Mata Sulastri Yahya (60) tampak berkaca-kaca. Ingatan tentang suami dan anaknya meregang nyawa, dibunuh Dwi Trisna CS pada April 2012 lalu, seolah hadir kembali.
Laporan: Abdul Latif, Pekanbaru
Sulastri tak rela, hukuman mati yang dijatuhkan pada Dwi, justru dianulir menjadi seumur hidup. Dianulirnya hukuman mati itu setelah Presiden Joko Widodo memberikan grasi.
”Saya kehilangan dua orang tercinta sekaligus, dengan cara yang sangat sadis. Pak Jokowi harusnya lihat juga perasaan kami,” kata pensiunan PNS ini geram seperti yang dilansir Pekanbaru Pos (Grup JPNN.com), Selasa (17/3).
Saat mendengar dari berita, Presiden Jokowi menyelamatkan Dwi dari vonis hukuman mati, Sulastri Yahya seketika tak terima. Ia kehilangan suami tercinta, Agusni Bahar dan putranya Dodi Haryanto, pada peristiwa perampokan sadis di toko Niagara Ponsel, jalan Kaharudin Nasution, Pekanbaru, Riau.
Senin (16/3), didampingi adik korban, Muzniza (43), dan anaknya Rian Rahmat Hidayat (21), mereka mendatangi PN Pekanbaru.
Mereka bertemu Ketua PN Pekanbaru, H Pudjo Harsoyo. Mempertanyakan soal turunnya grasi Jokowi. Apalagi hal-hal yang disebut meringankan vonis, tak pernah dilakukan Dwi.
”Korban tidak pernah meminta maaf pada kami, baik lisan maupun secara resmi lewat pengacara,” ujar Sulastri.
Apa yang dilakukan korban kata Sulastri, di luar batas kemanusiaan. Ia juga harus kehilangan dua orang tercinta sekaligus, belum lagi harta yang tak bersisa. Kehidupannya juga dihantui trauma seumur hidup.
”Kami bahkan tak berani lagi tinggal di ruko itu. Traumanya masih terasa,” kata Sulastri.
”Semua isi ruko dikuras, saya dikelilingi hutang. Bank menyita ruko, kehidupan saya hancur,” tambahnya.
Ia menambahkan, harusnya sebelum memberikan grasi, Presiden Jokowi mendalami dulu kasus hukum tersebut. Terutama betapa sadis tindakan pelaku menghabisi nyawa suami dan putranya.
”Pak Jokowi, Tolong cabut grasinya. Hukum mati dia. Grasi itu melukai hati keluarga kami,” ujar Sulastri memohon.
Muzniza, adik korban juga memberikan keterangan pada awak media, bahwa dalih pelaku Dwi bahwa ia dijebak, jelas bohong besar.
Karena saat rekonstruksi, Dwi yang baru saja bekerja pada korban ini, ternyata sudah saling kenal dengan dua pelaku lainnya yakni Chandra dan Andi.
Hal ini terbukti dari rekaman telepon yang ditemukan keluarga korban, saat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
”Jadi Dwi ini bukan dijebak seperti alasan pemberian grasi. Mereka pelaku ini sudah saling kenal sebelumnya,” kata Dwi.
Pihak keluarga juga menemukan bukti, bahwa Dwi pernah melakukan pembunuhan dan percobaan pembunuhan di Palembang.
Pihak keluarga khawatir, bila Dwi mendapatkan grasi, pelaku lainnya (yang salah satunya masih jadi buronon) juga akan mendapatkan hal sama.
Kasus pembunuhan sadis itu, terjadi April 2012 lalu. Para pelaku yang sudah berniat merampok, sempat bersembunyi di dalam ruko guna menunggu korban lengah.
Jelang subuh, tiga pelaku naik ke lantai dua. Saat itu, korban Agusni Bahar sedang melaksanakan sholat subuh. Pelaku menghajar kepala korban dengan kayu dan menikamnya sampai tewas. Anak korban, Dodi Haryanto yang terbangun dan berusaha menolong, juga dibacok hingga tewas.
Setelah itu para pelaku menguras isi ruko. Guna menghilangkan jejak, tumpahan noda darah korban dibersihkan dan ruko dikunci dari luar. Pelaku juga memasang tulisan ‘Toko tutup’. Kejadian ini baru diketahui keluarga korban, dua hari kemudian.
Tiga pelaku berhasil ditangkap. Satu sindikat lainnya bernama Rohim, masih menjadi DPO.
25 September 2012, pelaku Dwi, Candra dan Andi dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru. Kasasi yang diajukan terpidana, ditolak Mahkamah Agung.
Namun Presiden Joko Widodo, memberikan ampunan (grasi) pada Dwi, sehingga vonisnya menjadi hukuman seumur hidup. (abe/awa/jpnn)