26.7 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

KA vs Pedagang, Win-win Solution

Oleh : Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Po

Berdagang di ‘rumah’ orang lain, etikanya tentu permisi dulu. Kalau dikasih izin, barulah boleh berjualan. Lebih enak jika ada kesepakatan yang saling menguntungkan. Kalau di kemudian hari, pemilik ‘rumah’ keberatan rumahnya dipakai sebagai lokasi berjualan, itu jelas hak dia.

Begitu juga dengan PT Kereta Api Indonesia Divre I Sumut. Di awal tahun ini, PT KAI menerapkan aturan baru tapi lama Pedagang asongan dilarang berjualan dalam gerbong kereta. Tujuannya jelas, agar kereta api lebih aman dan kenyamanan penunpang tidak terganggu.

Kebijakan ini kontan menuai reaksi dari para pedagang asongan yang merasa sumber nafkahnya selama ini terganggu. Reaksi tajam muncul di Stasiun KA Perbaungan. Pedagang menggelar aksi demo bahkan blokade jalur kereta, hingga perjalanan kereta api sempat lumpuh. Usai aksi blokade, esoknya pedagang mendirikan tenda dan dapur umum di depan stasiun. Semua aksi itu demi memproklamirkan keberatan mereka akan larangan berjualan dalam gerbong KA.

Pedagang, jelas punya argumentasi kuat soal keberatan mereka. Jualan di gerbong kereta api adalah penghasilan mereka selama bertahun-tahun. Bahkan ada yang mengaku sudah 20 tahun mencari nafkah di gerbong KA. Kalau sekarang dilarang berjualan, ke mana kami mencari nafkah? Kira-kira begitu isi argumentasi para pedagang.
Tapi PT KAI juga punya argumentasi yang tak kalah kuatnya. Pertama, larangan berjualan asongan di atas KA adalah peraturan yang harus ditegakkan.

Kedua, kenyamanan penumpang terganggu. Maklum, pedagang yang riuh-rendah hilir mudik menawarkan jualannya, bisa mengganggu penumpang yang ingin relaks. “Pusing… Bising!” kata seorang penumpang tentang aktivitas pedagang di dalam gerbong.
Meski demikian, soal kenyamanan penumpang ini masih bisa diperdebatkan lagi. Soalnya, ada juga sebagian penumpang yang happy-happy saja dengan keberadaan pedagang asongan di atas gerbong. “Itulah seninya naik KA Ekonomi. Pedagang makanan banyak dan harganya murah-murah. Tinggal milih,” kata seorang teman yang kerap naik KA rute Medan-Kisaran.

Ketiga, terkait keamanan penumpang. Keamanan di sini maksudnya bukan rawan kecelakaan. Tetapi keamanan soal harta benda. Kecopetan misalnya. Kadang ada penumpang yang kecopetan. Hanya saja, kita juga tak bisa serta-merta menuduh pelakunya adalah para pedagang asongan, Bisa saja pelakunya sesama penumpang, bukan?
Yah, apapun itu, yang pasti sebagai pemilik ‘rumah, PT KAI berhak membuat peraturan ‘ di rumahnya’. Apalagi jika aturan itu untuk kepentingan publik yang lebih luas.

Sekarang tinggal bagaimana KAI tetap menegakkan peraturannya, tanpa harus membuat pihak lain kehilangan nafkah. Solusinya tentu mencari win-win solution. Istilahnya sama-sama enak.
Sebenarnya, pihak KAI telah menawarkan solusi yang cukup enak. Yakni, KAI menyediakan gerbong khusus pedagang, dan jumlah pedagang asongan dibatasi per kereta api, yakni 30 orang. Pedagang juga harus mengenakan seragam dengan identitas, dan harus membayar tiket.

Namun pedagang mengaku berat kalau harus membayar tiket setiap kali mau naik. Mereka menawarkan retribusi bulanan, sekitar Rp100 ribu per pedagang. Mereka juga berat dengan peraturan 30 orang per KA, karena jumlah mereka ada sekitar 216 orang.
Kemarin, PT KA akhirnya setuju menambah jumlah pedagang menjadi 45 orang per KA. Dan tetap membayar tiket per kepala. Tentu saja harganya tidak sama dengan penumpang. Cukup 6.500 per kepala, dengan rute terbatas. Inilah yang namanya win-win solution. Situ enak, sini enak. (*)

Oleh : Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Po

Berdagang di ‘rumah’ orang lain, etikanya tentu permisi dulu. Kalau dikasih izin, barulah boleh berjualan. Lebih enak jika ada kesepakatan yang saling menguntungkan. Kalau di kemudian hari, pemilik ‘rumah’ keberatan rumahnya dipakai sebagai lokasi berjualan, itu jelas hak dia.

