JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pihak keluarga Menaria Saragih Garingging (77) disarankan menggugat RSUD Djasamen Saragih, Kota Siantar, Sumut. Hal ini penting agar dugaan penelantaran terhadap pasien BPJS tidak terulang lagi.
“Memang yang sudah meninggal tidak akan hidup lagi. Tapi agar kejadian ini tidak terjadi lagi pada pasien-pasien miskin lainnya, sebaiknya pihak keluarga korban mengajukan gugatan,” ujar Koordinator Advokat LBH Kesehatan Alwalindo, Roder Nababan kepada JPNN kemarin (17/2).
Roder cerita, memang perlu upaya keras dalam proses hukum gugatan ke pihak rumah sakit atau ke dokter. Namun, lanjutnya, pihaknya pernah memenangkan gugatan gugatan pasien yang ditelantarkan rumah sakit.
“KIta pernah menang. Karena kelalaian yang menyebabkan meninggalnya seseorang itu termasuk tindak pidana, hukumannya di atas lima tahun,” ujarnya.
Menurut Roder, sudah sering terjadi pasien BPJS ditelantarkan pihak rumah sakit. Dia menyebut, dua penyebab utamanya adalah, pertama oknum dokter tersebut memang orang yang tidak memegang sumpahnya sebagai seorang dokter.
Yang kedua, sekarang ini memang banyak oknum dokter yang mata duitan. Mereka mau serius menangani pasien jika mendapatkan bayaran mahal.
Indikasi ini, lanjutnya, terlihat dalam kasus di Kabupaten Tapanuli Utara. Menurutnya, Bupati Taput saat ini memberikan insentif kepada dokter sebesar Rp 30 juta per bulan. “Setelah diberi insentif Rp 30 juta, kinerja dokter meningkat,” ujar Roder.
Diberitakan sebelumnya, pada Senin (16/20) terjadi kegaduhan di RSUD Djasamen Saragih, Kota Siantar, kemarin (16/2). Ini dipicu meninggalnya seorang pasien BPJS bernama Menaria Saragih Garingging.
Pihak keluarga protes keras, menuding Menaria meninggal karena ditelantarkan hingga 8 jam. Tangisan histeris bercampur umpatan marah terlontar dari keluarga korban.Dokter jaga, dr Haposan, mengatakan bahwa pihak rumah sakit tidak menelantarkan korban. Dia mengklaim, pihaknya sudah melakukan tindakan sesuai prosedur.
Ondo Sinaga, anak pasien yang meninggal, membantah keterangan dokter itu. Dia mengatakan, ibunya yang mendadak tak sadarkan diri dan menderita sesak nafas, hanya diberikan infus saja dan tidak memberikan oksigen hingga di kamar rawat.
Setelah di kamar rawat, si pasien juga tidak mendapatkan perawatan yang maksimal. Sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB, ibunya tidak diperhatikan sama sekali. Perawat pun tak pernah datang melihat kondisi pasien.
Lalu, sekira pukul 11.00 WIB, dokter spesialis penyakit dalam, yakni dr Namso, datang memeriksa ibunya. “Di situ, dibilang dokter itu ibuku ada penyakit di jantung dan paru. Tahunya mereka ada sakit di paru, tapi tidak dikasih juga oksigen,” katanya.
Setelah itu, meski telah diperiksa, dokter tersebut tak memberi obat kepada ibunya, melainkan meninggalkan ibunya begitu saja. “Sudah aku minta obatnya, tapi perawat itu bilang sabar,” imbuh Ondo.
Selepas dr Namso meninggalkan ruangan, pasien tak kunjung sadarkan diri. Dan, pukul 15.00 WIB, pasien menghembuskan nafas terakhirnya.
Ondo mengatakan bahwa mereka tidak akan menuntut biaya ganti rugi atas ibunya. Namun ia meminta pihak rumah sakit tersebut tidak mengulanginya kepada pasien lainnya agar tidak ada korban seperti ibunya. (sam/jpnn)