26.8 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Nasi Pecel setara McDonald’s

Nasi pecel –atau nasi bungkus apa pun di pinggir jalan– punya peran yang sama pentingnya dengan McDonald’s di Amerika. Ini beneran.

Azrul AnandaSaya ini separo Madiun separo Banjar. Jadi, mungkin karena alasan genetik, saya suka makan nasi pecel dan soto banjar. Dari sisi Kalimantannya, saya juga jadi suka makan ikan.

Walau sebenarnya sudah sangat fleksibel dan tidak akan kesulitan makan di mana pun di seluruh penjuru bumi (tidak harus makan nasi), saya tetap menyukai pecel yang sama dengan yang disukai ayah saya, dan soto banjar buatan ibu saya (gak ada lawannya!).

Di sisi lain, saya juga penggemar berat makanan restoran cepat saji. Saya suka Big Mac dan Apple Pie-nya McDonald’s, ayam original-nya KFC, ayamnya AW, plus menu favorit saya waktu kuliah: Whopper Jr. no onion no pickle no tomato buatan Burger King. Tidak ketinggalan roast beef dengan kejunya Arby’s, Monster Taco-nya Jack in the Box, dan legenda yang hanya ada di pantai barat Amerika: In-n-Out Burger.

Maklum sudah di ambang usia 40, dan punya hobi olahraga yang menuntut badan harus kurus, sebisa mungkin dan dengan penuh berat hati saya berusaha mengurangi makanan-makanan itu. Sekarang makanan andalan sehari-hari ya katering makanan ”bersih” buatan sobat saya Eric Go di Surabaya.

Kecuali weekend, saat bebas makan apa saja (walau tetap menjaga).

He he he, sebelum saya melantur lebih jauh soal makanan, kenapa kok tiba-tiba bicara soal makanan?
Sebagai penggemar dan seseorang yang punya toleransi terhadap segala makanan, kadang saya agak jengkel juga dengan cara-cara orang menyebut suatu jenis makanan.

Khususnya ya restoran-restoran cepat saji di atas. Oke, saya setuju itu dipanggil fast food, karena memang filosofi restorannya dibuat untuk melayani pemesanan secepat mungkin.

Dan fast food kan tidak berarti jelek. Nasi pecel termasuk kategori fast food. Semua ragam soto termasuk kategori fast food. Dan nasi padang bagaimanapun adalah ”the fastest food” karena bisa datang sendiri ke meja dalam berbagai macam tanpa dipesan.

Dan di mana-mana, orang tidak suka slow food. Restoran cepat saji, kalau pelayanannya lambat, ya menyebalkan. Duduk di warung soto, kalau kuahnya tidak segera dituangkan, ya bisa menyebalkan.

Mungkin hampir kita semua pernah bilang ke pelayan di restoran agar makanannya segera disajikan. ”Tidak pakai lambat ya.” Begitu ucap kita setelah memesan.

Entah berapa ribu atau juta kali seorang pelayan pernah mendengar ucapan itu. Karena itu, saya pernah sangat menyukai ketika ada rekan makan yang mengucapkan pesan senada dengan cara yang lebih humoris.

”Mbak, tolong cepat ya. Ingat ya Mbak, semua kerusuhan dimulai dengan perut lapar.” Begitu ucap rekan saya waktu itu.

Wkwkwkwkwk… Humoris plus mengancam!
Nah, istilah yang tidak saya sukai adalah junk food. Alangkah jahat dan munafiknya kita ketika menyebut sebuah makanan ”junk food”.

Semua makanan, apa pun kadar gizinya, mungkin tidak boleh disebut ”junk food”. Kalau itu sampah, ya jangan dimakan. Dan siapa yang mau makan sampah?
Apalagi kalau itu orang Indonesia yang menyebut makanan di restoran cepat saji ”junk food”. Emangnya makanan Indonesia lebih bergizi? Mungkin harus diadu dan diuji, sehat mana makan kerupuk melawan makan french fries?

