28 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Seruwit

Cerpen:     Mashdar Zainal

Sepulang dari kerjanya—mengajar, buru-buru Hasbi ke ruang tengah, menengok meja makan. Tercenunglah ia sebentar di sana. Ditiliknya menu-menu ‘orang kota’ yang dipesan istrinya dari resto: nasi putih yang dibungkus kertas tipis yang ada tulisannya, fried chiken lengkap dengan saus dan sambal sasetnya, serta segelas plastik minuman kola. Hasbi hanya memandangi menu-menu
itu dengan mata malas.

Hasbi benar-benar merindukan dapur rumahnya mengepul, merindukan masakan-masakan rumah semacam menu-menu yang dimasak emaknya (almarhumah). Memang menu emaknya tak ada yang mahal-mahal, tapi rasanya selalu mantap. Macam seruwit, tempoyak, belide asap, terasi kangkung lalapan, tempe lawas, semua akan jadi menu istimewa setelah tersentuh tangan ajaib emaknya. Lamat-lamat Hasbi terngiang tutur almarhumah emaknya.
“Bujang, sudah lengkap umur kau buat naik puadai. Tunggu apa pula kau ini? Kalau kau memang srek sama muli-nya Haji Madun, siapa itu namanya? Ida atau siapa itu? Ya, itulah… pokoknya cepat-cepatlah kau nikahi dia. Tapi, ingat kata-kata emak. Dari gemulai tangannya, si Ida itu, tak pandai masak dia. Apalagi bikin seruwit. Maka itu, mumpung Emakmu ini masih sehat, belajarlah kau bikin seruwit.”

Itu dia. Mula-mula emak memang gamang ketika mengizinkan Hasbi meminang Ida. Tapi apa boleh cakap, Hasbi sudah cinta mati sama perempuan itu. Tak elok, kata emaknya, memutus pertalian jiwa dua orang yang sudah cocok. Maka dengan syarat, emaknya meloloskan ia memperistri Ida. Syarat yang tak rumit sebenarnya, hanya bikin seruwit.

“Bujang, apa kau pernah dengar upacara minum teh di Jepang? Ya, nyeruwit ini, ibarat upacara minum teh-nya keluarga kita. Sudah turun temurun dari canggah buyutmu. Kelak, kalau kau menikah dan punya anak, janganlah kau lupakan upacara nyeruit ini. Kau ni orang Lampung, walau laki, kau juga harus tahu cara bikin seruit. Kau tularkanlah nanti ajaran emakmu ini pada si Ida. Kau ni anak tunggal, apa kata uwak, pakcik kau nanti bila istrimu tak pandai masak, tak bisa bikin seruwit!”
***
Ida memang tipe orang yang tak bisa dipaksa. Setiapkali ada waktu senggang, dan Hasbi mengajaknya bikin seruwit (supaya dia bisa), Ida selalu menolak. Macam-macam saja alasannya.
“Seruwit lagi, seruwit lagi! Abang saja bikin sendiri.”
“Ayolah, Da. Mumpung longgar. Biar kuajari kau bikin seruit. Kau ni orang Lampung. Harus bisa kau bikin seruit.” Hasbi merajuk.
“Paling tidak kan, sebulan sekali, Abang sudah nyeruwit di rumah pakcik Mahmud atau Uwak Amir. Tidakkah itu cukup buat mengobati ngidammu, Bang?”

“Bukan begitu, Da. Sekali waktu, gantian lah kita yang ngundang mereka.”
“Akhir pekan ni buat istirahat, Bang! Relaksasi. Abang pula, apa tidak capek. Senin sampe Jum’at ngajar di kampus, berangkat pagi pulang sore. Sabtu-Ahad ni kita pake buat nyantai-nyantai saja, Bang!”
“Aduh, Da. Malu Abang sama uwak juga pakcik. Putus pula undangan kita buat nyeruit bareng. Dulu… Da,” Hasbi menerawang, “sewaktu emak masih hidup, keluarga Abang nih yang paling rajin undang dun sanak buat nyeruit bareng, di rumah Abang ni.”

