Oleh : Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
Beberapa kalangan sempat mengatakan kalau Medan tidak memiliki rencana besar dalam perkembangan kotanya. Pembangunan di Medan tak lain adalah copy paste dari Jakarta.
Karena itu, apa yang terjadi di Jakarta akan terjadi di Medan. Contohnya, soal banjir dan macet. Dua hal ini bukan lagi kejadian yang langka di Medan bukan?
Begitu juga soal gaya hidup. Medan sebagai metropolitan tentu tak berbeda dengan Jakarta. Kaum hedonis berbaris seimbang dengan kaum miskin kotanya.
Sekali lagi mirip Jakarta, Medan mulai didominasi pendatang. Tidak percaya? Coba cari tahu, pemilik usaha di Medan ini, adakah benar-benar orang Medan? Jika memang benar, tarik perbandingannya; mana lebih banyak pendatang dan asli Medan. Tidak itu saja, pejabat yang mengisi posisi penting di Medan, benarkah sosok asli Medan? Coba cari tahu, di mana dia tinggal sebenarnya.
Tapi sudahlah, jika memang terbaik untuk Medan, kenapa harus dipermasalahkan. Yang jadi masalah di sini bukanlah soal pendatang atau tidak, tapi bagaimana Medan bisa menjadi latah dengan apa yang dibuat oleh kota lain. Padahal, sudah jelas-jelas kalau Medan memiliki karakter yang berbeda dan tentu memiliki fungsi yang berbeda dengan kota lain.
Menurut literatur, ada beberapa teori penyebab latah. Pertama, teori pemberontakan. Dalam kondisi latah, seseorang bisa mengucapkan hal-hal yang dilarang tanpa merasa bersalah. Gejala ini semacam gangguan tingkah laku. Lebih ke arah obsesif karena ada dorongan yang tidak terkendali untuk mengatakan atau melakukan sesuatu.
Kedua, teori kecemasan. Gejala latah muncul karena yang bersangkutan memiliki kecemasan terhadap sesuatu tanpa ia sadari. Rata-rata, dalam kehidupan pengidap latah selalu terdapat tokoh otoriter, entah ayah atau ibu. Bisa jadi, latah merupakan jalan pemberontakannya terhadap dominan orangtua yang sangat menekan. Walau demikian tokoh otoriter tidak harus berasal dari lingkungan keluarga.
Sedangkan yang terakhir, teori pengondisian. Inilah yang disebut latah gara-gara ketularan. Seseorang mengidap latah karena dikondisikan oleh lingkungannya, misalnya gara-gara latah, seseorang merasa diperhatikan dan diperhatikan oleh lingkungan. Dengan begitu, latah juga merupakan upaya mencari perhatian. Latah semacam ini disebut ‘latah gaul’.
Nah, untuk Medan kira-kira masuk ke teori yang mana? Adakah Medan meniru Jakarta karena teori pemberontakan? Bisa saja, bukankah Medan sebagai kota terbesar di luar Pulau Jawa cenderung kurang mendapat peran dalam kancah nasional. Setidaknya, even-even seperti pertemuan bilateral atau multilateral yang digalang Indonesia belum pernah dilaksanakan di Medan?
Latah karena teori kecemasan bisa juga diidap Medan. Setidaknya, Jakarta memiliki kekuasaan penuh terhadap daerah. Nah, Medan sebagai kota yang di daerah pun kena imbasnya. Bisa juga Medan latah karena teori pengondisian. Nah, kalau ini lebih mengarah latah dengan sukarela. Ya, melihat segala keindahan dan kemudahan Kota Jakarta, Medan pun menjelma seperti Jakarta agar bernasib sama. Untuk teori terakhir ini, warga Medan pun ikut latah seperti warga Jakarta. Maka, kata ‘lah’ mulai berganti dengan ‘dong’; ‘kereta’ menjadi ‘motor’, ‘kak’ menjadi ‘mbak’, ‘kau’ menjadi ‘loe’ dan sebagainya. Tidak itu saja, beberapa waktu ke depan, mungkin sosok Afriani sang supir ‘Xenia Maut’ pun akan ada di kota ini.
Pertanyaannya, apakah latah itu salah? Sayangnya, di sini tidak membahas benar atau salah. Yang dibahas, hanya latah dan bagaimana Medan akan menyikapinya. Itu saja. (*)