30.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Setelah Umur 35, Badan Kamu Punya Dua Pilihan

azrul ananda

***

Tidak pernah saya bayangkan, di usia menuju kepala empat ini, justru menjadi momen-momen paling fokus terhadap timbangan badan.

Bangun pagi pukul 04.00, yang pertama dilakukan adalah menimbang badan. Lalu, bersiap-siap untuk latihan. Pakai bib short, jersey, pasang heart rate monitor, semua sudah disiapkan sejak sebelum tidur.

Lalu, menuju ruang sepeda, memakai helm, kaus kaki, sepatu, memilih kacamata yang sesuai, sarung tangan, dan membawa keluar sepeda balap yang juga sudah disiapkan malam sebelumnya.

Setelah itu, bersama teman-teman berlatih sejauh 60-100 km. Kadang datar santai, kadang menanjak berat, hingga pukul 07.00 atau 09.00.

Pulang, mandi, lalu menimbang badan lagi. Baru kemudian melanjutkan aktivitas normal. Malam sebelum tidur biasanya juga menimbang lagi berat badan.

Tinggi badan saya 176 cm. Berat saya saat menulis kolom ini 70-71 kg (bergantung sebelum atau sesudah latihan).

Ideal? Beauty is in the eye of the beholder. Ada yang bilang sudah terlalu kurus. Ada yang bilang ideal. Tapi, terus terang, saya masih ‘butuh’ turun lagi 2-3 kilogram.

Itu berarti turun total 16 kg dari rekor terberat saya (84 kg). Dan itu berarti lebih ringan daripada waktu saya lulus kuliah di pengujung 1999 lalu (waktu itu 69 kg).

Dan saya tidak sendirian. Teman-teman saya yang serius bersepeda sekarang juga rajin melakukan hal yang sama. Rata-rata juga seusia, atau selisih tidak sampai lima tahun ke atas atau lima tahun ke bawah.

Kalau makan, sangat jaga diri. Tidak berani kebanyakan. Tidak berani keseringan.

Kadang saya suka tertawa-tertawa sendiri. Kita ini rata-rata sudah lebih dari dewasa. Sudah berkeluarga. Sudah punya anak beberapa biji. Tapi, kok gaya hidupnya ngalah-ngalahi supermodel.

Tujuannya apa juga nggak jelas.

Sebenarnya punya keinginan sama: Performance bersepeda yang lebih baik. Menanjak lebih ringan, melaju lebih kencang. Yang itu lantas punya dampak ke keseharian yang sebanding pula: Hidup lebih sehat, tidur lebih nyenyak, jauh dari ancaman-ancaman sakit.

Tapi, masak performance bersepeda jadi tujuan utama? Wong pembalap juga bukan. Kalaupun suka balapan, even balapan buat nonpembalap seperti kita-kita juga sangat jarang.

Mau balapan liar juga nggak mau mengambil risiko. Wong sudah punya hidup yang baik dan berkeluarga, bukan lagi ABG.

Lalu, buat apa? Setiap hari saya dan teman-teman bertanya. Dan meski jawabannya tidak jelas, kami tetap melakoninya dan toh merasakan manfaatnya.

***

Akhir tahun lalu, ketika membawa tim basket Honda DBL Indonesia All-Star (kumpulan pemain SMA terbaik) ke Amerika, kami bertemu lagi dengan seorang mantan atlet binaraga yang kini sudah berusia 50-an tahun.

Tahun sebelumnya kami sudah bertemu, dan dia melihat saya lalu bertanya: “Azrul, kamu exercise (olahraga, Red)? Sekarang kelihatan lebih kurus.”

Ketika saya jawab iya, dia melanjutkan: “Bagus. Teruskan. Usia kamu berapa?”

Saya menjawab, “37.”

Dia melanjutkan lagi: “Bagus. Teruskan. Jangan berhenti. Sebab, setelah usia 35 tahun, badan kamu punya dua pilihan. Kalau kamu rajin beraktivitas, maka sel-sel badan kamu akan terus belajar untuk meregenerasi diri. Sebaliknya, kalau kamu jadi couch potato (malas-malasan, Red), maka badan kamu akan memulai proses untuk mati.”

Walau usianya sudah 50-an, teman kami itu masih sangat aktif berlatih. Di sela-sela pekerjaan, dia selalu menyempatkan diri untuk masuk ke gym atau joging. Dan kalau bertemu, kita pasti tidak menyangka bahwa usianya sudah 50-an.

Oke. Omongannya belum tentu benar secara ilmiah. Saya juga tidak bertanya ke dokter mana pun apakah omongan dia itu benar atau tidak.

Yang jelas, saya dan teman-teman seusia sudah merasakan manfaat keaktifan (atau ke-overactive-an) kami selama ini. Badan terasa lebih segar, tidur lebih nyenyak, melangkah lebih ringan, dan alat ukur performance lain rasanya kok ya juga lebih baik (hehehe).

Orang lain boleh bilang kami terlalu kurus. Tapi, kalau melihat sekeliling, kayaknya kok mending begini ya?

Apalagi kalau lagi jalan-jalan ke mal. Melihat orang lain yang kira-kira seumuran, dan badannya masuk kategori kegemukan. Jalannya lebih pelan, kadang napas terlihat tersengal-sengal saat berjalan. Otomatis, kami pun mengucapkan puji syukur. (*)

azrul ananda

***

Tidak pernah saya bayangkan, di usia menuju kepala empat ini, justru menjadi momen-momen paling fokus terhadap timbangan badan.

