26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kok Jahatnya ya Orang Itu…

azrul ananda

***

Saya punya dua ayah. Yang satu namanya Dahlan. Orang yang luar biasa. Seorang Superman. Yang luar biasa perjalanan hidupnya, yang luar biasa kemampuannya dalam membuat keputusan dan mengatasi masalah-masalah yang luar biasa.

Tidak banyak orang sehebat dia. Semakin saya dewasa, semakin saya tua, semakin sadar bahwa memang tidak banyak orang seperti dia. Saya pun tidak seperti dia. Dan tidak akan berpura-pura mengaku lebih hebat dari dia.

Tapi, memang sejak kecil kami tidak pernah punya hubungan ayah-anak yang “normal”. Dia “mendidik” saya dengan memberikan kebebasan dan memberikan ruang gerak untuk melakukan banyak kesalahan.

Sama seperti kebanyakan orang yang nge-fans sama dia (dan jumlahnya banyak!), saya juga belajar dari mengamati cara-cara dia dalam berbuat dan membuat keputusan.

Saya beruntung punya ayah satu lagi. Namanya John R. Mohn.

Dulu, waktu lulus SMP, saya “dipaksa” pergi untuk SMA ke Amerika dengan alasan “mumpung mampu”. Walau sebenarnya mungkin untuk mengamankan saya (dan adik saya) dari kesulitan dan ancaman hidup di industri pers zaman itu.

Dasar nasib, saya lulus tes pertukaran pelajar, jadi bisa hemat ikut SMA gratis di Amerika (dan waktu itu sebenarnya kami belum terlalu mampu).

Karena pertukaran pelajar, saya tidak punya pilihan sekolah di mana. Pada akhir camp persiapan di kawasan Seattle, kami harus melihat papan pengumuman untuk mengetahui bakal “diasingkan” ke mana.

Baru merayakan ulang tahun ke-16, saya pun menuju sebuah kota kecil bernama Ellinwood, Kansas.

Penduduknya hanya 2.800 orang. Luasnya hanya 1,6 x 1,6 kilometer.

Letaknya di tengah negara bagian Kansas, yang terletak pas di tengah-tengah negara Amerika Serikat. Untuk ke sana, harus naik mobil 6″7 jam dari Kansas City atau 3-4 jam dari Wichita.

Ketika tiba di Ellinwood, malam sudah larut, dan saya disambut keluarga Mohn. Saya tanya ke John, yang akan jadi “bapak angkat” saya selama SMA, apa pekerjaan dia. Jawabannya: Kami pengelola koran lokal di sini.

Istrinya, Chris, adalah pemimpin redaksi Ellinwood Leader, nama koran itu. “Dasar takdir, saya kumpul keluarga koran terus.” Begitu perasaan saya waktu itu.

Keduanya juga merangkap jadi guru di SMA setempat. John guru bahasa Inggris dan jurnalistik serta fotografi, Chris guru bahasa Spanyol.

Selama setahun itu, terus terang saya punya hubungan lebih intensif dengan keduanya. Berangkat ke sekolah bersama, makan pagi, siang, dan malam bersama. Pergi ke supermarket bersama. Dan kemudian saya ikut membantu bekerja di korannya.

Benar-benar seperti punya “ayah” dalam arti yang “normal”.

Kayaknya ayah saya yang namanya Dahlan sempat cemburu wkwkwkwkwk. Tapi, dia pun sering bercanda kepada orang lain bahwa ayah saya yang bener ya Si John itu.

John ini seorang pengajar yang luar biasa. Murid-muridnya sering jadi juara tingkat negara bagian (seperti juara provinsi) dalam berbagai kompetisi jurnalistik.

Kalau mencoba mengajak saya berpikir, dia sering mengajak diskusi, dan saya bebas bicara apa saja. Tidak pernah dibenarkan, tidak pernah disalahkan.

Kadang pertanyaannya pun “berat” untuk seorang anak SMA.

Salah satu pertanyaan yang pernah dia ajukan untuk “menggelitik” pikiran saya adalah:

“Rully (itu panggilan dia kepada saya, Red), kamu percaya atau tidak bahwa ada orang yang memang dilahirkan jahat?”

Dasar masih SMA, mau jawab apa” Asal jeplak saja saya bilang, “Iya.”

Dia tidak membenarkan atau menyalahkan saya. Tapi, dia mengajak berpikir dari sisi lain. Sebagai counterargument, John bilang bahwa bisa saja itu tidak benar.

