Oleh : H Affan Bey Hutasuhut
Wakil Pemimpin Umum Sumut Pos
Katanya, orang bijak taat pajak. Nasihat ini bagus kalau duit yang disetor kecelengan negara ini dipakai buat membangun jalan, jembatan, dan berbagai fasilitas umumnya lainnya. Tapi kalau digunakan untuk membeli bedil dan peluru buat nembaki rakyat, ngapain. Ogah dah, inikan sama saja dengan bunuh diri.
Maklumat ini perlu dicamkan dan direnungkan, terutama buat saudara-saudara penyandang senjata api. Pantaskah Anda mengarahkan bedil dan memuntahkan peluru ke tubuh orang yang ikut membeli barang berbahaya itu lewat pajak Yang lebih pedih, patutkah kalian ini rame-rame jadi satpam di perusahaan pertambangan dan perkebunan swasta dengan dalih pengamanan objek vital.
Masalah ini menjadi penting karena ring tinju antara aparat keamanan dengan rakyat sekarang ini makin terbentang. Belum reda konflik berdarah di Mesuji Lampung, Bima NTB, kini konflik berdarah kembali lagi terjadi di Desa Batang Kumu, Rokan Hulu, Riau, dengan pengusaha perkebunan. Hasilnya, enam warga ditembak, empat Brimob luka.
Pemerintah memang lamban dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah. Gelagat inilah yang membuat para bos perusahaan jadi jantungan. Mereka was-was bahwa adu mulut seketika bisa berubah menjadi konflik berdarah. Mereka pun buru-buru minta dijaga oleh aparat keamanan seperti Brimob.
Pemintaan ini pun dipenuhi pula oleh pimpinan kepolisian. Tak heran kalau belakangan banyak petugas Brimob yang ditugaskan menjaga keamanan perusahaan swasta. Meski sudah digaji oleh rakyat, mereka masih kecipratan lagi dari tuan rumah yang mengundang. Untuk menjaga keamanan PT Freeport, pihak Polri dapat upah jasa menjaga keamanan untuk tahun 2010 sebesar US$ 14 juta.
Pertanyaannya, apakah perkebunan swasta yang dalam sengketa termasuk objek vital nasional yang harus dikawal secara khusus oleh Polri. Seberapa gentingnya ancaman dan gangguan terhadap perusahaan itu rupanya. Apakah ancaman dan gangguan warga terhadap perusahaan tersebut bisa mengakibatkan bencana kemanusiaan dan pembangunan, sebagaimana yang disyaratkan oleh Keppres Nomor 63 Tahun 2004 dalam pasal 2.
Sudah itu, apakah ancaman dan gangguan tersebut bisa mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional dan mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara. Keppres ini yang mestinya jadi pedoman. Kalau tidak ada saja mulut usil yang mengatakan bahwa polisi lagi ‘ngamen’ di perusahaan yang mengundangnya.
Orang kalau sudah termakan budi, susahlah mau berbuat adil. Belum lagi lawan sang penguasa ini beringasnya minta ampun waktu melakukan perlawanan. Emosi pun gampang terbakar.
Kalau saja rakyat melihat polisi tak jadi pelindung di perkebunan tersebut, pencegahan konflik akan lebih mudah teratasi. Aksi makin tidak terkendali biasanya kan gara-gara melihat petantang petengteng pengusaha yang merasa kuat karena dilindungi oleh polisi. Dan makin lantam lagi karena UU Perkebunan 18/2004Â memberikan legalitas yang sangat kuat pula kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. (*)