“Abang kan bisa bikin seruit, kenapa tidak Abang saja yang bikin, lalu undanglah uwak, pakcik semua.”
Bagaimana lagi Hasbi musti menjelaskan. Pandai nian istrinya berbalas kata. Tidakkah bapaknya yang haji itu mengajarinya bagaimana bersikap santun pada suami. Untung saja perangai Hasbi lemah lembut dan tidak bisaan. Sekali dia cakap dan istrinya menimpali, lekas-lekas cakap ia sudahi. Hasbi tak mau memaksa istrinya yang memang keras kepala. Kalau Hasbi tak sabar, bisa-bisa pertengkaran yang akan jadi perhiasan rumah tangga. Apalagi Ida tengah mengandung. Ah, sudahlah. Lain waktu saja, selalu begitu pasrah Hasbi.

Maka setelah gagal mengajak istrinya, Hasbi bertindak sendiri. Berbelanjalah ia ke pasar terdekat. Di borongnya ikan patin segar, terong ungu, limau kunci, mentimun, dan daun singkong. Tak lupa pula ia memesan tempoyak jadi ke makcik Nurul. Diraciknya sendiri bumbu-bumbu itu. Dengan luwes Hasbi melumat cabai, terasi, dan bumbu-bumbu dalam cobek besar. Dicucinya sendiri daun singkong dan direbusnya dengan air yang dibubuhi sedikit garam. Digorengnya ikan patin segar dengan hati-hati. Sepanjang Hasbi memasak, sesekali saja Ida menengok ke dapur, lalu kembali ke depan tivi. Hasbi geleng-geleng sambil tersenyum.

“Seruwit bikinan Abang sudah siap ni, Da. Tak sudikah kau mencobanya? Rasanya mantap ini, macam bikinan emakku,” Hasbi berteriak dari dapur.
“Cepat sekali kau bikinnya, Bang,” balas Ida dari ruang tengah. Perlahan Ida mendekati suaminya yang bau asap dapur.
“Apa kubilang, bikin seruwit tuh mudah. Aku saja yang laki bisa, apalagi kau.”
“Coba ya, Bang,” Ida mencomot daun singkong rebus dan mencocolnya ke sambal seruit yang sudah terhidang rapi di cobek kecil.
“Jangan banyak-banyak sambalnya. Pedas itu!”
“Aku kan suka pedas, Bang.”
“Bagaimana?”
“Uhfff…. Mantap memang, Bang. Jadi inget seruitnya almarhumah emak.”
“Maka itu, sudilah kau belajar bikin seruwit.”
“Iya, bang! Iya. Lain kali, kalau ada waktu luang, Ida janji. Belajar bikin seruwit.”
“Nah, itu baru istri Abang.”
***
Minggu depan Hasbi bertekad ingin mengundang uwak, pakciknya. Tak ada rugi memang, ia belajar bikin seruit pada ahlinya: almarhumah emak. Tak akan lagi ia memaksa-maksa Ida. Cukuplah ia disindir dengan sikap, lambat laun pasti akan luluh juga.

Tanpa ba-bi-bu, minggu pagi Hasbi bergegas ke pasar. Ditinggalkannya Ida seorang di rumah. Toh, Ida masih sibuk dengan urusan cucian. Tak ada salahnya ia berangkat sendiri. Dibelinya bahan-bahan nyeruwit sebagaimana layaknya. Diraciknya sendiri bumbu-bumbu itu. Berjibakulah Hasbi dengan perkakas dan asap kompor.
“Sebentar ya, Bang. Selepas menjemur ini Ida bantu,” lirik Ida sambil menyangking bak cucinya. Hasbi tersenyum manis. Bertambah saja cintanya pada Ida. Sejatinya Ida memang perempuan yang kalem, meski kadang kala keras kepala dan menjengkelkan.
“Ida selesai, Bang. Sekarang apa yang bisa Ida bantu?” Ida mendekati suaminya yang masih sibuk dengan bumbu-bumbu.
“Duduklah kau yang manis. Lihat saja bagaimana Abang meramu menu istimewa ini. Abang tahu, kau masih kepayahan. Ambillah napas dulu.”