Begitu juga dengan PT Kereta Api Indonesia Divre I Sumut. Di awal tahun ini, PT KAI menerapkan aturan baru tapi lama Pedagang asongan dilarang berjualan dalam gerbong kereta. Tujuannya jelas, agar kereta api lebih aman dan kenyamanan penunpang tidak terganggu.

Kebijakan ini kontan menuai reaksi dari para pedagang asongan yang merasa sumber nafkahnya selama ini terganggu. Reaksi tajam muncul di Stasiun KA Perbaungan. Pedagang menggelar aksi demo bahkan blokade jalur kereta, hingga perjalanan kereta api sempat lumpuh. Usai aksi blokade, esoknya pedagang mendirikan tenda dan dapur umum di depan stasiun. Semua aksi itu demi memproklamirkan keberatan mereka akan larangan berjualan dalam gerbong KA.

Pedagang, jelas punya argumentasi kuat soal keberatan mereka. Jualan di gerbong kereta api adalah penghasilan mereka selama bertahun-tahun. Bahkan ada yang mengaku sudah 20 tahun mencari nafkah di gerbong KA. Kalau sekarang dilarang berjualan, ke mana kami mencari nafkah? Kira-kira begitu isi argumentasi para pedagang.
Tapi PT KAI juga punya argumentasi yang tak kalah kuatnya. Pertama, larangan berjualan asongan di atas KA adalah peraturan yang harus ditegakkan.

Kedua, kenyamanan penumpang terganggu. Maklum, pedagang yang riuh-rendah hilir mudik menawarkan jualannya, bisa mengganggu penumpang yang ingin relaks. “Pusing… Bising!” kata seorang penumpang tentang aktivitas pedagang di dalam gerbong.
Meski demikian, soal kenyamanan penumpang ini masih bisa diperdebatkan lagi. Soalnya, ada juga sebagian penumpang yang happy-happy saja dengan keberadaan pedagang asongan di atas gerbong. “Itulah seninya naik KA Ekonomi. Pedagang makanan banyak dan harganya murah-murah. Tinggal milih,” kata seorang teman yang kerap naik KA rute Medan-Kisaran.

Ketiga, terkait keamanan penumpang. Keamanan di sini maksudnya bukan rawan kecelakaan. Tetapi keamanan soal harta benda. Kecopetan misalnya. Kadang ada penumpang yang kecopetan. Hanya saja, kita juga tak bisa serta-merta menuduh pelakunya adalah para pedagang asongan, Bisa saja pelakunya sesama penumpang, bukan?
Yah, apapun itu, yang pasti sebagai pemilik ‘rumah, PT KAI berhak membuat peraturan ‘ di rumahnya’. Apalagi jika aturan itu untuk kepentingan publik yang lebih luas.

Sekarang tinggal bagaimana KAI tetap menegakkan peraturannya, tanpa harus membuat pihak lain kehilangan nafkah. Solusinya tentu mencari win-win solution. Istilahnya sama-sama enak.
Sebenarnya, pihak KAI telah menawarkan solusi yang cukup enak. Yakni, KAI menyediakan gerbong khusus pedagang, dan jumlah pedagang asongan dibatasi per kereta api, yakni 30 orang. Pedagang juga harus mengenakan seragam dengan identitas, dan harus membayar tiket.

Namun pedagang mengaku berat kalau harus membayar tiket setiap kali mau naik. Mereka menawarkan retribusi bulanan, sekitar Rp100 ribu per pedagang. Mereka juga berat dengan peraturan 30 orang per KA, karena jumlah mereka ada sekitar 216 orang.
Kemarin, PT KA akhirnya setuju menambah jumlah pedagang menjadi 45 orang per KA. Dan tetap membayar tiket per kepala. Tentu saja harganya tidak sama dengan penumpang. Cukup 6.500 per kepala, dengan rute terbatas. Inilah yang namanya win-win solution. Situ enak, sini enak. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/