Soal kekayaan, peningkatan harta Budi Gunawan masih kalah jauh dengan seorang polisi asal Serdang Bedagai yang bertugas di Papua. Ya, siapa lagi kalau bukan Aiptu Labora Sitorus yang menghebohkan pada 2013 lalu. Luar biasa, pangkat dan jabatannya terpisah jauh dengan Budi Gunawan, tapi dia punya rekening senilai Rp1,5 triliun. Kekayaan Sitorus kabarnya dari bisnis. Bisnisnya itu sudah dimulai sejak 1983. Semula dia menjual berbagai kebutuhan di atas kapal yang singgah di sekitar Sorong. Ia kemudian memilih menjadi aparat hukum untuk memuluskan bisnisnya.
Pertengahan 1990, Sitorus yang masih berstatus polisi berdagang minuman keras. Ia mengimpor minuman Cap Tikus dari Manado, Sulawesi Utara, ke Sorong. Ia membeli sebotol Cap Tikus di Manado dengan harga Rp 3.000. Diangkut lewat kapal, di lapak-lapak Sorong harganya jadi Rp 20 ribu per botol. Dari bisnis ini bapak lima anak itu mulai menimbun kekayaannya. Saking sibuk mengurusi bisnis, pada 2000-an Sitorus tak pernah terlihat di kantornya. Baik saat dia bertugas di Polres Sorong maupun setelah dipindahkan ke Polres hasil pemekaran, Raja Ampat, pada 2006. Ia pernah mengajukan surat pengunduran diri dari kepolisian, tapi ditolak. Dan, kini dia memang telah menjadi pesakitan, namun jumlah rekening itu semakin mematenkan cap kaya bagi aparat polisi.
Namun, nasib berbanding terbalik malah dirasakan Bripda Muhammad Taufik Hidayat. Polisi muda yang baru lulus dari SPN (Sekolah Polisi Negara) Selopamioro, akhir 2014 lalu. Berbekal niat dan keteguhan hati Taufik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di bangunan bekas kandang sapi mampu mewujudkan cita-citanya untuk bergabung bersama Polri.
Sangat miris ketika melihat rumah polisi muda putra dari pasangan Triyanto dan Martinem ini. Bangunan semi permanen di Jongke Tengah, Sendangadi, Mlati, Sleman, yang dulunya difungsikan sebagai kandang sapi oleh kelompok peternak di kampungnya, dialihfungsikan sebagai
tempat bernaung bagi ayah dan ketiga adiknya.
Tak berada jauh dari bangunan tersebut, masih berdiri kandang dengan sapi-sapinya. Bau kotoran sapi sudah menjadi kesehariannya. Dinding Batako tidak menutup semua bangunan tersebut, ada rongga besar yang menganga dan hanya tertutup kain. Begitu pula pintu rumahnya yang juga terbuat dari kain seadanya. Apabila hujan turun tentu saja air akan masuk ke dalam rumah yang tidak terlindung sepenuhnya itu.
Apabila cuaca dingin, hanya selimut yang bisa menghangatkan keluarga itu. Tak ada lemari di rumah tersebut, baju-baju Taufik termasuk seragamnya hanya menggantung di besi yang melintang dalam kamar. Kasur yang digunakan pun sudah kotor dan berlubang, hingga kapuk-kapuk di kasur bisa menyembul keluar. “Saya berangkat dari rumah jalan kaki, karena hal tersebut saya terlambat dinas, dan harus dihukum,” ujarnya, Rabu (14/1).
Dua sisi berbeda tidak hanya terjadi di polisi kelas ‘bawahan.’ Di tingkat atas, selain Komjen Budi Gunawan, ada Irjen Djoko Susilo yang tersangkut kasus simulator SIM. Sebagai Kepala Korlantas, Djoko diduga berperan dalam kasus dugaan korupsi simulator ujian SIM yang merugikan negara hingga Rp100 miliar ini.
Hal ini semakin menarik karena sejatinya ada sosok polisi yang cukup berpengaruh dan memberi warna di korps bhayangkara. Adalah Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Mantan Reskrim Sumut ini adalah Kapolri dengan masa jabatan 1968-1971.
Sejak mau dilantik sebagai Kapolri, Hoegeng memang sudah tak cocok dengan Presiden Soeharto . Tahun 1968, Hoegeng menghadap Soeharto . Saat itu Soeharto meminta agar polisi tak lagi bertugas di medan tempur. Dulu memang Brigade Mobil Polri terjun di berbagai pertempuran seperti TNI, mulai operasi Trikora di Papua, hingga Dwikora di Pedalaman Kalimantan.
“Kalau begitu angkatan lain juga jangan mencampuri tugas angkatan kepolisian,” jawab Hoegeng saat itu. Soeharto terdiam mendengarnya. Demikian ditulis dalam buku Hoegeng, terbitan Bentang.
Sepak terjang Hoegeng membuat kroni keluarga Cendana mulai terusik. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan orang-orang dekat Soeharto . Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971. Baru tiga tahun, Hoegeng menjabat. Seharusnya masih ada dua tahun lagi.
Ironinya dengan alasan penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun. Hoegeng menghadap Soeharto , dia menanyakan kenapa dicopot. Secara tersirat Soeharto berkata tak ada tempat untuk Hoegeng lagi. Dengan tegas Hoegeng menjawab. “Ya sudah. Saya keluar saja,” katanya.
Soeharto menawari Hoegeng dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain. Sebuah kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orde Baru. Hoegeng menolaknya.
“Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail,” sindir Hoegeng.
Ada beberapa penyebab kenapa Hoegeng diganti. Salah satunya kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi. Kasus itu sangat fenomenal pada akhir periode 1960-an sampai awal 1970-an. Robby adalah anak muda yang menyelundupkan ratusan mobil mewah ke Indonesia. Mulai Roll Royce, Jaguar, Alfa Romeo, BMW, Mercedes Benz dan lain-lain.
Robby menyuap sejumlah pihak di bea cukai dan kepolisian untuk melanggengkan aksinya. Diduga ada keterlibatan kroni keluarga Cendana dalam kasus ini.
Selain itu kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Jogjakarta. Anak seorang pejabat dan seorang anak pahlawan revolusi diduga ikut menjadi pelakunya.
Proses di pengadilan berjalan penuh rekayasa. Sumarijem yang menjadi korban malah menjadi tersangka. Hoegeng bertekad mengusut tuntas kasus ini. Dia siap menindak tegas para pelakunya walau dibekingi pejabat.
Itulah Hoegeng. Sosoknya kini dirundukan seiring kisruh calon kapolri Komjen Budi Gunawan. “Kita butuh Kapolri yang seperti Hoegeng, yang berintegritas dan profesional. Jangan hanya karena faktor kedekatan dan loyal,” kata Koordinator bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, belum lama ini. (bbs/rbb)