MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi II DPR terus mengikuti perkembangan kasus pengangkatan Hasban Ritonga sebagai Sekda Provsu, meski berstatus sebagai terdakwa. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum bisa mengintervensi masalah ini, lantaran dianggap masih merupakan ranah kewenangan pemerintah, dalam hal ini kemendagri.
Politikus Partai Golkar itu menilai, hingga saat ini masih ada upaya dari kemendagri untuk mengklirkan masalah ini. “Kita tunggu dulu perkembangannya, bagaimana nanti mendagri mendudukkan masalah ini,” ujar Rambe di Jakarta, Minggu (18/1).
Pria kelahiran di Pinarik, Padang Lawas itu juga sudah mendengar kabar mengenai rencana pihak kemendagri memanggil Hasban, Senin hari ini (19/1), setelah tertunda dari jadwal semula Jumat pekan lalu. Hanya saja, Rambe merasa heran atas langkah pemanggilan ini. Alasannya, Hasban dikabarkan masih berstatus sebagai tahanan kota.
“Kalau tahanan kota, masak dipanggil ke Jakarta? Kan nggak bisa. Tapi terserah kemendagri, yang terpenting bagaimana bisa segera mendudukkan masalah ini agar tidak menjadi polemik berkepanjangan,” kata Rambe.
Mengenai status Hasban sebagai tersangka, Rambe tidak menyatakan segara tegas bahwa Presiden Jokowi harus mencabut Keppres pengangkatan Hasban sebagai sekda. Hanya saja, dia juga tidak sependapat jika ada yang mengatakan status terdakwa tidak menghalangi seorang birokrat mendapatkan promosi jabatan.
Menurut Rambe, masalah ini memang hanya menyangkut etika pemerintahan. Namun, etika pemerintahan ini juga mendapat pengaturan khusus, antara lain di UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TAP MPR Nomor V/MPR/2001. Jadi, dasar hukumnya juga cukup kuat bahwa seorang berstatus terdakwa tidak boleh dipromosikan.
Di dalam TAP MPR Nomor V/MPR/2001, antara lain menyatakan, “Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara”.
Sedang di UU ASN pasal 5 intinya menyatakan bahwa kode etik dan kode perilaku bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Sementara, Asisten Deputi Penegakan Integritas SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Endang Susilowati, pernah mengatakan, PNS berstatus terdakwa dan ditahan, diberhentikan dari jabatannya.
“Penahanan tersebut berakibat diberhentikan dari jabatan, tapi statusnya tetap sebagai PNS sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Rujukannya jelas yaitu, UU 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,” terang Endang dalam keterangan persnya, tahun lalu, menanggani kasus serupa di sebuah daerah.
Sekedar perbandingan, kepala daerah yang berstatus tersangka dan ditahan, kewenanganya langsung dipreteli dan dilimpahkan ke wakil kepala daerah. Yang masih hangat adalah kasus Bupati Tapteng nonaktif Raja Bonaran Situmeang. Jadi aneh kalau pejabat berstatus terdakwa malah naik jabatan.
Diberitakan, kemendagri berniat memanggil Gubernur Sumut Gatot Pudjonugroho karena tetap melantik Hasban sebagai sekda Sumut, padahal sebelumnya sudah diminta agar Sekjen Kemendagri, Yuswandi Temenggung, juga mengatakan, pihaknya menjadwalkan akan memanggil Hasban, paling lambat Senin (19/1). (sam/smg/jpnn/trg)