“Mungkin saja semua orang itu dilahirkan baik. Pendidikan atau kurangnya pendidikan, yang membuat mereka jadi jahat,” kata John.

***

Pertanyaan itu sangat sederhana. Tapi, sampai sekarang, sekitar 20 tahun kemudian, pertanyaan tersebut sering kembali muncul di kepala saya.

Apalagi kalau melihat orang di sekeliling kita sendiri, bertemu dengan orang baru, membaca tentang orang, atau mendengar tentang orang yang melakukan sesuatu yang bisa diartikan “jahat”.

Mungkin kita memang harus positive thinking, percaya bahwa pada intinya semua orang itu baik. Mungkin tidak semua orang dapat kesempatan memperoleh pendidikan. Situasi membuat atau memaksa mereka melakukan apa itu yang dianggap “jahat”.

Masalahnya, kok banyak ya orang yang “berpendidikan” sangat tinggi tetap berbuat “jahat”?

Saya punya kenalan, sama-sama kuliah di Amerika, tapi hobinya “menipu” orang dengan berjualan barang fiktif secara online. Kepepet ekonomi juga tidak, punya kebutuhan tinggi juga tidak.

Ada cerita teman baik kena tipu teman sendiri sampai miliaran rupiah, dan yang menipu juga sebenarnya juga bukan orang kepepet.

Dan tentu banyak orang yang pekerjaan sehari-harinya banyak dianggap orang “jahat”. Memeras orang, jadi kaya raya karena itu, tapi juga tidak berubah walau sudah keliling dunia, kenal banyak orang, dan belajar tentang orang lain yang dianggap “baik” di dunia ini.

Dan saya tidak mau bicara soal dunia POLITIK”

Terus terang, saya juga bukan orang paling baik sedunia. Kadang juga jahat “tipis-tipis” atau jahat iseng. Tapi, dalam hati selalu percaya bahwa itu untuk yang lebih baik. Pokoknya kalau ditanya nanti bisa saya pertanggungjawabkan konsekuensinya.

Cuman ya itu. Berkali-kali juga lihat orang lain dan elus-elus dada sambil berucap dalam hati, “Kok jahatnya ya orang itu… Makan apa tho waktu kecil?” (*)

azrul ananda

***

Saya punya dua ayah. Yang satu namanya Dahlan. Orang yang luar biasa. Seorang Superman. Yang luar biasa perjalanan hidupnya, yang luar biasa kemampuannya dalam membuat keputusan dan mengatasi masalah-masalah yang luar biasa.

Tidak banyak orang sehebat dia. Semakin saya dewasa, semakin saya tua, semakin sadar bahwa memang tidak banyak orang seperti dia. Saya pun tidak seperti dia. Dan tidak akan berpura-pura mengaku lebih hebat dari dia.

Tapi, memang sejak kecil kami tidak pernah punya hubungan ayah-anak yang “normal”. Dia “mendidik” saya dengan memberikan kebebasan dan memberikan ruang gerak untuk melakukan banyak kesalahan.

Sama seperti kebanyakan orang yang nge-fans sama dia (dan jumlahnya banyak!), saya juga belajar dari mengamati cara-cara dia dalam berbuat dan membuat keputusan.

Saya beruntung punya ayah satu lagi. Namanya John R. Mohn.

Dulu, waktu lulus SMP, saya “dipaksa” pergi untuk SMA ke Amerika dengan alasan “mumpung mampu”. Walau sebenarnya mungkin untuk mengamankan saya (dan adik saya) dari kesulitan dan ancaman hidup di industri pers zaman itu.

Dasar nasib, saya lulus tes pertukaran pelajar, jadi bisa hemat ikut SMA gratis di Amerika (dan waktu itu sebenarnya kami belum terlalu mampu).

Karena pertukaran pelajar, saya tidak punya pilihan sekolah di mana. Pada akhir camp persiapan di kawasan Seattle, kami harus melihat papan pengumuman untuk mengetahui bakal “diasingkan” ke mana.

Baru merayakan ulang tahun ke-16, saya pun menuju sebuah kota kecil bernama Ellinwood, Kansas.

Penduduknya hanya 2.800 orang. Luasnya hanya 1,6 x 1,6 kilometer.

Letaknya di tengah negara bagian Kansas, yang terletak pas di tengah-tengah negara Amerika Serikat. Untuk ke sana, harus naik mobil 6″7 jam dari Kansas City atau 3-4 jam dari Wichita.

