26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Putra Toba yang ‘Berbahaya’

Sitor Situmorang
Sitor Situmorang, Sastrawan Angkatan ’45.

Sang ‘penulis berbahaya’ telah tiada. Ia menutup mata untuk selama-lamanya pada Minggu (21/12) di Belanda, dalam usia 91 tahun. Lama bermukim di luar negeri, namun tak melunturkan akarnya sebagai pria Batak sejati. Kota Paris, dianggapnya sebagai rumah kedua setelah kampung halamannya di Harianboho.

***

Sitor layak disebut ‘berbahaya’, karena menurut Suma Mihardja, rezim Orde Baru takut pada sang penulis. Mantan Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menangani Peristiwa 65 ini pernah menangani kasus Sitor.

Di usianya yang sangat belia, 19 tahun, Sitor Situmorang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Suara nasional terbitan Sibolga. Padahal sebelumnya, belum pernah sama sekali Sitor muda mengenal dunia jurnalistik. Namun di kemudian hari, Sitor Situmorang lebih dikenal sebagai sastrawan angkatan ’45.

Nama besarnya sebagai wartawan sempat menjadi buah bibir hingga tingkat dunia. Berbekal tuksedo pinjaman Rosihan Anwar, Sitor mewawancarai Sultan Hamid. Hamid adalah tokoh negara federal bentukan negara Belanda. Dia diplot menjadi tokoh federal dengan maksud memecah belah keutuhan NKRI menjadi negara boneka dalam wadah negara federal.

Selain berhasil menembus narasumber penting Sultan Hamid, Sitor pun sempat melontar pertanyaan prinsipil. “Bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia?” Hamid menjawab, “Oh terang Republik itu ada, tidak bisa dianggap tidak ada.”

Wawancara tersebut menggemparkan dunia asing. Isi wawancara Sitor kepada Sultan Hamid menjadi tajuk utama di sejumlah kantor berita asing. Dari situ, eksistensi NKRI kian mantap.

Pada tahun 1950-an, Sitor kembali dari Eropa sebagai wartawan. Dia putuskan untuk berhenti dan memilih jalan hidup sebagai sastrawan. Pada 1953, kumpulan puisi pertamanya terbit. Poestaka Rakjat pimpinan Sultan Takdir Alisjahbana adalah penerbit karnya tersebut.

Begitu kuat ingatan Sitor terhadap setiap karya puisinya. Sahabat-sahabatnya yang juga sastrawan, seperti Arifin C Noor, WS Rendra menyapanya dengan melafalkan petikan puisi Sitor. Dari sapaan salam itu pula Sitor mengenal nama dan identitas orang yang menyapanya. Karya-karya Sitor menghiasi panggung sastra Indonesia.

Di antara karyanya adalah, Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esainya ‘Sastra Revolusioner’ itu lah yang mengakibatkan Sitor mendekam di penjara Gang Tengah Salemba, Jakarta pada 1967 sampai dengan 1975. Tidak ada proses peradilan sebelumnya.

Dia dijebloskan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan pemberontakan. Esainya itu sarat kritik tajam. Sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI membuat rezim berkuasa saat itu merasa perlu menghentikan kreativitas Sitor.

Namun, ringan saja Sitor berkomentar, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja.” Itu alasan kenapa sastrawan besar itu terkurung di rutan Salemba delapan tahun berturut-turut. Sampai keluar dari penjara pun Sitor tak pernah tahu kesalahannya.

Tak ada seorang pun yang menghentikan Sitor menulis. Di dalam penjara, Sitor melahirkan dua karya sastra, Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Setelah sempat menjalani tahanan rumah, Sitor pilih menetap di luar negeri.

Sejak 1981, Sitor diangkat sebagai dosen di Universitas Leiden, Belanda. Dalam pengembaraan hidupnya, Sitor tak pernah berhenti menulis.

Saat melanglang buana ke berbagai negara, seperti Pakistan, Perancis, dan Belanda, Sitor menghasilkan banyak karya. Cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita Anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).

Dalam pengantar buku Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno karya Nani Nurani Affandi, Suma menyinggung pengalaman Sitor ditahan oleh rezim Orde Baru, lalu dikembalikan dalam keadaan hidup.

“Pada saat itulah dia merasakan bagaimana rasanya menjadi ‘barang’ yang diserahterimakan dari pihak penahannya ke pihak keluarganya,” demikian ditulis oleh Suma, seraya menganalogikan Sitor tak ubahnya mobil.

