuat orang makin yakin tentang sebuah rasa.
Analoginya begini, anggaplah ini sebuah perusahaan yang sedang goyang. Ketika pekerja-pekerja terus diberikan kewajiban dengan ancaman pemecatan, apakah pekerja itu akan menunjukkan etos kerja? Memang, bisa saja kinerjanya bertambah, tapi jika hal itu terus diberikan waktu ke waktu, apakah dia tidak muntah? Belum lagi, dalam tahap ini kadang ada pihak ketiga yang suka memancing di air keruh.
Soal ancaman pemecatan dia gosok hingga berasap dan soal kenyaman kerja dia kaburkan. Intinya, pihak ini tak mau perusahaan itu mapan dan terus berproduksi. Nah, coba bayangkan ketika sesekali perusahaan memberikan janji bonus atau apalah, pasti hasilnya berbeda bukan? Tapi, apakah pihak ketiga akan berhenti? Oh, dia akan menambah godaannya dengan mengaburkan soal janji itu. Fiuh, jika sudah begitu, perusahaan memang wajib menunaikan janjinya itu kan? Jika tidak tunai sang janji, maka perusahaan itu menjadi sesuatu yang tawar; tidak ada dinamikanya.
Begitulah, soal mengolah rasa penonton atau pembaca atau pendengar, kita memang wajib bijak. Ada alur yang harusnya kita jaga. Dalam dramaturgi, ada tangga dramatis yang sengaja dicipta untuk menyukseskan klimaks dan antiklimaksnya.
Soal Saut dan Katrin, bukan berarti mereka tak mengerti hal itu, mungkin kini mereka sedang menata tangga dramatis tadi. Ya, bisa saja mereka masih tahap prologue. Bukankah, selain berbicara dari satu tempat ke tempat lain, tidak terlihat perjuangan mereka secara nyata? Ah, entahlah, mungkin saja saya tidak tahu kan? Apapun itu, untuk Saut dan Katrin, anggap saja lantun ini sebagai kisah duka, ya agar suka nanti bisa semakin indah. Bagaimana, sepakat? (*)
17Juni 2011