Ketika tiba di Ellinwood, malam sudah larut, dan saya disambut keluarga Mohn. Saya tanya ke John, yang akan jadi “bapak angkat” saya selama SMA, apa pekerjaan dia. Jawabannya: Kami pengelola koran lokal di sini.

Istrinya, Chris, adalah pemimpin redaksi Ellinwood Leader, nama koran itu. “Dasar takdir, saya kumpul keluarga koran terus.” Begitu perasaan saya waktu itu.

Keduanya juga merangkap jadi guru di SMA setempat. John guru bahasa Inggris dan jurnalistik serta fotografi, Chris guru bahasa Spanyol.

Selama setahun itu, terus terang saya punya hubungan lebih intensif dengan keduanya. Berangkat ke sekolah bersama, makan pagi, siang, dan malam bersama. Pergi ke supermarket bersama. Dan kemudian saya ikut membantu bekerja di korannya.

Benar-benar seperti punya “ayah” dalam arti yang “normal”.

Kayaknya ayah saya yang namanya Dahlan sempat cemburu wkwkwkwkwk. Tapi, dia pun sering bercanda kepada orang lain bahwa ayah saya yang bener ya Si John itu.

John ini seorang pengajar yang luar biasa. Murid-muridnya sering jadi juara tingkat negara bagian (seperti juara provinsi) dalam berbagai kompetisi jurnalistik.

Kalau mencoba mengajak saya berpikir, dia sering mengajak diskusi, dan saya bebas bicara apa saja. Tidak pernah dibenarkan, tidak pernah disalahkan.

Kadang pertanyaannya pun “berat” untuk seorang anak SMA.

Salah satu pertanyaan yang pernah dia ajukan untuk “menggelitik” pikiran saya adalah:

“Rully (itu panggilan dia kepada saya, Red), kamu percaya atau tidak bahwa ada orang yang memang dilahirkan jahat?”

Dasar masih SMA, mau jawab apa” Asal jeplak saja saya bilang, “Iya.”

Dia tidak membenarkan atau menyalahkan saya. Tapi, dia mengajak berpikir dari sisi lain. Sebagai counterargument, John bilang bahwa bisa saja itu tidak benar.

“Mungkin saja semua orang itu dilahirkan baik. Pendidikan atau kurangnya pendidikan, yang membuat mereka jadi jahat,” kata John.

***

Pertanyaan itu sangat sederhana. Tapi, sampai sekarang, sekitar 20 tahun kemudian, pertanyaan tersebut sering kembali muncul di kepala saya.

Apalagi kalau melihat orang di sekeliling kita sendiri, bertemu dengan orang baru, membaca tentang orang, atau mendengar tentang orang yang melakukan sesuatu yang bisa diartikan “jahat”.

Mungkin kita memang harus positive thinking, percaya bahwa pada intinya semua orang itu baik. Mungkin tidak semua orang dapat kesempatan memperoleh pendidikan. Situasi membuat atau memaksa mereka melakukan apa itu yang dianggap “jahat”.

Masalahnya, kok banyak ya orang yang “berpendidikan” sangat tinggi tetap berbuat “jahat”?

Saya punya kenalan, sama-sama kuliah di Amerika, tapi hobinya “menipu” orang dengan berjualan barang fiktif secara online. Kepepet ekonomi juga tidak, punya kebutuhan tinggi juga tidak.

Ada cerita teman baik kena tipu teman sendiri sampai miliaran rupiah, dan yang menipu juga sebenarnya juga bukan orang kepepet.

Dan tentu banyak orang yang pekerjaan sehari-harinya banyak dianggap orang “jahat”. Memeras orang, jadi kaya raya karena itu, tapi juga tidak berubah walau sudah keliling dunia, kenal banyak orang, dan belajar tentang orang lain yang dianggap “baik” di dunia ini.

Dan saya tidak mau bicara soal dunia POLITIK”

Terus terang, saya juga bukan orang paling baik sedunia. Kadang juga jahat “tipis-tipis” atau jahat iseng. Tapi, dalam hati selalu percaya bahwa itu untuk yang lebih baik. Pokoknya kalau ditanya nanti bisa saya pertanggungjawabkan konsekuensinya.

Cuman ya itu. Berkali-kali juga lihat orang lain dan elus-elus dada sambil berucap dalam hati, “Kok jahatnya ya orang itu… Makan apa tho waktu kecil?” (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/