“Iya, Bang. Ida akan simak baik-baik, seperti apa koki Ida ni bikin seruit.”
“Kalau kau bikin seruwit, Abang sarankan kau pilihlah ikan patin, atau baung yang masih segar. Layis atau ikan Mas juga boleh. Kau gorenglah ikan-ikan tu, kau panggang juga bisa. Selepas itu kau racik bumbu-bumbu lainya, kau bikinlah sambal terasinya, kau pangganglah terung unggunya, kau rebuslah daun singkongnya. Tempoyaknya jangan sampai lupa. Oh ya, supaya lebih mantap kau tambahlah isi mentimun tuh. Kalau bahan-bahan sudah siap, kau aduklah semuanya dalam satu wadah. Dan seruit siap dihidangkan.”
“Tampaknya tak sulit-sulit amat, Bang.”

“Memang tak sulit. Abang saja butuh waktu setengah hari buat belajar bikin seruit dari emak. Dan hasilnya…”
“Iya lah, Bang, Ida tak sangsi itu.”

“Oh ya, Da. Kalau kau suka lalapan mentah, bolehlah kau petik pucuk daun jambu mente, atau kemangi. Kalau kau suka jengkol, ya jengkol. Tapi kalau Abang paling suka kacang panjang. Bagaimana?”
“Oke, Bang. Ida sudah ada bayangan.”
“Sebenarnya, Da, bagi keluarga kita ni, nyeruwit tu tak ubahnya alat. Alat buat ngikat silaturrahim ke sanak kerabat, ke pakcik, uwak, sodara-sodara jauh. Dulu sewaktu emak muda, upacara nyeruit nih, dilakukan paling sedikit seminggu sekali. Bergantian pula. Kalau minggu ini di rumah Wak Amir, minggu depannya di rumah Pakcik Mahmud, dan minggu berikutnya di rumah emak. Begitu seterusnya.”
“Iya, Bang, bener. Sekarang Ida ngerti. Kenapa Abang bersikeras macam almarhumah emak.” Ida manggut-manggut.
***

Paripurna sudah, para kerabat Hasbi sudah pada datang. Pakcik Mahmud beserta keluarga besarnya, tak ketinggalan pula uwak amir beserta istri dan anak cucunya. Hasbi mengelar karpet di ruang tengah. Menu-menu dikeluarkan satu persatu. Mereka duduk bersila, melingkar layaknya acara tahlilan. Setelah sedikit mukaddimah dan berkirim doa, pesta nyeruit pun dimulai.

“Mmm… mantap nian seruwit kau ni, Hasbi. Persis bikinan emak kau. Terasinya kerasa. Siapa yang bikin?” Pakcik Mahmud berkomentar. Hasbi dan ida saling melempar pandang.
“Si Ida ini Pakcik, yang bikin,” sahut Hasbi. Ida melonggo, memicingkan mata ke suaminya.
“Tak rugi kau punya istri macam dia ni. Sudah cantik, pinter masak pula,” Uwak amir urun tutur. Ida tersipu-sipu.
“Serbatnya juga silahkan dicuba! Ida juga yang bikin itu. Tak pakai gula itu, tapi pakai madu. Iya, kan, Da?” Hasbi berkoar lagi.

Ida menekuk muka, “Iya.” Lirihnya.
Selepas para kerabat pulang, Ida memberondong Hasbi dengan pertanyaan dan protes.
“Kenapa pula abang, ni. Pakai bilang aku segala yang meracik seruit. Manalah aku bisa? Kalau mereka bertanya ini-itu. Bagaimana harus kujawab, Bang?”
“Sudahlah, Da. Abang cuma mau, mereka tu bangga sama kau, istri Abang yang cantik dan pintar masak ni.”
“Abang nyindir Ida, ya?” Ida memukul ringan lengan suaminya. Hasbi malah cekikikan.
“Kau cantik, itu tak diragukan. Kau pandai masak pula, kan?”
Ida terdiam. Tapi senyumnya mengembang. Senyum malu-malu.