Nasi pecel –atau nasi bungkus apa pun di pinggir jalan– punya peran yang sama pentingnya dengan McDonald’s di Amerika. Ini beneran.

Azrul AnandaSaya ini separo Madiun separo Banjar. Jadi, mungkin karena alasan genetik, saya suka makan nasi pecel dan soto banjar. Dari sisi Kalimantannya, saya juga jadi suka makan ikan.

Walau sebenarnya sudah sangat fleksibel dan tidak akan kesulitan makan di mana pun di seluruh penjuru bumi (tidak harus makan nasi), saya tetap menyukai pecel yang sama dengan yang disukai ayah saya, dan soto banjar buatan ibu saya (gak ada lawannya!).

Di sisi lain, saya juga penggemar berat makanan restoran cepat saji. Saya suka Big Mac dan Apple Pie-nya McDonald’s, ayam original-nya KFC, ayamnya AW, plus menu favorit saya waktu kuliah: Whopper Jr. no onion no pickle no tomato buatan Burger King. Tidak ketinggalan roast beef dengan kejunya Arby’s, Monster Taco-nya Jack in the Box, dan legenda yang hanya ada di pantai barat Amerika: In-n-Out Burger.

Maklum sudah di ambang usia 40, dan punya hobi olahraga yang menuntut badan harus kurus, sebisa mungkin dan dengan penuh berat hati saya berusaha mengurangi makanan-makanan itu. Sekarang makanan andalan sehari-hari ya katering makanan ”bersih” buatan sobat saya Eric Go di Surabaya.

Kecuali weekend, saat bebas makan apa saja (walau tetap menjaga).

He he he, sebelum saya melantur lebih jauh soal makanan, kenapa kok tiba-tiba bicara soal makanan?
Sebagai penggemar dan seseorang yang punya toleransi terhadap segala makanan, kadang saya agak jengkel juga dengan cara-cara orang menyebut suatu jenis makanan.

Khususnya ya restoran-restoran cepat saji di atas. Oke, saya setuju itu dipanggil fast food, karena memang filosofi restorannya dibuat untuk melayani pemesanan secepat mungkin.

Dan fast food kan tidak berarti jelek. Nasi pecel termasuk kategori fast food. Semua ragam soto termasuk kategori fast food. Dan nasi padang bagaimanapun adalah ”the fastest food” karena bisa datang sendiri ke meja dalam berbagai macam tanpa dipesan.

Dan di mana-mana, orang tidak suka slow food. Restoran cepat saji, kalau pelayanannya lambat, ya menyebalkan. Duduk di warung soto, kalau kuahnya tidak segera dituangkan, ya bisa menyebalkan.

Mungkin hampir kita semua pernah bilang ke pelayan di restoran agar makanannya segera disajikan. ”Tidak pakai lambat ya.” Begitu ucap kita setelah memesan.

Entah berapa ribu atau juta kali seorang pelayan pernah mendengar ucapan itu. Karena itu, saya pernah sangat menyukai ketika ada rekan makan yang mengucapkan pesan senada dengan cara yang lebih humoris.

”Mbak, tolong cepat ya. Ingat ya Mbak, semua kerusuhan dimulai dengan perut lapar.” Begitu ucap rekan saya waktu itu.

Wkwkwkwkwk… Humoris plus mengancam!
Nah, istilah yang tidak saya sukai adalah junk food. Alangkah jahat dan munafiknya kita ketika menyebut sebuah makanan ”junk food”.

Semua makanan, apa pun kadar gizinya, mungkin tidak boleh disebut ”junk food”. Kalau itu sampah, ya jangan dimakan. Dan siapa yang mau makan sampah?
Apalagi kalau itu orang Indonesia yang menyebut makanan di restoran cepat saji ”junk food”. Emangnya makanan Indonesia lebih bergizi? Mungkin harus diadu dan diuji, sehat mana makan kerupuk melawan makan french fries?

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/