32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Jujur

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Walmiki menyuratkan dalam epos Ramayana bahwa kejujuran masih bisa disangsikan. Adalah Shinta yang jujur harus membuktikan sikapnya dengan mempertaruhkan nyawa.

Ya, ini tentang Shinta yang telah dibebaskan dari cengkeraman Rahwana. Namun, sang kekasih, Rama, kurang mempercayai kejujuran Shinta. Bagi Rama, bisa saja Shinta telah dinodai. Nah, Shinta pun harus membuktikan seratus persen kesuciaannya dengan terlebih dulu dibakar. Jika ternyata Shinta sudah digauli Rahwana maka api akan dengan mudah membakarnya.

Sebaliknya jika dalam cengkeraman Rahwana, Shinta tidak ‘digarap’ maka api tidak akan mampu membakarnya.
Kisah Rama dan Shinta yang ditulis oleh Walmiki ini tampaknya terus berulang hingga sekarang. Bukan pada pembakaran itu, tapi pada kesangsian terhadap kejujuran. Jika pada epos itu, Shinta membuktikan dengan melompat ke api, di zaman sekarang apa yang harus dilakukan agar bisa dianggap jujur?

Pengadilan sudah persis panggung sandiwara, lihat saja kasus Wisma Atlet. Bersaksi dengan bersumpah pun sudah sulit untuk dipercaya. Marwah hingga wibawa pengadilan diperdayai. Tidak itu saja, lembaga sekolah pun sudah tidak lagi mencerminkan kejujuran. Atas nama kebanggaan, beberapa sekolah di Indonesia malah berani merekayasa nilai siswanya agar bisa diterima di perguruan tinggi. Dan, di Medan, diduga ada satu sekolah seperti itu.
“Sejak awal sudah diingatkan agar selalu jujur. Jangan berlaku curang dengan merekayasa nilai siswa. Sudah diberi kesempatan kok malah curang. Harus diberi hukuman,” sesal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh belum lama ini.

Hukuman yang dipilih adalah mem-blacklist- sekolah bersangkutan selama tiga tahun. Ya, selama kurun waktu itu, sekolah yang bermasalah tidak dibenarkan mengikuti jalur undangan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).

Dari kasus ini, muncul sebuah pertanyaan: kenapa harus direkayasa? Jawabnya, jalur undangan ini kan jalur khusus. Dia berbeda dengan SNMPTN. Dia tidak perlu mengikuti ujian tersebut, cukup mengirimkan data dan diteliti oleh perguruan tinggi yang dituju lalu lulus. Nah, data yang dimaksud adalah nilai siswa untuk beberapa semester yang telah dilalui. Biasanya, nilai yang grafiknya terus meningkatlah yang dinyatakan lolos. Nah, SMA pun mengubah itu agar siswanya lolos. Kalau lolos, kan SMA itu juga yang bangga: alumnis berada di universitas ternama.

Lalu, kenapa bisa ketahuan? Ketua Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), yang juga Rektor Institut Teknologi Bandung, Akhmaloka punya jawabannya. Katanya, salah satu bukti kecurangan diperoleh panitia SNMPTN dari pengakuan siswa yang direkomendasikan mengikuti jalur undangan. Menurut pengakuan siswa itu, nilai-nilai yang diterima panitia bukanlah nilai asli. Kecurangan ini ditemukan tahun lalu dan sanksi diberikan tahun ini. Beberapa sekolah curang itu sudah mengklarifikasi temuan itu dan membantah telah berbuat curang. Yang terjadi semata-mata kesalahan pengisian data.

Jika begitu, mana yang jujur, pengakuan siswa atau sekolah? Entahlah, soal kejujuran memang harus terus dibuktikan. Dan, Walmiki telah memilih adegan bakar diri Shinta itu. Indonesia bagaimana? (*)

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Walmiki menyuratkan dalam epos Ramayana bahwa kejujuran masih bisa disangsikan. Adalah Shinta yang jujur harus membuktikan sikapnya dengan mempertaruhkan nyawa.

Ya, ini tentang Shinta yang telah dibebaskan dari cengkeraman Rahwana. Namun, sang kekasih, Rama, kurang mempercayai kejujuran Shinta. Bagi Rama, bisa saja Shinta telah dinodai. Nah, Shinta pun harus membuktikan seratus persen kesuciaannya dengan terlebih dulu dibakar. Jika ternyata Shinta sudah digauli Rahwana maka api akan dengan mudah membakarnya.

Sebaliknya jika dalam cengkeraman Rahwana, Shinta tidak ‘digarap’ maka api tidak akan mampu membakarnya.
Kisah Rama dan Shinta yang ditulis oleh Walmiki ini tampaknya terus berulang hingga sekarang. Bukan pada pembakaran itu, tapi pada kesangsian terhadap kejujuran. Jika pada epos itu, Shinta membuktikan dengan melompat ke api, di zaman sekarang apa yang harus dilakukan agar bisa dianggap jujur?

Pengadilan sudah persis panggung sandiwara, lihat saja kasus Wisma Atlet. Bersaksi dengan bersumpah pun sudah sulit untuk dipercaya. Marwah hingga wibawa pengadilan diperdayai. Tidak itu saja, lembaga sekolah pun sudah tidak lagi mencerminkan kejujuran. Atas nama kebanggaan, beberapa sekolah di Indonesia malah berani merekayasa nilai siswanya agar bisa diterima di perguruan tinggi. Dan, di Medan, diduga ada satu sekolah seperti itu.
“Sejak awal sudah diingatkan agar selalu jujur. Jangan berlaku curang dengan merekayasa nilai siswa. Sudah diberi kesempatan kok malah curang. Harus diberi hukuman,” sesal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh belum lama ini.

Hukuman yang dipilih adalah mem-blacklist- sekolah bersangkutan selama tiga tahun. Ya, selama kurun waktu itu, sekolah yang bermasalah tidak dibenarkan mengikuti jalur undangan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).

Dari kasus ini, muncul sebuah pertanyaan: kenapa harus direkayasa? Jawabnya, jalur undangan ini kan jalur khusus. Dia berbeda dengan SNMPTN. Dia tidak perlu mengikuti ujian tersebut, cukup mengirimkan data dan diteliti oleh perguruan tinggi yang dituju lalu lulus. Nah, data yang dimaksud adalah nilai siswa untuk beberapa semester yang telah dilalui. Biasanya, nilai yang grafiknya terus meningkatlah yang dinyatakan lolos. Nah, SMA pun mengubah itu agar siswanya lolos. Kalau lolos, kan SMA itu juga yang bangga: alumnis berada di universitas ternama.

Lalu, kenapa bisa ketahuan? Ketua Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), yang juga Rektor Institut Teknologi Bandung, Akhmaloka punya jawabannya. Katanya, salah satu bukti kecurangan diperoleh panitia SNMPTN dari pengakuan siswa yang direkomendasikan mengikuti jalur undangan. Menurut pengakuan siswa itu, nilai-nilai yang diterima panitia bukanlah nilai asli. Kecurangan ini ditemukan tahun lalu dan sanksi diberikan tahun ini. Beberapa sekolah curang itu sudah mengklarifikasi temuan itu dan membantah telah berbuat curang. Yang terjadi semata-mata kesalahan pengisian data.

Jika begitu, mana yang jujur, pengakuan siswa atau sekolah? Entahlah, soal kejujuran memang harus terus dibuktikan. Dan, Walmiki telah memilih adegan bakar diri Shinta itu. Indonesia bagaimana? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/