***
Di usia kndungan Ida yang kian tua. Rasa cinta Hasbi bertambah-tambah. Seolah tak rela ia melihat istrinya bersusah-susah. Tak ada lagi ia paksa-paksa si Ida buat belajar bikin seruit. Bahkan Hasbi menyarankan istrinya untuk segera mengambil cuti. Kandungannya butuh istirahat. Sudah delapan bulanan. Dengan takdhim pula, ida menuruti saran suaminya. Mengambil perlop. Jadi, Hasbi berangkat ke kampus, dan ida yang menyiapkan sarapan di rumah. Sarapan tak perlu berat-berat. Kalaupun Ida malas masak. Hasbi sendiri yang akan berpesan lauk-pauk ke warung makcik Nurul. Pun pagi-pagi Hasbi sudah mencuci beras dan menyolokkan rice coocker. Jadi, Ida tak perlu repot-repot. Biarkan Ida nyaman dengan kandungannya, begitu pikir Hasbi.
Ida jadi terkagum-kagum dengan sikap suaminya, benar-benar penyabar dan pengertian. Tiba-tiba Ida menyesal, dia merasa selama ini telah menyakiti Hasbi, tak pernah menuruti kata-katanya, selalu membangkang bila diajak bicara. Diam-diam ia terisak. Dia merasa sangat beruntung beroleh suami macam Hasbi. Ingin rasanya ia menyusul Hasbi ke tempat kerjannya, mengucup tangannya agak lama, dan meminta maaf. Ida tercenung lama. Beberapa saat kemudian ia tersenyum menuju dapur.
***
Sepulang dari kerjanya, Hasbi terkejut setengah mati. Ia hampir tak percaya. Dilihatnya meja makan yang penuh dengan aneka macam masakkan. Tapi satu tatapnya tertuju: seruit. Buru-buru Hasbi meletakkan tas dan melingkar di hadap meja makan.

“Percaya tak percaya. Sedap tak sedap. Itu, Ida yang bikin, Bang,” tutur Ida kalem.
Hasbi menggeleng-geleng kepala. “Ini benar-benar kejutan paling menyenangkan yang pernah Abang dapat, Da. Kau tahu itu?” Hasbi mendekati istrinya dan mengucup keningnya agak lama.
“Ayolah Abang cuba! Moga tidak mengecewakan,” gumam Ida.
“Kau mau bikin seruwit saja, itu sudah bikin Abang senang bukan kepalang. Pun kalau rasanya kelewat masin, Abang akan tetap santap.”

Ida tersenyum. Menunggu suaminya mencoba masakan yang telah susah payah diraciknya. Ida mengambilkan sepiring nasi buat suaminya. Pun Hasbi mulai mencicipi seruwit yang sudah tertata di hadapannya. Ida deg-degan. Tak sabar menunggu komentar dari suaminya. Setelah beberapa kunyah. Hasbi terdiam sejenak.
“Tak enak, ya, Bang?” lirih Ida.

Hasbi menatap istrinya saksama. Menyiapka kata-kata.
“Bagaimana, Bang?” Ida penasaran.
“Abang akan buka kedai, dan seruwit bikinanmu akan jadi menu utamanya. Kedai Seruwit Hasida: Hasbi-Ida,” ucap Hasbi yakin.
Mereka saling tatap lalu tertawa agak panjang. Seolah saling memastikan, bahwa hari-hari mereka ke depan akan dipenuhi dengan kejutan-kejutan. ***

Lembah Ibarat
Malang, 2010, 2011
Catatan:
Seruwit: Seruit adalah makanan khas provinsi Lampung, yaitu masakan ikan yang digoreng atau dibakar dan dicampur sambel terasi, dan tempoyak (olahan durian).

