Oleh: AZRUL ANANDA
Kita yang lahir pada 1970-an (Generation X) tergolong generasi ‘transisi’. Dari generasi surat manual menuju surel. Dari telepon landline menuju segala alat komunikasi yang ada sekarang.
Pada 1993-1994, waktu SMA, saya pernah merasakan serunya surat-menyurat manual dengan ‘teman perempuan khusus’. Saya menulis surat panjang, dikirim pakai pos dari Kansas, dua minggu kemudian sampai ke Indonesia. Dia membalas, kirim pakai pos lagi, dua minggu kemudian saya terima.
Telepon pun benar-benar harus limited dan emergency only karena tarif telepon internasional waktu itu dari Amerika sampai USD 2 per menit.
Tidak ada yang instan. Seru dan berdebar-debarnya lebih lama.
Kemudian, waktu awal kuliah, mulai muncul e-mail. Pakai komputer kecepatan terdahsyat waktu itu, dengan modem yang lebih dulu bunyi tulat-tulit-ngiiiiiiikkk sebelum nyambung.
Pakai America Online (AOL), kalau ada e-mail masuk, ada bunyi yang sangat menyenangkan: “You’ve got mail!”
Bersama roommate saya waktu kuliah, kami juga suka chatting online. Di AOL juga, di Indonesian Room. Saya pakai nama Bemoturbo, yang kemudian ngobrol dengan BajajV12 dan nama-nama aneh lain.
Jadul abis, ya?
Hebatnya zaman itu, dan ini baru saya sadari ketika ngobrol dengan teman kuliah dulu, kita kalau janjian tidak pernah meleset. Besok janji ketemu jam 12, ya ketemu jam 12. Tidak ada SMS atau BBM atau pesan singkat lain untuk memastikan. Kalau janji, tak bisa atau sangat sulit untuk di-cancel.
Telepon pun tidak bisa menyaring siapa yang menelepon. Kecuali di rumah beli servis khusus caller ID. Ada alat tambahan yang bisa membantu melihat nomor penelepon.
Sangat seru ketika pukul 3 pagi, ada telepon masuk, tulisannya ‘Sacramento Jail’ alias penjara di Kota Sacramento, kota tempat saya kuliah dulu.
Hehehe. Itu telepon dari teman saya (yang hanya dapat kesempatan menelepon satu kali), yang minta dijemput di penjara gara-gara tertangkap polisi sedang nyetir dalam kondisi habis minum-minum.
Padahal, waktu itu orangtua saya sedang berkunjung. Melihat saya keluar apartemen pukul 3 pagi, tentu ibu saya bertanya mau pergi ke mana. Saya jawab: “Jemput teman, mobilnya mogok.”
Wkwkwkwkwkwkk.
Hidup di zaman itu begitu sederhana.
***
Saya sempat punya akun Friendster. Saya juga masih punya akun Facebook, walau nonaktif. Dulu, itu alat komunikasi saya dengan teman-teman sekolah, yang sekarang tinggal tersebar di berbagai negara.
Lalu, pada suatu hari, beberapa tahun yang lalu, ketika buka akun Facebook itu, ada lebih dari 3.000 request.
Hari itu juga saya memutuskan untuk nonaktif.
Hari itu juga saya memutuskan untuk offline. Atau minimal-line.
Saya meminimalkan alat komunikasi dengan hanya satu HP. Itu pun selalu silent dan tak ada push e-mail. Bukannya antiteknologi. Saya hanya menjaga kemerdekaan saya untuk memilih dan menerima.
Old school. Tapi tidak kuno.
Toh, orang tidak perlu tahu saya sedang makan di mana, sedang ngapain, sedang mengomentari apa, dan lain sebagainya.
Dan saya kadang juga tidak mau tahu orang lain sedang makan di mana, pakai baju apa, atau mengomentari apa. Dan orang lain silakan habis-habisan mengkritik atau mengomeli saya, karena saya akan tetap hidup tenang karena tidak memedulikannya.
Lagi pula, luar biasa waktu yang bisa kita habiskan untuk memegang dan memelototi itu layar. Kadang sedih juga melihat banyak orangtua (termasuk saya dan istri), kadang sibuk lihat HP, padahal sedang ‘quality time’ bersama anak.
Dan sekarang, begitu mudahnya memutus janji lewat beberapa tekanan jempol atau jari lain. Bahkan memutus hubungan dan lain sebagainya.
Yang saya ngeri, skill berkomunikasi via jempol itu sangat variatif. Ada yang pemahaman dan kemampuan ejanya buruk, sehingga gampang sekali miskom dan emosional. Kadang ada keterlambatan sedikit, berakibat salah urut jawaban dan bikin emosional.
Jangan salah. Saya sangat proteknologi. Alasannya sangat klise: Hidup kita jadi jauh lebih mudah, lebih praktis. Dan anak-anak harus terus diajari sedini mungkin tentang pemakaian teknologi.
Di sisi lain, jangan-jangan live communication skill-nya terlupakan. Jago ngetik 140 karakter, tapi sama sekali tidak bisa menulis esai (yang butuh kemampuan logika dan penataan penyampaian dengan cara lebih kompleks). Jago menulis status, tapi tidak jago memenuhi komitmen atau janji. Jago berkomentar via media sosial, tapi tidak mampu berbicara langsung terang-terangan di depan orang.
Karena saya di dunia media, saya merasa perlu menyampaikan ini: Saya paling kurang sreg melihat wartawan wawancara sambil mencatat/mengetik pakai HP.
Dalam wawancara, kita harus bisa menatap mata narasumber dan berkomunikasi secara utuh. Kalau mencatat pakai HP, mata kita selalu ke layar sementara sang narasumber berbicara. Saya merasa ini kok kurang sopan ya?
***
Waktu mengunjungi sebuah SMA canggih di Amerika tahun lalu, kami kagum melihat sekolah itu menggunakan tablet/iPad untuk sistem mengajar dan mengerjakan tugas. Tidak ada kertas, tidak ada papan tulis. Semua digital.
Keren? Ya. Semua pekerjaan anak terpantau. Semua progres terlihat mendetail.
Tapi, teman saya yang bule tiba-tiba nyeletuk: “Wah, sekolah sekarang tidak asyik. Tidak bisa lagi cari-cari alasan tidak mengerjakan tugas. Tidak ada lagi alasan ‘PR saya dimakan anjing’.
Dan kami berdua sepakat, berbohong dan cari-cari alasan kepada guru dan orangtua itu termasuk skill penting hidup. Itu termasuk social skill yang juga kita dapat di sekolah.
Anak-anak di sekolah itu mungkin tidak bisa merasakan betapa bangganya perasaan ketika berhasil mengelabui guru.
Yang penting niatnya tidak jahat, hahahaha.
Anyway, sebagai penutup, tidak berarti saya antiteknologi dan anti-sosial media. Mereka tetap alat luar biasa yang telah terbukti bisa mengubah dunia. Tapi, apakah kita benar-benar butuh semuanya?
Kadang, kangen juga menulis di selembar kertas, beli prangko, dan menunggu beberapa hari sebelum yang disurati membacanya. (*)