MAAF, tulisan ini tidak bermaksud provokatif. Menarik saja mengikuti pengusutan korupsi dana bantuan sosial alias bansos Pemprovsu tahun anggaran 2009 dan 2011. Menariknya bukan karena Kejatisu mulai jor-joran menetapkan enam tersangka di kasus tersebut, namun apa pengungkapannya ada relevansin
dengan Pilgubsu?
Saya enggan berspekulasi soal itu. Tapi yang pasti dana bansos memang mata anggaran empuk untuk dibidik dari tahun ke tahun. Bagai mereka yang biasa bermain anggaran pemerintahan jamak diketahui dana bansos ini menjadi pilihan ‘nikmat’ mengingat adanya ketidakjelasan pengaturan alokasi dana tersebut. Faktanya aturan yang dikeluarkan Kemendagri tidak membatasi berapa dana maksimal yang dapat dialokasikan. Peraturan Mendagri itu hanya menyebutkan alokasi bansos disesuaikan dengan keuangan daerah masing-masing.
Wilayah ini terkadang tak disadari orang. Dengan regulasi yang lemah dan relatif tak terkontrol, bagi-bagi dana bansos relatif mulus. Saya mendapat informasi dari kawan yang pernah mencicipi anggaran ini, lemahnya regulasi menjadi pangkal penyebabnya. Misalnya saja tak ada kawajiban bagi penerima dana bansos membuat laporan pertanggungjawaban jika nominal dana yang diterima kurang dari Rp500 juta. Wah, enak juga!
Info lain lagi: ‘’Ssssst…. selain masyarakat awam, penerima bantuan adalah organisasi kemasyarakatan yang bila diusut lebih jauh memiliki kaitan dengan politisi atau pejabat tinggi di Pemprovsu,’’ bisiknya. Saya mengecek literatur. Korupsi bansos di sejumlah daerah hampir seluruhnya melibatkan birokrasi dan politisi, pemerintah dan anggota DPRD. Modus operandi penyelewengan jenis ini menyumbang angka tertinggi dalam korupsi keuangan daerah (APBD) setelah item penyalahgunaan pengadaan barang dan jasa.
Teringat Pilgubsu, saya teringat Pilkada DKI Jakarta yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Hasil riset korupsi ICW dan LBH menyampaikan beberapa temuan gejala korupsi menjelang Pilkada DKI Jakarta yang- salah satunya- lewat penyaluran dana hibah dan bantuan sosial. Ada potensi penyalahgunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye.
Riset ICW dan LBH (2010) menyebutkan beberapa kandidat khususnya incumbent mendapatkan keuntungan dalam berpotensi menggunakan dana publik untuk kepentingan kampanye. Riset itu juga memaparkan adanya sinyalemen alokasi dana hibah yang melonjak tajam dari tahun sebelumnya adalah dana taktis untuk pemenangan incumbent dalam Pilkada DKI.
Ayo sejenak melihat data olahan ICW dan LBH. Berdasarkan APBD DKI Jakarta 2010-2012 terdapat tren lonjakan dana hibah yang mencapai Rp500 miliar. Pada tahun 2010 dana hibah ‘cuma’ disalurkan Rp400 miliar, kemudian tahun 2011 naik dua kali lipat mencapai Rp800 miliar, hingga pada tahun 2012 melonjak gila-gilaan menyentuh angka Rp1,3 triliun. ICW dan LBH menyimpulkan ada banyak modus untuk mengucurkan dana hibah.
Kedua institusi anti-korupsi itu cepat mengendus kecenderungan alokasi dana hibah dan bansos di sejumlah daerah. Pasalnya- lagi-lagi menurut riset ICW dan LBH- dari pengalaman pilkada di beberapa daerah, terdapat modus korupsi dalam alokasi dana hibah untuk pemenangan pilkada. Diantaranya adalah lembaga penerima fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, serta aliran dana hibah ke lembaga yang dipimpin oleh keluarga dan kroni gubernur. Modus lain yang digunakan adalah dana hibah disunat, serta sebagian besar penerima bansos tak jelas.
Mari berbelok ke literatur lain. Anggota BPK Rizal Djalil (2011) melansir temuan adanya Rp300 triliun dana bansos tahun 2007-2010 yang berpotensi diselewengkan untuk keperluan Pilkada. Data itu disampaikan di seminar nasional ‘’Akuntabilitas Dana Politik Indonesia’’ di Jakarta pada 28 November 2011 silam.
Sejatinya, dana bansos didistribusikan untuk rakyat kurang mampu. Tujuannya mulia tapi dibelokkan. Sedihnya lagi, dana ‘karet’ ini malah dimanfaatkan sebagai kapital untuk berpolitik. Jadi nggak usah sedih-sedih amat bila pengusutan kasus ini juga seperti ‘berbau-bau’ politik. Agak mirip motifnya. Ya, istilah bocah sekarang: beti-lah: beda-beda tipis! He..he..he… (*)