Cerpen:     Mashdar Zainal

Sepulang dari kerjanya—mengajar, buru-buru Hasbi ke ruang tengah, menengok meja makan. Tercenunglah ia sebentar di sana. Ditiliknya menu-menu ‘orang kota’ yang dipesan istrinya dari resto: nasi putih yang dibungkus kertas tipis yang ada tulisannya, fried chiken lengkap dengan saus dan sambal sasetnya, serta segelas plastik minuman kola. Hasbi hanya memandangi menu-menu
itu dengan mata malas.

Hasbi benar-benar merindukan dapur rumahnya mengepul, merindukan masakan-masakan rumah semacam menu-menu yang dimasak emaknya (almarhumah). Memang menu emaknya tak ada yang mahal-mahal, tapi rasanya selalu mantap. Macam seruwit, tempoyak, belide asap, terasi kangkung lalapan, tempe lawas, semua akan jadi menu istimewa setelah tersentuh tangan ajaib emaknya. Lamat-lamat Hasbi terngiang tutur almarhumah emaknya.
“Bujang, sudah lengkap umur kau buat naik puadai. Tunggu apa pula kau ini? Kalau kau memang srek sama muli-nya Haji Madun, siapa itu namanya? Ida atau siapa itu? Ya, itulah… pokoknya cepat-cepatlah kau nikahi dia. Tapi, ingat kata-kata emak. Dari gemulai tangannya, si Ida itu, tak pandai masak dia. Apalagi bikin seruwit. Maka itu, mumpung Emakmu ini masih sehat, belajarlah kau bikin seruwit.”

Itu dia. Mula-mula emak memang gamang ketika mengizinkan Hasbi meminang Ida. Tapi apa boleh cakap, Hasbi sudah cinta mati sama perempuan itu. Tak elok, kata emaknya, memutus pertalian jiwa dua orang yang sudah cocok. Maka dengan syarat, emaknya meloloskan ia memperistri Ida. Syarat yang tak rumit sebenarnya, hanya bikin seruwit.

“Bujang, apa kau pernah dengar upacara minum teh di Jepang? Ya, nyeruwit ini, ibarat upacara minum teh-nya keluarga kita. Sudah turun temurun dari canggah buyutmu. Kelak, kalau kau menikah dan punya anak, janganlah kau lupakan upacara nyeruit ini. Kau ni orang Lampung, walau laki, kau juga harus tahu cara bikin seruit. Kau tularkanlah nanti ajaran emakmu ini pada si Ida. Kau ni anak tunggal, apa kata uwak, pakcik kau nanti bila istrimu tak pandai masak, tak bisa bikin seruwit!”
***
Ida memang tipe orang yang tak bisa dipaksa. Setiapkali ada waktu senggang, dan Hasbi mengajaknya bikin seruwit (supaya dia bisa), Ida selalu menolak. Macam-macam saja alasannya.
“Seruwit lagi, seruwit lagi! Abang saja bikin sendiri.”
“Ayolah, Da. Mumpung longgar. Biar kuajari kau bikin seruit. Kau ni orang Lampung. Harus bisa kau bikin seruit.” Hasbi merajuk.
“Paling tidak kan, sebulan sekali, Abang sudah nyeruwit di rumah pakcik Mahmud atau Uwak Amir. Tidakkah itu cukup buat mengobati ngidammu, Bang?”

“Bukan begitu, Da. Sekali waktu, gantian lah kita yang ngundang mereka.”
“Akhir pekan ni buat istirahat, Bang! Relaksasi. Abang pula, apa tidak capek. Senin sampe Jum’at ngajar di kampus, berangkat pagi pulang sore. Sabtu-Ahad ni kita pake buat nyantai-nyantai saja, Bang!”
“Aduh, Da. Malu Abang sama uwak juga pakcik. Putus pula undangan kita buat nyeruit bareng. Dulu… Da,” Hasbi menerawang, “sewaktu emak masih hidup, keluarga Abang nih yang paling rajin undang dun sanak buat nyeruit bareng, di rumah Abang ni.”