Sitor menggugat esensi dirinya yang dianalogikan sebagai barang, seakan tidak memiliki jiwa, pikiran, dan kebebasan. Suma memahami perasaan Sitor ketika itu yang dijadikan komoditas politik Orde Baru.

Suma menuliskan, rezim Orde Baru takut terhadap Sitor. Bila sudah begitu, rezim ini siap memberangus siapa saja yng dianggap membahayakan kekuasaan, sekalipun ia ‘hanya’ seorang penulis.

“Saya bukan orang politik,” kata Sitor semasa hidup dalam wawancara dengan sebuah media cetak, beberapa waktu lalu. “Saya aktif dengan cara saya, tetapi tidak berambisi jadi anggota Parlemen.”

Selama kebebasannya terbelenggu, Sitor merasa dirinya manusia yang bukan manusia. Padahal sesungguhnya, sebagaimana ditulis oleh Suma, esensi menjadi ‘orang’ adalah esensi kemanusiaan yang mendasar.

Dikenal sebagai penulis multitalenta yang melahirkan seabrek karya, dari puisi, esai, cerita pendek (cerpen), juga jurnalisme dan kritik sastra, di sejumlah media cetak.

Sempat menempuh pendidikan sinematografi di University of California (1956–57), namun agaknya ranah sastra lebih menarik minatnya. Usai merilis puisi pertama Kaliurang (1948), ide-ide berikutnya seolah tak terbendung.

Era 1950-an, Sitor hijrah ke Eropa untuk melanjutkan studi, dan merilis kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954). Satu dekade kemudian, ia dipenjara oleh rezim Orde Baru, dan dibebaskan pada 1976, tanpa prose pengadilan.

Bebas merdeka, Sitor kembali aktif menulis, hingga lanjut usia. Satu dekade lalu, ia merilis Lembah Kekal (2004) dan Biksu Tak Berjubah (2004). Ia juga sempat mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2010.

“Ketika otak tak lagi berpikir, pikiran tak lagi bekerja, maka kehidupan pun tak lagi berjalan,” kata Sitor saat merayakan ulang tahun ke-85 di Erasmus Huis, Jakarta. Agaknya tak ada yang mampu menghalangi ide-ide sang penyair bangsa ini.

Sang ‘penulis berbahaya’ ini telah menghembuskan napas terakhirnya pada Minggu (21/12) di Belanda pada usia 91 tahun. Sitor menutup usia karena usianya yang telah lanjut.

Sepanjang hidupnya, dia tak pernah melupakan Desa Harianboho yang terletak persis di bibir Danau Toba. Sitor lahir di desa berhawa sejuk ini pada 2 Oktober 1923, dan minta dikebumikan di samping makam ibunya seperti wasiatnya.

Kendati sebagian besar hidup Sitor dihabiskan di luar negeri, tapi bapak sastra Indonesia ini selalu menganggap dirinya sebagai orang Batak. Seorang kepala suku, jika memang sistem tata nilai lama adat Batak itu masih ada dan berlaku sampai saat ini.

Itulah sebab, sejumlah elemen masyarakat di Sumut menggelar doa bersama serta malam apresiasi untuk Sitor Situmorang. Kegiatan ini digelar Rumah Karya Indonesia (RKI) bekerja sama dengan sejumlah komunitas seni dan pegiat lingkungan. Antara lain, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, Bale Marojahan, Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Medan Seni Payung Teduh, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, Forum Sisingamangaraja XII, Suara Sama, Jendela Toba, dan Komunitas Bumi.

Rangkaian kegiatan doa bersama ini dilakukan di dua tempat. Yakni Taman Budaya Sumut pada tanggal 22 dan 23 Desember 2014, pukul 16.00-22.00 WIB sedangkan kegiatan khusus akan digelar di tanah kelahiran Sitor Situmorang di Harian Boho, 29 Desember 2014 mendatang.

“Di Bandung saja, para seniman telah beberapa kali menggelar doa dan malam apresiasi untuk Sitor, ketika mendengar beliau jatuh sakit di Belanda. Ini membuktikan nama besar Sitor. Pemerintah dan masyarakat Sumut mempunyai tanggung jawab moral terhadap ‘Penyair Danau Toba’ ini,” jelas Direktur Plot Thompson HS. (bbs/put/val)

Sitor Situmorang
Sitor Situmorang, Sastrawan Angkatan ’45.

