31.7 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

BBM dan Rokok di Warung Kopi

Iwan Junaidi

KEMBALI, sebuah warung kopi menjadi tempat persinggahan paling ideal, saat kerongkongan minta dibasuh, sementara uang disaku hanya tinggal cekak.
Tak perlu berkecil hati dengan kondisi ini, karena ternyata hampir rata-rata orang yang berada di warung kopi itu memiliki nasib yang tak lebih baik dari pada akun
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, sebuah meja di pojokan kanan menjadi pilihan agar dapat menyeruput kopi dengan santai.

Tak sampai lima menit berada di pojokan tadi, seorang bapak mengantarkan segelas kopi yang kupesan, sembari mempersilahkanku untuk menyeruputnya.

Belum sempat aku menikmati kopi tadi, tepat di depanku seorang bapak, yang ternyata seorang sopir mengeluarkan uneg-unegnya kepada temannya yang berusia lebih muda.
“Bah, untung aja tadi nampakku si Ucok itu. Kalo tidak, barangkali sudah ditangkap polisi dia karena ikut-ikutan demo. Setengah mati awak mencari uang, tak taunya anak awak tak belajar, tapi ikut demo,” sungut si bapak tadi sembari menghisap rokoknya dalam-dalam.

Selanjutnya si bapak yang mengaku tak tahu tentang dunia politik, berkata bahwa dirinya pun tak setuju jika harga BBM dinaikkan. Alasannya, kebijakan itu akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat kecil.
“Tak usahlah cerita ada be’elte-be’elte itu. Entah kek mana caranya pun awak tak tau. Tak pernah awak rasakan manfaatnya. Jadi, kalaupun awak tak dapat, mudah-mudahan aja yang dapat adalah orang-orang yang lebih susah dari awak, bukan bapak-bapak yang kaya-kaya itu,” bilang si bapak itu kepada kawannya.

Cerita terus berlanjut, bahkan semakin ramai orang yang nimbrung ikut pembicaraan si bapak. Dari awalnnya hanya mereka berdua, kini enam orang pengunjung lainnya yang berada tepat di samping meja si bapak pun telah ikut-ikutan berkomentar.

“Sudahlah bang, selo-selo ajalah abang kalo tak suka BBM naik. Becakap kali pun abang, siapa pulak yang mau mendengar abang,” timpal seorang pria berhidung pesek , sembari melangkah ke meja si bapak untuk mengambil sebatang rokok yang ada di sana.

“He… Udin tau kau berapa jumlah uang yang disiapkan untuk BLT itu? Yang kubaca di Koran jumlahnya Rp25 triliun, coi. Kalau memang orang-orang yang kayak aku ini (malu ngaku miskin) tak dapat, bagusan uang itu dipakai aja untuk buat pabrik. Biar tau pulak awak kerja di sana, dari pada setiap hari pening kepala awak mikirin setoran,” bilang si Bapak.

Ya, terkait besarnya anggaran yang siapkan untuk BLT itu, tak ayal menyeruak ke permukaan tudingan, jika kebijakan menaikkan harga BBM adalah sebuah upaya untuk mengatrol popularitas salah satu partai politik, dan bukan atas dasar ingin meringankan beban negara. Ups…

Terlepas apapun alasan yang sesungguhnya, cerita tentang BBM memang kisah yang seksi untuk terus diikuti. Tak terkecuali oleh bapak-bapak yang setiap hari mengisi waktu luangnya di warung kopi, tempat aku nongkrong sekarang ini.
“Bah… udah habis sebungkus rokok aku kelen buat. Padahal kalo uang rokok itu dibelikan BBM udah dapat dua liter.  Arghhhh… Besok mintak sebungkus lagi, sekalian ko itung berapa bon aku ya,” teriak si bapak kepada pemilik warung, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya  tatkala menyadari, jika harga sebungkus rokok ternyata dua kali lebih mahal dari pada harga seliter BBM. (*)

*Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Iwan Junaidi

KEMBALI, sebuah warung kopi menjadi tempat persinggahan paling ideal, saat kerongkongan minta dibasuh, sementara uang disaku hanya tinggal cekak.
Tak perlu berkecil hati dengan kondisi ini, karena ternyata hampir rata-rata orang yang berada di warung kopi itu memiliki nasib yang tak lebih baik dari pada akun
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, sebuah meja di pojokan kanan menjadi pilihan agar dapat menyeruput kopi dengan santai.

