Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Untunglah Sumut bukan negeri kerajaan. Kalau tidak, bursa bakal calon (balon) gubernur takkan seramai sekarang. Siapa saja boleh tampil untuk dipilih menjadi pemimpin. Soal nanti terpilih atau tidak, itu urusan kedua. Yang penting, tampil dulu.
Coba kita tinggal di negara kerajaan. Jelas untuk menjadi raja harus ada darah birunya. Alias ada pertalian darah dengan raja sebelumnya. Tak ada cerita raja itu boleh dipilihn
Enaknya tinggal di negeri demokrasi tercermin dalam bursa cagubsu hari-hari ini. Nama yang muncul datang dari berbagai profesi. Saking ramainya, kita sampai geleng-geleng kepala dan bertanya: si A ini siapa ya… kalau si B ini? Artinya, sosok yang selama ini tidak kedengaran kiprahnya pun ternyata berani mendaftar menjadi balon Gubsu.
Tapi itulah demokrasi. Meski menurut ukuran Anda, si A misalnya tidak layak mencalonkan diri menjadi balon Gubsu, Anda tak boleh marah-marah. Karena undang-undang melindungi hak si A untuk mencalonkan diri. Anda juga boleh kok mencalonkan diri. Kami pun tidak berhak marah-marah kalau Anda mencalonkan diri, meski kami menilai Anda tidak layak memimpin.
Toh, nantinya rakyat yang menentukan. Kalau rakyat ternyata lebih memilih si A yang menurut ukuran kita tidak layak, ya tak bisa diprotes. Karena inti demokrasi adalah: pemerintahan ada di tangan rakyat.
Hingga kemarin, nama-nama yang sudah menunjukkan keseriusan untuk maju —dilihat dari tindakannya mengambil formulir dan mendaftar ke partai politik—, sudah belasan nama. Sebut saja nama Sutan Bhatoegana, Letjend Purn Cornel Simbolon, Letjend Purn AY Nasution, Gus Irawan Pasaribu, Amri Tambunan, HT Milwan, HT Erry Nuradi, Bintatar Hutabarat, RE Nainggolan, Benny Pasaribu, Syahrul Effendi Siregar, Juliari Batubara, Kartawijaya Rajagukguk, Anna Sianipar, Parasian Simanungkalit, Sofyan Tan, dan Hasbullah Hadi (jalur independen). Masih ada beberapa nama yang disebut-sebut bakal maju tetapi belum kedengaran mendaftar ke partai manapun, yakni Syah Afandin alias Ondim dan Kamaluddin Harahap.
Dari belasan nama-nama itu, belum ada yang mengaku siap menjadi orang kedua alias balon Wagubsu. Semuanya mengaku mengincar kursi nomor satu Sumut. Artinya, semua merasa diri layak duduk di kursi itu.
Di antara pembaca, mungkin ada yang mengerutkan kening karena belum pernah mendengar satu atau dua nama yang disebut di atas. Bahkan mungkin ada yang belum pernah mendengar 5-6 nama. Tak apa. Mereka masih harus menjalani beberapa saringan kok.
Ada beberapa proses penyaringan sebelum berhak memimpin Sumut. Pertama tentu dari parpol sendiri Sejumlah parpol mengaku, proses penetapan calon itu berdasarkan hasil survey. Tokoh yang memiliki tingkat elektabilitas (keterpilihan) tertinggilah yang memiliki peluang paling besar untuk digolkan menjadi cagubsu pada Pilgubsu 2013. Artinya, selama survey pun, rakyat sudah berperan serta untuk menentukan siapa calon pemimpin mereka. Kalau . Karena dari jalur independen, wajib mengantongi ratusan dukungan suara.
Seleksi berikutnya ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di komisi ini, para calon akan diseleksi lagi. Misalnya minimal berijazah SMA sederajat, berbadan sehat, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berumur minimal 30 tahun, tidak pernah kena pidana hukuman 5 tahun atau lebih, dan sebagainya. Dengan syarat yang begitu mudah tersebut, jutaan warga Sumut dipastikan lolos —meski ironisnya banyak calon yang justru terjerat kasus ijazah.
Lolos dari KPU, para calon masih harus bertarung lagi dalam seleksi penentuan: Pilgubsu langsung 2013. Artinya, penentuan gubernur masih di tangan rakyat.
Jadi, betapapun berkerutnya kening Anda melihat sejumlah nama yang ‘berani-beraninya’ maju jadi balon, pada akhirnya senyum-senyum sajalah. Karena keberanian mereka itu juga berarti: Anda dan saya sah-sah saja mencalonkan diri. Untunglah Sumut bukan kerajaan. (*)