Sang ‘penulis berbahaya’ telah tiada. Ia menutup mata untuk selama-lamanya pada Minggu (21/12) di Belanda, dalam usia 91 tahun. Lama bermukim di luar negeri, namun tak melunturkan akarnya sebagai pria Batak sejati. Kota Paris, dianggapnya sebagai rumah kedua setelah kampung halamannya di Harianboho.

***

Sitor layak disebut ‘berbahaya’, karena menurut Suma Mihardja, rezim Orde Baru takut pada sang penulis. Mantan Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menangani Peristiwa 65 ini pernah menangani kasus Sitor.

Di usianya yang sangat belia, 19 tahun, Sitor Situmorang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Suara nasional terbitan Sibolga. Padahal sebelumnya, belum pernah sama sekali Sitor muda mengenal dunia jurnalistik. Namun di kemudian hari, Sitor Situmorang lebih dikenal sebagai sastrawan angkatan ’45.

Nama besarnya sebagai wartawan sempat menjadi buah bibir hingga tingkat dunia. Berbekal tuksedo pinjaman Rosihan Anwar, Sitor mewawancarai Sultan Hamid. Hamid adalah tokoh negara federal bentukan negara Belanda. Dia diplot menjadi tokoh federal dengan maksud memecah belah keutuhan NKRI menjadi negara boneka dalam wadah negara federal.

Selain berhasil menembus narasumber penting Sultan Hamid, Sitor pun sempat melontar pertanyaan prinsipil. “Bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia?” Hamid menjawab, “Oh terang Republik itu ada, tidak bisa dianggap tidak ada.”

Wawancara tersebut menggemparkan dunia asing. Isi wawancara Sitor kepada Sultan Hamid menjadi tajuk utama di sejumlah kantor berita asing. Dari situ, eksistensi NKRI kian mantap.

Pada tahun 1950-an, Sitor kembali dari Eropa sebagai wartawan. Dia putuskan untuk berhenti dan memilih jalan hidup sebagai sastrawan. Pada 1953, kumpulan puisi pertamanya terbit. Poestaka Rakjat pimpinan Sultan Takdir Alisjahbana adalah penerbit karnya tersebut.

Begitu kuat ingatan Sitor terhadap setiap karya puisinya. Sahabat-sahabatnya yang juga sastrawan, seperti Arifin C Noor, WS Rendra menyapanya dengan melafalkan petikan puisi Sitor. Dari sapaan salam itu pula Sitor mengenal nama dan identitas orang yang menyapanya. Karya-karya Sitor menghiasi panggung sastra Indonesia.

Di antara karyanya adalah, Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esainya ‘Sastra Revolusioner’ itu lah yang mengakibatkan Sitor mendekam di penjara Gang Tengah Salemba, Jakarta pada 1967 sampai dengan 1975. Tidak ada proses peradilan sebelumnya.

Dia dijebloskan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan pemberontakan. Esainya itu sarat kritik tajam. Sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI membuat rezim berkuasa saat itu merasa perlu menghentikan kreativitas Sitor.

Namun, ringan saja Sitor berkomentar, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja.” Itu alasan kenapa sastrawan besar itu terkurung di rutan Salemba delapan tahun berturut-turut. Sampai keluar dari penjara pun Sitor tak pernah tahu kesalahannya.

Tak ada seorang pun yang menghentikan Sitor menulis. Di dalam penjara, Sitor melahirkan dua karya sastra, Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Setelah sempat menjalani tahanan rumah, Sitor pilih menetap di luar negeri.

Sejak 1981, Sitor diangkat sebagai dosen di Universitas Leiden, Belanda. Dalam pengembaraan hidupnya, Sitor tak pernah berhenti menulis.

Saat melanglang buana ke berbagai negara, seperti Pakistan, Perancis, dan Belanda, Sitor menghasilkan banyak karya. Cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita Anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).

Dalam pengantar buku Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno karya Nani Nurani Affandi, Suma menyinggung pengalaman Sitor ditahan oleh rezim Orde Baru, lalu dikembalikan dalam keadaan hidup.

“Pada saat itulah dia merasakan bagaimana rasanya menjadi ‘barang’ yang diserahterimakan dari pihak penahannya ke pihak keluarganya,” demikian ditulis oleh Suma, seraya menganalogikan Sitor tak ubahnya mobil.

