26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Yang Kedua

Jadikan aku yang kedua
Buatlah diriku bahagia
Walau pun kau takkan pernah
Kumiliki selamanya

Suara Astrid terasa pas saat melagukan lirik di atas. Ya, lirik di atas termasuk dalam lagu yang berjudul Jadikan Aku yang Kedua dan sempat menjadi hits beberapa waktu lalu.
Pertanyaannya, cukupkah hanya menjadi yang kedua?

Kalau menurut lirik lagu itu tentunya bukan masalah. Namun, bagi anak urutan kedua dalam sebuah keluarga biasanya hal itu kurang menyenangkan. Kawan saya yang kebetulan kedua – dan kebetulan jenis kelaminnya sama dengan anak pertama – hanya mendapat sisa-sisa. Contohnya soal baju, dia sering mendapat ‘warisan’ dari sang abang. Pun soal buku pelajaran, dia sering kedapatan jatah buku yang sudah lusuh alias bekas milik sang abang.

Soal kedua ini memang cenderung kurang menyenangkan, dalam olahraga; juara kedua hanya mendapat perak dan juara satu dapat emas.
Begitu pun soal kehidupan sehari-hari, ciuman pertama tentunya lebih diingat daripada ciuman kedua bukan? Cinta pertama lebih berkesan dibanding cinta kedua. Hm, masih banyak lagi ‘ketidakhebatan’ kedua itu bukan.

Tapi, suara Asrtid cukup pas dengan lagu itu. Mereka yang dijadikan kedua pun nyantai-nyantai saja. Kenapa kita harus pusing bukan?
Nah soal kedua ini terkait dengan terpilihnya Barack Obama menjadi presiden di periode kedua. Apakah akan menyenangkan?

Kalau mau dikilas balik, kemunculan Obama pada edisi pertama cukup hinggar bingar. Indonesia sebagai negara yang sempat didiami Obama saat kecil pun terlihat begitu bahagia. Apalagi ketika saat menjabat presiden di periode pertama, Obama datang ke Indonesia. “Pulang kampung neh… nasi goreng… bakso,” begitu ‘si Anak Menteng’ saat bicara di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.

Mendengar suara Obama menyebutkan kalimat tadi, dari Sabang sampai Merauke seakan terhipnotis. Salut. Bangga dengan Obama.
Nah, untuk edisi kedua ini bagaimana? Adakah semacam itu juga Indonesia bersikap terkait terpilihnya Obama sebagai presiden? Mungkin bisa saja, tapi saya percaya: ciuman pertama memang lebih berkesan.

Bahkan, sejarah mencatat, di periode kedua seorang pemimpin cenderung menurun kemampuannya.

Coba ingat presiden Amerika Serikat yang lain, Bill Clinton. Setelah sukses di periode pertama, dia malah terjerumus di periode kedua setelah terungkap perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky. Kembali ke Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun makin diterpa angin kencang ketika memasuki periode kedua. Sementara di Medan, Wali Kota Abdillah, malah tak bisa menghabiskan masa kepemimpinannya pada periode kedua. Hm, masih banyak lagi kasus bukan?

Tapi sekali lagi, suara Astrid memang pas dengan lagu di atas tadi. Dia membuat sesuatu yang tidak menyenangkan pada ‘kedua’ tadi menjadi sesuatu yang tidak bermasalah.

Soal kedua ini pun kemarin terkait dengan Proklamator RI Soekarno dan M Hatta. Mereka berdua mendapat gelar Pahlawan Nasional. Hm, patut diapresiasi mengingat mereka memang pahlawan negara. Tapi, mereka berdua kan sudah identik dengan gelar Proklamator; seseorang yang memproklamasikan kemerdekaan. Tentunya, proklamator lebih bergengsi dibanding pahlawan nasional bukan? “Pahlawan proklamator itu lebih tinggi dari pahlawan nasional,” kata Sejarawan Asvi Warman Adan kepada media.

Lalu, kenapa diberikan gelar pahlawan yang kedua? Bukankah yang kedua itu cenderung kurang menyenangkan.