“Abang kan bisa bikin seruit, kenapa tidak Abang saja yang bikin, lalu undanglah uwak, pakcik semua.”
Bagaimana lagi Hasbi musti menjelaskan. Pandai nian istrinya berbalas kata. Tidakkah bapaknya yang haji itu mengajarinya bagaimana bersikap santun pada suami. Untung saja perangai Hasbi lemah lembut dan tidak bisaan. Sekali dia cakap dan istrinya menimpali, lekas-lekas cakap ia sudahi. Hasbi tak mau memaksa istrinya yang memang keras kepala. Kalau Hasbi tak sabar, bisa-bisa pertengkaran yang akan jadi perhiasan rumah tangga. Apalagi Ida tengah mengandung. Ah, sudahlah. Lain waktu saja, selalu begitu pasrah Hasbi.

Maka setelah gagal mengajak istrinya, Hasbi bertindak sendiri. Berbelanjalah ia ke pasar terdekat. Di borongnya ikan patin segar, terong ungu, limau kunci, mentimun, dan daun singkong. Tak lupa pula ia memesan tempoyak jadi ke makcik Nurul. Diraciknya sendiri bumbu-bumbu itu. Dengan luwes Hasbi melumat cabai, terasi, dan bumbu-bumbu dalam cobek besar. Dicucinya sendiri daun singkong dan direbusnya dengan air yang dibubuhi sedikit garam. Digorengnya ikan patin segar dengan hati-hati. Sepanjang Hasbi memasak, sesekali saja Ida menengok ke dapur, lalu kembali ke depan tivi. Hasbi geleng-geleng sambil tersenyum.

“Seruwit bikinan Abang sudah siap ni, Da. Tak sudikah kau mencobanya? Rasanya mantap ini, macam bikinan emakku,” Hasbi berteriak dari dapur.
“Cepat sekali kau bikinnya, Bang,” balas Ida dari ruang tengah. Perlahan Ida mendekati suaminya yang bau asap dapur.
“Apa kubilang, bikin seruwit tuh mudah. Aku saja yang laki bisa, apalagi kau.”
“Coba ya, Bang,” Ida mencomot daun singkong rebus dan mencocolnya ke sambal seruit yang sudah terhidang rapi di cobek kecil.
“Jangan banyak-banyak sambalnya. Pedas itu!”
“Aku kan suka pedas, Bang.”
“Bagaimana?”
“Uhfff…. Mantap memang, Bang. Jadi inget seruitnya almarhumah emak.”
“Maka itu, sudilah kau belajar bikin seruwit.”
“Iya, bang! Iya. Lain kali, kalau ada waktu luang, Ida janji. Belajar bikin seruwit.”
“Nah, itu baru istri Abang.”
***
Minggu depan Hasbi bertekad ingin mengundang uwak, pakciknya. Tak ada rugi memang, ia belajar bikin seruit pada ahlinya: almarhumah emak. Tak akan lagi ia memaksa-maksa Ida. Cukuplah ia disindir dengan sikap, lambat laun pasti akan luluh juga.

Tanpa ba-bi-bu, minggu pagi Hasbi bergegas ke pasar. Ditinggalkannya Ida seorang di rumah. Toh, Ida masih sibuk dengan urusan cucian. Tak ada salahnya ia berangkat sendiri. Dibelinya bahan-bahan nyeruwit sebagaimana layaknya. Diraciknya sendiri bumbu-bumbu itu. Berjibakulah Hasbi dengan perkakas dan asap kompor.
“Sebentar ya, Bang. Selepas menjemur ini Ida bantu,” lirik Ida sambil menyangking bak cucinya. Hasbi tersenyum manis. Bertambah saja cintanya pada Ida. Sejatinya Ida memang perempuan yang kalem, meski kadang kala keras kepala dan menjengkelkan.
“Ida selesai, Bang. Sekarang apa yang bisa Ida bantu?” Ida mendekati suaminya yang masih sibuk dengan bumbu-bumbu.
“Duduklah kau yang manis. Lihat saja bagaimana Abang meramu menu istimewa ini. Abang tahu, kau masih kepayahan. Ambillah napas dulu.”