Tak sampai lima menit berada di pojokan tadi, seorang bapak mengantarkan segelas kopi yang kupesan, sembari mempersilahkanku untuk menyeruputnya.

Belum sempat aku menikmati kopi tadi, tepat di depanku seorang bapak, yang ternyata seorang sopir mengeluarkan uneg-unegnya kepada temannya yang berusia lebih muda.
“Bah, untung aja tadi nampakku si Ucok itu. Kalo tidak, barangkali sudah ditangkap polisi dia karena ikut-ikutan demo. Setengah mati awak mencari uang, tak taunya anak awak tak belajar, tapi ikut demo,” sungut si bapak tadi sembari menghisap rokoknya dalam-dalam.

Selanjutnya si bapak yang mengaku tak tahu tentang dunia politik, berkata bahwa dirinya pun tak setuju jika harga BBM dinaikkan. Alasannya, kebijakan itu akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat kecil.
“Tak usahlah cerita ada be’elte-be’elte itu. Entah kek mana caranya pun awak tak tau. Tak pernah awak rasakan manfaatnya. Jadi, kalaupun awak tak dapat, mudah-mudahan aja yang dapat adalah orang-orang yang lebih susah dari awak, bukan bapak-bapak yang kaya-kaya itu,” bilang si bapak itu kepada kawannya.

Cerita terus berlanjut, bahkan semakin ramai orang yang nimbrung ikut pembicaraan si bapak. Dari awalnnya hanya mereka berdua, kini enam orang pengunjung lainnya yang berada tepat di samping meja si bapak pun telah ikut-ikutan berkomentar.

“Sudahlah bang, selo-selo ajalah abang kalo tak suka BBM naik. Becakap kali pun abang, siapa pulak yang mau mendengar abang,” timpal seorang pria berhidung pesek , sembari melangkah ke meja si bapak untuk mengambil sebatang rokok yang ada di sana.

“He… Udin tau kau berapa jumlah uang yang disiapkan untuk BLT itu? Yang kubaca di Koran jumlahnya Rp25 triliun, coi. Kalau memang orang-orang yang kayak aku ini (malu ngaku miskin) tak dapat, bagusan uang itu dipakai aja untuk buat pabrik. Biar tau pulak awak kerja di sana, dari pada setiap hari pening kepala awak mikirin setoran,” bilang si Bapak.

Ya, terkait besarnya anggaran yang siapkan untuk BLT itu, tak ayal menyeruak ke permukaan tudingan, jika kebijakan menaikkan harga BBM adalah sebuah upaya untuk mengatrol popularitas salah satu partai politik, dan bukan atas dasar ingin meringankan beban negara. Ups…

Terlepas apapun alasan yang sesungguhnya, cerita tentang BBM memang kisah yang seksi untuk terus diikuti. Tak terkecuali oleh bapak-bapak yang setiap hari mengisi waktu luangnya di warung kopi, tempat aku nongkrong sekarang ini.
“Bah… udah habis sebungkus rokok aku kelen buat. Padahal kalo uang rokok itu dibelikan BBM udah dapat dua liter.  Arghhhh… Besok mintak sebungkus lagi, sekalian ko itung berapa bon aku ya,” teriak si bapak kepada pemilik warung, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya  tatkala menyadari, jika harga sebungkus rokok ternyata dua kali lebih mahal dari pada harga seliter BBM. (*)

*Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/