Bangun pagi pukul 04.00, yang pertama dilakukan adalah menimbang badan. Lalu, bersiap-siap untuk latihan. Pakai bib short, jersey, pasang heart rate monitor, semua sudah disiapkan sejak sebelum tidur.

Lalu, menuju ruang sepeda, memakai helm, kaus kaki, sepatu, memilih kacamata yang sesuai, sarung tangan, dan membawa keluar sepeda balap yang juga sudah disiapkan malam sebelumnya.

Setelah itu, bersama teman-teman berlatih sejauh 60-100 km. Kadang datar santai, kadang menanjak berat, hingga pukul 07.00 atau 09.00.

Pulang, mandi, lalu menimbang badan lagi. Baru kemudian melanjutkan aktivitas normal. Malam sebelum tidur biasanya juga menimbang lagi berat badan.

Tinggi badan saya 176 cm. Berat saya saat menulis kolom ini 70-71 kg (bergantung sebelum atau sesudah latihan).

Ideal? Beauty is in the eye of the beholder. Ada yang bilang sudah terlalu kurus. Ada yang bilang ideal. Tapi, terus terang, saya masih ‘butuh’ turun lagi 2-3 kilogram.

Itu berarti turun total 16 kg dari rekor terberat saya (84 kg). Dan itu berarti lebih ringan daripada waktu saya lulus kuliah di pengujung 1999 lalu (waktu itu 69 kg).

Dan saya tidak sendirian. Teman-teman saya yang serius bersepeda sekarang juga rajin melakukan hal yang sama. Rata-rata juga seusia, atau selisih tidak sampai lima tahun ke atas atau lima tahun ke bawah.

Kalau makan, sangat jaga diri. Tidak berani kebanyakan. Tidak berani keseringan.

Kadang saya suka tertawa-tertawa sendiri. Kita ini rata-rata sudah lebih dari dewasa. Sudah berkeluarga. Sudah punya anak beberapa biji. Tapi, kok gaya hidupnya ngalah-ngalahi supermodel.

Tujuannya apa juga nggak jelas.

Sebenarnya punya keinginan sama: Performance bersepeda yang lebih baik. Menanjak lebih ringan, melaju lebih kencang. Yang itu lantas punya dampak ke keseharian yang sebanding pula: Hidup lebih sehat, tidur lebih nyenyak, jauh dari ancaman-ancaman sakit.

Tapi, masak performance bersepeda jadi tujuan utama? Wong pembalap juga bukan. Kalaupun suka balapan, even balapan buat nonpembalap seperti kita-kita juga sangat jarang.

Mau balapan liar juga nggak mau mengambil risiko. Wong sudah punya hidup yang baik dan berkeluarga, bukan lagi ABG.

Lalu, buat apa? Setiap hari saya dan teman-teman bertanya. Dan meski jawabannya tidak jelas, kami tetap melakoninya dan toh merasakan manfaatnya.

***

Akhir tahun lalu, ketika membawa tim basket Honda DBL Indonesia All-Star (kumpulan pemain SMA terbaik) ke Amerika, kami bertemu lagi dengan seorang mantan atlet binaraga yang kini sudah berusia 50-an tahun.

Tahun sebelumnya kami sudah bertemu, dan dia melihat saya lalu bertanya: “Azrul, kamu exercise (olahraga, Red)? Sekarang kelihatan lebih kurus.”

Ketika saya jawab iya, dia melanjutkan: “Bagus. Teruskan. Usia kamu berapa?”

Saya menjawab, “37.”

Dia melanjutkan lagi: “Bagus. Teruskan. Jangan berhenti. Sebab, setelah usia 35 tahun, badan kamu punya dua pilihan. Kalau kamu rajin beraktivitas, maka sel-sel badan kamu akan terus belajar untuk meregenerasi diri. Sebaliknya, kalau kamu jadi couch potato (malas-malasan, Red), maka badan kamu akan memulai proses untuk mati.”

Walau usianya sudah 50-an, teman kami itu masih sangat aktif berlatih. Di sela-sela pekerjaan, dia selalu menyempatkan diri untuk masuk ke gym atau joging. Dan kalau bertemu, kita pasti tidak menyangka bahwa usianya sudah 50-an.

Oke. Omongannya belum tentu benar secara ilmiah. Saya juga tidak bertanya ke dokter mana pun apakah omongan dia itu benar atau tidak.

Yang jelas, saya dan teman-teman seusia sudah merasakan manfaat keaktifan (atau ke-overactive-an) kami selama ini. Badan terasa lebih segar, tidur lebih nyenyak, melangkah lebih ringan, dan alat ukur performance lain rasanya kok ya juga lebih baik (hehehe).

Orang lain boleh bilang kami terlalu kurus. Tapi, kalau melihat sekeliling, kayaknya kok mending begini ya?

Apalagi kalau lagi jalan-jalan ke mal. Melihat orang lain yang kira-kira seumuran, dan badannya masuk kategori kegemukan. Jalannya lebih pelan, kadang napas terlihat tersengal-sengal saat berjalan. Otomatis, kami pun mengucapkan puji syukur. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/