JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Beberapa poin dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung dipandang perlu untuk dikaji ulang. Salah satunya mengenai Pilkada yang hanya diikuti oleh calon kepala daerah tanpa ada pasangan wakil.
Pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto mencermati adanya peluang transaksional oleh kepala daerah yang terpilih apabila wakil kepala daerah tidak dipilih langsung dan rakyat pun tidak tahu siapa yang akan menjadi wakil.
“Jadi sangat mungkin kepala daerah terpilih itu akan istilahnya menjual belikan posisi itu kepada orang-orang yang memiliki uang yang bisa kemudian atau apa mereka yang menjadi donor besar pada saat Pilkada saat kampanye,” jelas Nico.
Senada, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR Riza Patria menilai hal tersebut harus direvisi setelah menjadi rancangan undang-undang, dengan beberapa alasan. Seperti, tingginya nilai transaksional apabila wakil dipilih langsung oleh kepala daerah terpilih.
“Kalau diangkat itu bisa transaksional oleh wakilnya. Kalau tidak bisa mencari wakil yang pintar, maka dicarilah wakil yang banyak uang nanti,” ujar Riza.
Kemudian dengan alasan wakil kepala daerah bukanlah ban serap kerja, namun teman dari si kepala daerah itu sendiri untuk memajukan daerahnya.
“Kalau wakil diangkat oleh gubernur, nanti gubernur bisa pilihnya tidak bagus, kenapa? supaya dia bisa terpilih lagi pada periode kedua. Maka dia pilih wakil yang tidak bagus supaya dia bisa terlihat hebat sendiri, disenangi sendiri,” paparnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar wakil kepala daerah dimasukkan menjadi satu paket bersama dengan kepala daerahnya. “Kalau Pilkada paket maka sama-sama berjuang. Dan ada kebersaamaan lah sejak awal. Dan kebersamaan ini sesuatu yang bagus untuk membangun daerah,” kata politikus Partai Gerindra tersebut.
Perppu yang diterbitkan pada 2 Oktober 2014 tersebut memang tidak mencantumkan soal pemilihan calon wakil kepala daerah. Pada Pasal 1 Perppu, di angka 1 pasal itu mengatakan, “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.”
Begitu pula dalam angka 4 dan 5 di pasal itu yang mengatakan hanya ada calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota. Tidak ada untuk calon wakil gubernur, calon wakil bupati, dan calon wakil walikota.
Kemudian pada Pasal Perppu 171 angka 1 tertulis, “Gubernur, Bupati dan Wali Kota wajib mengusulkan calon wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil walikota dalam waktu paling lambat 15 hari setelah pelantikan.” Dan, ditekankan kembali pada angka 3, bahwa para wakil kepala daerah tersebut akan diangkat oleh menteri berdasarkan usulan kepala daerahnya sebagai wakil pemerintah.
Sementara, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) meminta Pilkada serentak tahun 2015 tidak hanya memilih kepala daerah saja sesuai isi Perppu Pilkada. Apkasi menginginkan pemilihan dikembalikan kepada sistem paket, yakni memilih kepala dan wakil kepala daerah secara langsung.
“Tak lazim kalau pemilihan kepala daerah cuma kepala daerahnya saja yang dipilih, tapi wakil tidak. Kalau ada rencana revisi aturan ini, kami bupati dan walikota seluruh Indonesia setuju 2.000 persen,” kata Ketua Apkasi, Isran Noor, akhir pekan lalu.
Bupati Kutai Timur ini mengatakan, saat pembahasan RUU Pilkada masih berlangsung bupati dan walikota telah menyampaikan agar pemilihan tetap dilakukan satu paket. Hanya saja kemudian pembahasan aturan tersebut lebih fokus membahas soal mekanisme langsung atau tidak langsung.
“Kalau nanti Perppu sudah diterima dan diundangkan, ada yang mau mengubah menjadi sistem paket lagi kami sangat setuju,” kata dia.
Jika pemilihan non-paket dilakukan dengan pertimbangan efisiensi, menurut Isran, pemilihan paket juga bisa diselenggarakan dengan hemat. Karena Perppu sudah mengatur sanksi yang sangat berat bagi calon kepala daerah yang terbukti melakukan politik transaksional.
“Justru kalau satu paket kepala dan wakil, biaya Pilkada kan bisa dibagi dua. Kalau hanya ditanggung calon kepala daerah saja kan sangat berat,” ujarnya.
Waketum Partai Demokrat Agus Hermanto menilai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara paket sama seperti kawin paksa. Menurutnya, hal tersebut akan menimbulkan banyak ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil daerah.
“Mana ada yang mau dikawinkan secara paksa? Paket itu dipaksakan. Sehingga paling pas itu ya ditunjuk langsung, mereka cari yang bisa kerjasama,” ujar Agus di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Ia pun membantah ada peluang transaksional yang terjadi dengan sistem tersebut seperti yang disuarakan oleh beberapa anggota dewan. Dia mengatakan di situlah muncul peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masyarakat dan media, yakni mengawasi kemungkinan tersebut.
Lebih jauh lagi, Agus mengatakan uji kelayakan pun tidak perlu dilakukan karena sudah ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk calon wakil kepala daerah. Sehingga, ia pun meminta kepada para anggota dewan dan masyarakat untuk mempercayai para kepala daerah terpilih dalam menentukan wakil kepala daerahnya.
“Marilah proses ini berjalan. Saya yakin akan berjalan dengan baik. Betul-betul wakil gubernur dipilih paling pas,” kata dia.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa hingga tahun 2018, ada dua gelombang Pilkada serentak. Gelombang pertama adalah Pilkada tahun 2015 bagi daerah yang memang harus Pilkada pada tahun itu dan daerah yang mestinya Pilkada tahun 2014, namun tak bisa dilaksanakan karena berbarengan dengan pemilu nasional.
Sedangkan gelombang kedua Pilkada serentak dilaksanakan tahun 2018 bagi 245 daerah. Pilkada tahun 2018 dilaksanakan bagi daerah yang mestinya melaksanakan Pilkada tahun 2016-2018.
Untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis di tahun 2016 dan 2017, pemerintah akan menunjuk pelaksana tugas untuk memimpin daerah tersebut hingga memiliki kepala daerah definitif.
Hal lain yang perlu disosialisasikan adalah, bakal calon yang diusulkan oleh satu ataupun gabungan parpol, harus melalui mekanisme uji publik. Karena itu, akan dibentuk panitia khusus uji publik beranggotakan lima orang yang terdiri atas dua tokoh masyarakat, dua akademisi, dan satu anggota KPU daerah. (bbs/val)