Jadikan aku yang kedua
Buatlah diriku bahagia
Walau pun kau takkan pernah
Kumiliki selamanya
Ya, suara Astrid memang terasa pas. (*)

Jadikan aku yang kedua
Buatlah diriku bahagia
Walau pun kau takkan pernah
Kumiliki selamanya

Suara Astrid terasa pas saat melagukan lirik di atas. Ya, lirik di atas termasuk dalam lagu yang berjudul Jadikan Aku yang Kedua dan sempat menjadi hits beberapa waktu lalu.
Pertanyaannya, cukupkah hanya menjadi yang kedua?

Kalau menurut lirik lagu itu tentunya bukan masalah. Namun, bagi anak urutan kedua dalam sebuah keluarga biasanya hal itu kurang menyenangkan. Kawan saya yang kebetulan kedua – dan kebetulan jenis kelaminnya sama dengan anak pertama – hanya mendapat sisa-sisa. Contohnya soal baju, dia sering mendapat ‘warisan’ dari sang abang. Pun soal buku pelajaran, dia sering kedapatan jatah buku yang sudah lusuh alias bekas milik sang abang.

Soal kedua ini memang cenderung kurang menyenangkan, dalam olahraga; juara kedua hanya mendapat perak dan juara satu dapat emas.
Begitu pun soal kehidupan sehari-hari, ciuman pertama tentunya lebih diingat daripada ciuman kedua bukan? Cinta pertama lebih berkesan dibanding cinta kedua. Hm, masih banyak lagi ‘ketidakhebatan’ kedua itu bukan.

Tapi, suara Asrtid cukup pas dengan lagu itu. Mereka yang dijadikan kedua pun nyantai-nyantai saja. Kenapa kita harus pusing bukan?
Nah soal kedua ini terkait dengan terpilihnya Barack Obama menjadi presiden di periode kedua. Apakah akan menyenangkan?

Kalau mau dikilas balik, kemunculan Obama pada edisi pertama cukup hinggar bingar. Indonesia sebagai negara yang sempat didiami Obama saat kecil pun terlihat begitu bahagia. Apalagi ketika saat menjabat presiden di periode pertama, Obama datang ke Indonesia. “Pulang kampung neh… nasi goreng… bakso,” begitu ‘si Anak Menteng’ saat bicara di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.

Mendengar suara Obama menyebutkan kalimat tadi, dari Sabang sampai Merauke seakan terhipnotis. Salut. Bangga dengan Obama.
Nah, untuk edisi kedua ini bagaimana? Adakah semacam itu juga Indonesia bersikap terkait terpilihnya Obama sebagai presiden? Mungkin bisa saja, tapi saya percaya: ciuman pertama memang lebih berkesan.

Bahkan, sejarah mencatat, di periode kedua seorang pemimpin cenderung menurun kemampuannya.

Coba ingat presiden Amerika Serikat yang lain, Bill Clinton. Setelah sukses di periode pertama, dia malah terjerumus di periode kedua setelah terungkap perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky. Kembali ke Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun makin diterpa angin kencang ketika memasuki periode kedua. Sementara di Medan, Wali Kota Abdillah, malah tak bisa menghabiskan masa kepemimpinannya pada periode kedua. Hm, masih banyak lagi kasus bukan?

Tapi sekali lagi, suara Astrid memang pas dengan lagu di atas tadi. Dia membuat sesuatu yang tidak menyenangkan pada ‘kedua’ tadi menjadi sesuatu yang tidak bermasalah.

Soal kedua ini pun kemarin terkait dengan Proklamator RI Soekarno dan M Hatta. Mereka berdua mendapat gelar Pahlawan Nasional. Hm, patut diapresiasi mengingat mereka memang pahlawan negara. Tapi, mereka berdua kan sudah identik dengan gelar Proklamator; seseorang yang memproklamasikan kemerdekaan. Tentunya, proklamator lebih bergengsi dibanding pahlawan nasional bukan? “Pahlawan proklamator itu lebih tinggi dari pahlawan nasional,” kata Sejarawan Asvi Warman Adan kepada media.

Lalu, kenapa diberikan gelar pahlawan yang kedua? Bukankah yang kedua itu cenderung kurang menyenangkan.

Jadikan aku yang kedua
Buatlah diriku bahagia
Walau pun kau takkan pernah
Kumiliki selamanya
Ya, suara Astrid memang terasa pas. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/