Sitor menggugat esensi dirinya yang dianalogikan sebagai barang, seakan tidak memiliki jiwa, pikiran, dan kebebasan. Suma memahami perasaan Sitor ketika itu yang dijadikan komoditas politik Orde Baru.

Suma menuliskan, rezim Orde Baru takut terhadap Sitor. Bila sudah begitu, rezim ini siap memberangus siapa saja yng dianggap membahayakan kekuasaan, sekalipun ia ‘hanya’ seorang penulis.

“Saya bukan orang politik,” kata Sitor semasa hidup dalam wawancara dengan sebuah media cetak, beberapa waktu lalu. “Saya aktif dengan cara saya, tetapi tidak berambisi jadi anggota Parlemen.”

Selama kebebasannya terbelenggu, Sitor merasa dirinya manusia yang bukan manusia. Padahal sesungguhnya, sebagaimana ditulis oleh Suma, esensi menjadi ‘orang’ adalah esensi kemanusiaan yang mendasar.

Dikenal sebagai penulis multitalenta yang melahirkan seabrek karya, dari puisi, esai, cerita pendek (cerpen), juga jurnalisme dan kritik sastra, di sejumlah media cetak.

Sempat menempuh pendidikan sinematografi di University of California (1956–57), namun agaknya ranah sastra lebih menarik minatnya. Usai merilis puisi pertama Kaliurang (1948), ide-ide berikutnya seolah tak terbendung.

Era 1950-an, Sitor hijrah ke Eropa untuk melanjutkan studi, dan merilis kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954). Satu dekade kemudian, ia dipenjara oleh rezim Orde Baru, dan dibebaskan pada 1976, tanpa prose pengadilan.

Bebas merdeka, Sitor kembali aktif menulis, hingga lanjut usia. Satu dekade lalu, ia merilis Lembah Kekal (2004) dan Biksu Tak Berjubah (2004). Ia juga sempat mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2010.

“Ketika otak tak lagi berpikir, pikiran tak lagi bekerja, maka kehidupan pun tak lagi berjalan,” kata Sitor saat merayakan ulang tahun ke-85 di Erasmus Huis, Jakarta. Agaknya tak ada yang mampu menghalangi ide-ide sang penyair bangsa ini.

Sang ‘penulis berbahaya’ ini telah menghembuskan napas terakhirnya pada Minggu (21/12) di Belanda pada usia 91 tahun. Sitor menutup usia karena usianya yang telah lanjut.

Sepanjang hidupnya, dia tak pernah melupakan Desa Harianboho yang terletak persis di bibir Danau Toba. Sitor lahir di desa berhawa sejuk ini pada 2 Oktober 1923, dan minta dikebumikan di samping makam ibunya seperti wasiatnya.

Kendati sebagian besar hidup Sitor dihabiskan di luar negeri, tapi bapak sastra Indonesia ini selalu menganggap dirinya sebagai orang Batak. Seorang kepala suku, jika memang sistem tata nilai lama adat Batak itu masih ada dan berlaku sampai saat ini.

Itulah sebab, sejumlah elemen masyarakat di Sumut menggelar doa bersama serta malam apresiasi untuk Sitor Situmorang. Kegiatan ini digelar Rumah Karya Indonesia (RKI) bekerja sama dengan sejumlah komunitas seni dan pegiat lingkungan. Antara lain, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, Bale Marojahan, Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Medan Seni Payung Teduh, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, Forum Sisingamangaraja XII, Suara Sama, Jendela Toba, dan Komunitas Bumi.

Rangkaian kegiatan doa bersama ini dilakukan di dua tempat. Yakni Taman Budaya Sumut pada tanggal 22 dan 23 Desember 2014, pukul 16.00-22.00 WIB sedangkan kegiatan khusus akan digelar di tanah kelahiran Sitor Situmorang di Harian Boho, 29 Desember 2014 mendatang.

“Di Bandung saja, para seniman telah beberapa kali menggelar doa dan malam apresiasi untuk Sitor, ketika mendengar beliau jatuh sakit di Belanda. Ini membuktikan nama besar Sitor. Pemerintah dan masyarakat Sumut mempunyai tanggung jawab moral terhadap ‘Penyair Danau Toba’ ini,” jelas Direktur Plot Thompson HS. (bbs/put/val)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/