SUMUTPOS.CO – Kantor redaksi majalah satir Charlie Hebdo di Paris diserang oleh orang-orang bersenjata yang kemudian menembak mati 12 orang, Rabu (07/01) lalu.
Penyerangan terhadap Charlie Hebdo bukan pertama kalinya terjadi. Pada November 2011, kantor majalah tersebut pernah diserang bom Molotov tak lama setelah menerbitkan kartun Nabi Muhammad dengan judul Charia Hebdo.
Stephane Charbonnier, editor Charlie Hebdo, juga beberapa kali menerima ancaman pembunuhan. Namun, baru pada Rabu (07/01) pembunuhan itu menjadi kenyataan tatkala dia dan tiga kartunis lainnya masuk daftar korban tewas.
SINDIRAN BERSEJARAH
Charlie Hebdo, sebagaimana dilaporkan wartawan BBC di Paris, Hugh Schofield, merupakan produk tradisi lama dalam jurnalisme Prancis. Tradisi ini menggabungkan radikalisme sayap kiri dengan jenis humor provokatif yang cenderung cabul.
Pada abad ke-18, jenis humor tersebut menargetkan keluarga kerajaan, dengan menyebarkan rumor-rumor mengenai kelakuan seksual dan korupsi yang terjadi di Istana Versailles lewat cerita dan gambar.
Setelah kaum royalis disingkirkan, tradisi itu mengincar kelompok lain, politisi, polisi, bankir, dan pemuka agama. Senjatanya adalah humor satir dan bukan menyebarkan kebohongan.
Kebiasaan lama yang cenderung kurang ajar tersebut – separuh mengejek, separuh mempromosikan diri sendiri – tetap diterapkan untuk mencibir.
KARTUN PROVOKATIF
Sirkulasi Charlie Hebdo memang tidak tinggi – bahkan selama 1981 hingga 1991, majalah itu tidak terbit karena kurang sumber daya.
Namun, karena kartun halaman depan majalah itu selalu mencolok dan judul menghasut, Charlie Hebdo selalu dapat ditemukan di kios koran dan penjual buku.
Karikatur adalah fitur utama Charlie Hebdo. Tiada figur yang lolos dari karikatur celaan majalah itu. Sosok Nabi Muhammad hanya sebagian dari ilustrasi kontroversial mereka. Sebelumnya, ada ilustrasi biarawati sedang bermasturbasi lalu Paus memakai kondom.
Sebagai majalah, Charlie Hebdo sering dibandingkan dengan saingan mereka, Le Canard Enchaine, yang selama ini lebih terkenal. Kedua publikasi tersebut dilatarbelakangi keinginan yang sama untuk menantang kelompok penguasa.
Tema yang diusung Le Canard biasanya mengenai kabar gosip dan informasi dalam, sedangkan konten Charlie lebih kasar dan kejam – menggunakan kartun dan ketajaman kontroversial.
PERANG IDEOLOGI
Seperti posisi mereka dalam ekstrem kiri perpolitikan Prancis, masa lalu Charlie Hebdo juga dibumbui perpecahan dan pengkhianatan ideologi,
Salah satu editor lama mereka mengundurkan diri setelah perdebatan mengenai karikatur anti-Yahudi.
Kebanyakan dari staf mereka – kartunis dan penulis – menggunakan nama pena.
Sebelum serangan hari Rabu, tim mereka dipimpin oleh Charbonnier – dikenal dengan nama Charb – dan kartunis lainnya bernama Riss. Namun semua orang mengetahui nama asli mereka.
Berdirinya Charlie Hebdo bermula dari publikasi satir lainnya bernama Hara-Kiri yang populer sekitar 1960-an.
Pada tahun 1970 terjadi dua peristiwa yang berujung pembentukan Charlie Hebdo. Kedua kejadian tersebut adalah sebuah kebakaran di diskotek yang menewaskan lebih dari 100 orang dan mangkatnya mantan Presiden Prancis Charles de Gaulle.
Hara-Kiri menerbitkan majalah mereka dengan judul yang mengejek kematian Gaulle: Bal tragique a Colombey – un mort, yang berarti “Tarian tragis di Colombey (kediaman Gaulle) – satu tewas.”
Kontroversi tersebut mengakibatkan Hara-Kiri ditutup. Staf Hara-Kiri kemudian membuat majalah baru – yaitu Charlie Hebdo. Menurut mereka nama tersebut dipilih karena mereka juga mencetak komik Amerika, Charlie Brown. (BBC)