“Iya, Bang. Ida akan simak baik-baik, seperti apa koki Ida ni bikin seruit.”
“Kalau kau bikin seruwit, Abang sarankan kau pilihlah ikan patin, atau baung yang masih segar. Layis atau ikan Mas juga boleh. Kau gorenglah ikan-ikan tu, kau panggang juga bisa. Selepas itu kau racik bumbu-bumbu lainya, kau bikinlah sambal terasinya, kau pangganglah terung unggunya, kau rebuslah daun singkongnya. Tempoyaknya jangan sampai lupa. Oh ya, supaya lebih mantap kau tambahlah isi mentimun tuh. Kalau bahan-bahan sudah siap, kau aduklah semuanya dalam satu wadah. Dan seruit siap dihidangkan.”
“Tampaknya tak sulit-sulit amat, Bang.”

“Memang tak sulit. Abang saja butuh waktu setengah hari buat belajar bikin seruit dari emak. Dan hasilnya…”
“Iya lah, Bang, Ida tak sangsi itu.”

“Oh ya, Da. Kalau kau suka lalapan mentah, bolehlah kau petik pucuk daun jambu mente, atau kemangi. Kalau kau suka jengkol, ya jengkol. Tapi kalau Abang paling suka kacang panjang. Bagaimana?”
“Oke, Bang. Ida sudah ada bayangan.”
“Sebenarnya, Da, bagi keluarga kita ni, nyeruwit tu tak ubahnya alat. Alat buat ngikat silaturrahim ke sanak kerabat, ke pakcik, uwak, sodara-sodara jauh. Dulu sewaktu emak muda, upacara nyeruit nih, dilakukan paling sedikit seminggu sekali. Bergantian pula. Kalau minggu ini di rumah Wak Amir, minggu depannya di rumah Pakcik Mahmud, dan minggu berikutnya di rumah emak. Begitu seterusnya.”
“Iya, Bang, bener. Sekarang Ida ngerti. Kenapa Abang bersikeras macam almarhumah emak.” Ida manggut-manggut.
***

Paripurna sudah, para kerabat Hasbi sudah pada datang. Pakcik Mahmud beserta keluarga besarnya, tak ketinggalan pula uwak amir beserta istri dan anak cucunya. Hasbi mengelar karpet di ruang tengah. Menu-menu dikeluarkan satu persatu. Mereka duduk bersila, melingkar layaknya acara tahlilan. Setelah sedikit mukaddimah dan berkirim doa, pesta nyeruit pun dimulai.

“Mmm… mantap nian seruwit kau ni, Hasbi. Persis bikinan emak kau. Terasinya kerasa. Siapa yang bikin?” Pakcik Mahmud berkomentar. Hasbi dan ida saling melempar pandang.
“Si Ida ini Pakcik, yang bikin,” sahut Hasbi. Ida melonggo, memicingkan mata ke suaminya.
“Tak rugi kau punya istri macam dia ni. Sudah cantik, pinter masak pula,” Uwak amir urun tutur. Ida tersipu-sipu.
“Serbatnya juga silahkan dicuba! Ida juga yang bikin itu. Tak pakai gula itu, tapi pakai madu. Iya, kan, Da?” Hasbi berkoar lagi.

Ida menekuk muka, “Iya.” Lirihnya.
Selepas para kerabat pulang, Ida memberondong Hasbi dengan pertanyaan dan protes.
“Kenapa pula abang, ni. Pakai bilang aku segala yang meracik seruit. Manalah aku bisa? Kalau mereka bertanya ini-itu. Bagaimana harus kujawab, Bang?”
“Sudahlah, Da. Abang cuma mau, mereka tu bangga sama kau, istri Abang yang cantik dan pintar masak ni.”
“Abang nyindir Ida, ya?” Ida memukul ringan lengan suaminya. Hasbi malah cekikikan.
“Kau cantik, itu tak diragukan. Kau pandai masak pula, kan?”
Ida terdiam. Tapi senyumnya mengembang. Senyum malu-malu.

