Kata Gombloh, kalau cinta sudah melekat tahi kucing rasa cokelat. Mungkin itu pula yang mengakibatkan dua guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Medan lupa situasi, kondisi, dan perasaan warga. Mereka asyik saja memadu asmara di tengah malam, padahal mereka bukan suami istri.Tak pelak, mereka digerebek. Mereka pun diarak. Fiuh. Sungguh memalukan.
Ya, memalukan karena yang namanya diarak pasti dilihat orang banyak. Istilah kerennya: mau dibawa kemana muka tuh! Selain dilihat orang banyak, status mereka sebagai pendidik makin menambah rasa malu itu. Ayolah, keduanya guru SD. Pendidik di sebuah sekolah yang berisikan anak-anak masih ingusan, yang masih polos; layaknya kertas putih, yang tercoret masih sedikit. Jadi, dengan tertangkapnya mereka, bukankah apa yang mereka ajarkan pada murid patut dipertanyakan? Lalu, mau jadi apa murid mereka nanti. Bah!
Bukankah ada pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Artinya, ketika seorang guru membuat kesalahan, maka murid juga cenderung mencontoh bahkan bisa lebih parah. Sumpah, saya tidak berani membayangkan hal itu.
Saya jadi ingat slogan Taman Siswa yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut bapak pendidikan itu, guru harus ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Terjemahan bebasnya: di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Nah, bagaimana dengan dua guru tadi?
Maksud saya di sini adalah soal tahi kucing rasa cokelat tadi. Ya, sebegitu hebatkah cinta kedua guru itu sampai lupa daratan. Medan memang bisa dikatakan kota metropolitan, tapi cara berpikir warganya kan tidak serta merta lupa dengan akar tradisi. Hidup bertetangga hingga tegur sapa dan saling menjaga tetap dijaga oleh warga Medan. Gaya hidup perkotaan – tinggal di apartemen yang saling tak kenal tetangga – belum begitu nyata di Medan. Sebagai seorang guru, tentunya mereka tahu hal itu bukan? Eh, kok mereka lupa.
Saya curiga kalau mereka lupa, tapi karena telah biasa. Seperti pengakuan warga, si lelaki beristri itu memang sering berkunjung ke janda tiga anak tersebut. Dan, kunjungan dilakukan saat malam hari hingga pagi. Jadi, apa yang mereka lakukan dianggap tidak bermasalah. Jadi, ketika digerebek, mereka tidak menyangka.
Ya sudah, mereka akhirnya diarak. Mereka akan dinikahkan. Warga kampung terlanjur malu dengan ulah dua guru tadi.
Seharusnya, ketika selesai diarak dan dinikahkan, kasus bisa dianggap selesai. Setidaknya, mereka jadi legal. Sayangnya, dua guru ini cukup lihai. Mereka tidak langsung dinikahkan padahal tuan kadi telah datang. Mereka malah ‘memilih’ nikah di Kantor Urusan Agama terdekat dan bukan di kantor kelurahan tempat warga berkumpul. Hebatnya lagi, ternyata kedua tidak tiba di Kantor Urusan Agama itu. Mereka entah ke mana. Padahal saat berangkat ke kantor itu, mereka dikawal pihak terkait. Bah!
Pejabat berwenang pun langsung memberi pernyataan. “Mereka kan sudah buat surat pernyataan akan menikah,” begitu kata sang pejabat. Kapan? Di mana? Tak ada yang menjawab. Ada yang bisa menjawab? (*)