***
Di usia kndungan Ida yang kian tua. Rasa cinta Hasbi bertambah-tambah. Seolah tak rela ia melihat istrinya bersusah-susah. Tak ada lagi ia paksa-paksa si Ida buat belajar bikin seruit. Bahkan Hasbi menyarankan istrinya untuk segera mengambil cuti. Kandungannya butuh istirahat. Sudah delapan bulanan. Dengan takdhim pula, ida menuruti saran suaminya. Mengambil perlop. Jadi, Hasbi berangkat ke kampus, dan ida yang menyiapkan sarapan di rumah. Sarapan tak perlu berat-berat. Kalaupun Ida malas masak. Hasbi sendiri yang akan berpesan lauk-pauk ke warung makcik Nurul. Pun pagi-pagi Hasbi sudah mencuci beras dan menyolokkan rice coocker. Jadi, Ida tak perlu repot-repot. Biarkan Ida nyaman dengan kandungannya, begitu pikir Hasbi.
Ida jadi terkagum-kagum dengan sikap suaminya, benar-benar penyabar dan pengertian. Tiba-tiba Ida menyesal, dia merasa selama ini telah menyakiti Hasbi, tak pernah menuruti kata-katanya, selalu membangkang bila diajak bicara. Diam-diam ia terisak. Dia merasa sangat beruntung beroleh suami macam Hasbi. Ingin rasanya ia menyusul Hasbi ke tempat kerjannya, mengucup tangannya agak lama, dan meminta maaf. Ida tercenung lama. Beberapa saat kemudian ia tersenyum menuju dapur.
***
Sepulang dari kerjanya, Hasbi terkejut setengah mati. Ia hampir tak percaya. Dilihatnya meja makan yang penuh dengan aneka macam masakkan. Tapi satu tatapnya tertuju: seruit. Buru-buru Hasbi meletakkan tas dan melingkar di hadap meja makan.

“Percaya tak percaya. Sedap tak sedap. Itu, Ida yang bikin, Bang,” tutur Ida kalem.
Hasbi menggeleng-geleng kepala. “Ini benar-benar kejutan paling menyenangkan yang pernah Abang dapat, Da. Kau tahu itu?” Hasbi mendekati istrinya dan mengucup keningnya agak lama.
“Ayolah Abang cuba! Moga tidak mengecewakan,” gumam Ida.
“Kau mau bikin seruwit saja, itu sudah bikin Abang senang bukan kepalang. Pun kalau rasanya kelewat masin, Abang akan tetap santap.”

Ida tersenyum. Menunggu suaminya mencoba masakan yang telah susah payah diraciknya. Ida mengambilkan sepiring nasi buat suaminya. Pun Hasbi mulai mencicipi seruwit yang sudah tertata di hadapannya. Ida deg-degan. Tak sabar menunggu komentar dari suaminya. Setelah beberapa kunyah. Hasbi terdiam sejenak.
“Tak enak, ya, Bang?” lirih Ida.

Hasbi menatap istrinya saksama. Menyiapka kata-kata.
“Bagaimana, Bang?” Ida penasaran.
“Abang akan buka kedai, dan seruwit bikinanmu akan jadi menu utamanya. Kedai Seruwit Hasida: Hasbi-Ida,” ucap Hasbi yakin.
Mereka saling tatap lalu tertawa agak panjang. Seolah saling memastikan, bahwa hari-hari mereka ke depan akan dipenuhi dengan kejutan-kejutan. ***

Lembah Ibarat
Malang, 2010, 2011
Catatan:
Seruwit: Seruit adalah makanan khas provinsi Lampung, yaitu masakan ikan yang digoreng atau dibakar dan dicampur sambel terasi, dan tempoyak (olahan durian).

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/